Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Pembangunan Asia (ADB) merilis laporan kondisi ekonomi terbaru edisi Desember 2020. Sayangnya, organisasi yang berkantor pusat di Manila (Filipina) itu punya kabar yang kurang sedap buat Indonesia.
Ya, ADB memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Tanah Air baik untuk 2020 maupun 2021. Dalam laporan September 2020, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 dan 2021 masing-masing sebesar -1% dan 5,3%. Pada edisi Desember 2020, angkanya berubah menjadi -2,2% dan 4,5%.
Untuk 2020, ADB menempatkan Indonesia di peringkat kedua di antara negara-negara ASEAN-6, hanya kalah dari Vietnam. Kalau Vietnam tidak usah dibahas lah, Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Ho menjadi satu-satunya yang bisa tumbuh positif.
Mungkin ini pula yang membuat ekonomi Indonesia pada 2021 diperkirakan tidak tumbuh setinggi para tetangganya. Sebab ekonomi Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand terkontraksi (tumbuh negatif) lebih dalam ketimbang Indonesia. Jadi dengan basis yang lebih rendah itu, negara-negara tersebut hanya butuh sedikit dorongan untuk tumbuh tinggi. Dalam statistik, ini disebut efek pembanding atau dasar yang rendah (low base effect).
Akan tetapi, perlu dicatat pula bahwa perubahan proyeksi September 2020 ke Desember 2020 untuk Indonesia mengalami koreksi yang paling tajam di antara negara ASEAN-6. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2020 terkoreksi 1,2 poin persentase dan 2020 terpangkas 0,8 poin persentase.
Jadi, bukan sekadar base effect yang membuat PDB Ibu Pertiwi tumbuh terbatas. ADB tentu melihat hal iainnya. Apa itu?
"Konsumsi swasta dan investasi terus melambat. Angka pengangguran melonjak ke 7,1% pada Agustus 2020, tertinggi sejak 2011. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) mempengaruhi hampir 30 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja, dirumahkan, atau menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan pelemahan yang berlanjut, kami memperkirakan ekonomi Indonesia terkontraksi 2,2% pada 2020 sebelum tumbuh 4,5% pada 2021," sebut laporan ADB.
Per 10 Desember 2020, jumlah pasien positif corona di Indonesia tercatat 598.933 orang. Bertambah 6.033 orang (1,02%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (27 November-10 Desember 2020), rata-rata pasien positif bertambah 5.870 orang setiap harinya. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yang sebanyak 4.604 orang per hari.
Perkembangan pandemi virus corona di Indonesia memang belum memungkinkan ekonomi bergerak dalam kapasitas penuh. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih berlaku seperti amanat PP No 21/2020, belum dicabut.
Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
PSBB memang agak dilonggarkan mulai awal Juni, tetapi tetap belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) masih bertahap dan wajib tunduk terhadap protokol kesehatan. Mobilitas masyarakat masih terbatas.
Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, aktivitas warga di pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi masih di bawah situasi normal sebelum pandemi. Begitu pula dengan kegiatan di lokasi transit dan tempat kerja.
Mobilitas masyarakat adalah gambaran roda ekonomi yang berputar. Kalau mobilitas masih nyungsep seperti ini, masyarakat masih banyak yang #dirumahaja, maka menjadi cerminan ekonomi yang mati suri. Ekonomi bergerak di bawah kapasitasnya.
Saat ekonomi menyusut, bergerak di bawah kapasitas, maka kebutuhan akan tenaga kerja pun tidak sebanyak dulu. Gelombang PHK atau karyawan yang dirumahkan masih terjadi.
Ketika prospek pendapatan masyarakat penuh ketidakpastian, konsumsi pun dikurangi. Bank Indonesia (BI) melaporkan, porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi pada November 2020 adalah 68,8%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 69,4%.
Padahal konsumsi adalah tulang punggung dalam pembentukan PDB nasional, sumbangannya lebih dari separuh. Ketika konsumsi melambat, maka praktis ekonomi secara keseluruhan bakal terhambat. Jadi bukan tanpa alasan ADB tega 'menyunat' proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA