Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK) menyinggung soal rokok dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh INDEF kemarin (9/12/2020). Dalam pernyataannya tersebut JK memandang bahwa rokok yang menjadi ciri khas ekonomi Indonesia yang menjadi pembeda.
Namun sayangnya, keunikan yang disebut oleh JK cenderung punya konotasi yang negatif. JK mencontohkan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang maju karena teknologi sehingga para crazy rich-nya juga berasal dari sektor tersebut.
Di India sektor energi yang maju dan di Korea Selatan serta Jepang sektor teknologinya yang maju. Sementara itu di Indonesia orang-orang terkayanya justru berasal dari mereka yang berbisnis rokok.
"Di Indonesia paling beda dengan negara-negara lain di dunia ini. Orang terkaya nomor satu, dua, dan tiga pengusaha rokok berarti orang Indonesia berani-berani, meski di bungkusnya ditulis dapat menyebabkan kanker, kematian tetap saja rokok maju. Jadi orang Indonesia berani walau diancam kanker dia nggak peduli. Sehingga orang paling kaya 1,2,3 itu pengusaha rokok. Di mana di dunia ini yang kaya gitu? Nggak ada," sebut JK
Pernyataan laki-laku kelahiran Watampone (Sulawesi Selatan) tersebut ada benarnya. Namun ada juga bagian yang kurang tepat. Untuk itu mari kita cek faktanya.
Mengacu pada data Tobacco Atlas, Indonesia berada di peringkat 30 sebagai negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia pada 2016. Jumlah perokok berusia di atas 16 tahun di Indonesia mencapai 39%.
Setiap tahunnya masyarakat Indonesia dengan usia lebih dari 16 tahun mengkonsumsi 1.675 batang rokok per orang per tahun. Indonesia masih kalah dengan China yang total konsumsinya mencapai 2.063 batang per orang per tahun kala itu.
Setiap tahunnya masyarakat Indonesia menghisap ratusan miliar batang rokok. Data industri menunjukkan pada periode Januari-September 2020 volume penjualan rokok nasional mencapai 201,7 miliar batang. Fantastis!
Itu pun sebenarnya turun 9% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pandemi Covid-19 membuat daya beli masyarakat tergerus, di sisi lain pertimbangan aspek kesehatan juga menjadi faktor menurunnya penjualan rokok.
Jika diasumsikan harga satu batang rokok adalah Rp 1.500, maka total penjualan rokok dalam kurun waktu sembilan bulan pertama tahun 2020 mencapai Ro 302,6 triliun. Jelas ini nominal yang sangat besar untuk ukuran pasar rokok.
Mirisnya lagi rokok kretek filter merupakan komoditas kontributor terbesar kedua setelah beras untuk garis kemiskinan. Baik di desa maupun di kota sumbangsih rokok terhadap garis kemiskinan mencapai lebih dari 10%.
Sampai di sini kita bisa melihat potret banyak masyarakat Indonesia yang kecanduan merokok. Merokok memang sudah menjadi kultur yang melekat bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Tak peduli kalangan menengah ke bawah sampai kelas atas. Pria maupun wanita. Bahkan jumlah perokok wanita dan anak terus bertambah setiap tahunnya.
Tren konsumsi rokok yang terus meningkat di Tanah Air sebelum pandemi memang menambah tebal pundi-pundi uang para pengusaha rokok. Wajar saja jika mereka masuk jajaran orang terkaya di Indonesia.
Namun pernyataan Pak JK soal orang terkaya nomor 1 sampai 3 berbisnis rokok jelas tidaklah tepat. Setiap tahunnya Forbes hingga Bloomberg terus memberikan pembaruan daftar orang terkaya di suatu negara hingga di level dunia. Indonesia tak terkecuali.
Apabila menggunakan rilis Forbes tahun ini, dari 10 crazy rich Indonesia hanya ada dua pebisnis yang memiliki asosiasi dengen rokok. Pertama adalah duo sultan asal Kudus, Hartono bersaudara. Kedua adalah Susilo Wonowidjojo.
Duo Hartono bersaudara dikenal karena memiliki pabrik rokok merek Djarum. Kekayaannya jika ditotal mencapai US$ 38,8 miliar. Menggunakan kurs Rp 14.080/US$ nilainya mencapai Rp 546,3 triliun.
Namun sayangnya cuan paling banyak dari keluarga Hartono tidaklah didulang dari rokok, melainkan dari bank. Melalui PT Dwi Muria Investama Andalan, Robert dan Michael Hartono mengusai 54,94% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Apabila nilai kapitalisasi pasar BBCA mencapai Rp 792,1 triliun, maka sumbangsih dari kepemilikan saham bank ini sudah mencapai Rp 435 triliun atau hampir 80% dari total aset kekayaannya.
Sementara itu, untuk kasus Susilo Wonowidjojo sebagai pemilik PT Gudang Garam Tbk (GGRM) kekayaannya mencapai US$ 5,3 miliar atau setara dengan Rp 74,6 triliun. Mayoritas kekayaannya memang disumbang dari rokok.
Namun peringkat Susilo Wonowidjojo turun tahun ini dan bukan lagi masuk tiga besar melainkan merosot ke ranking enam. Penurunan harga saham yang signifikan dibanding tahun lalu jadi pemicunya.
Sampai di sini jelas bahwa pernyataan Pak JK kurang tepat. Memang ada pebisnis rokok yang masuk ke jajaran orang terkaya di RI. Namun kenyataannya kekayaan para crazy rich Indonesia ditopang oleh diversifikasi bisnisnya.
Di dunia orang-orang yang punya bisnis teknologi menjadi orang yang paling kaya. Sebut saja Jeff Bezos bos e-commerce terbesar AS, Elon Musk yang kontroversial dengan Tesla, Bill Gates dari Microsoft hingga Marck Zuckerberg si empunya Facebook.
Sementara di kawasan Asia orang-orang paling tajirnya lebih banyak berbisnis energi seperti di India misalnya ada Mukesh Ambani dari Reliance Industries yang punya raksasa kilang migas.
Di Thailand ada Chearavanont yang menjadi generasi keempat penerus Charoen Phokpand yang berbisnis ritel, makanan dan telemomunikasi. Sebenarnya di Indonesia masih lebih banyak crazy rich yang berbisnis di sektor konsumen non-rokok. Banyak pula taipan batu bara dan sawit.
Bagaimanapun juga rokok dan ekonomi Indonesia tidak bisa dipisahkan. Setiap sebatang rokok yang dihisap menjadi pendapatan bagi toko kelontong, peritel hingga emang-emang penjaja kopi keliling.
Konsumsi rokok yang meningkat turut mendongkrak konsumsi yang menjadi tulang punggung perekonomian domestik. Rokok telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dari sudut pandang pendapatan negara maupun sektor ketenagakerjaan.
Dari sudut pandang pendapatan negara, rokok tak hanya menyumbang cukai saja bersama minuman beralkohol dan etil alkohol. Rokok juga menyumbang pendapatan negara dari pajak. Bahkan pajaknya berlapis mulai dari pajak korpoasi, pajak pertambahan nilai, hingga pajak rokok.
Setoran Cukai Hasil Tembakau (CHT) juga tak bisa dibilang remeh. Berdasarkan laporan APBN Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) bulan November, setoran CHT sampai Oktober tercatat mencapai Rp 130,53 triliun. Angka ini setara dengan 97% dari total cukai. Artinya kontribusi rokok paling besar dari sisi cukai.
Pemasukan ke kas negara dari cukai maupun pajak pada akhirnya akan dikelola oleh pemerintah dan dialokasikan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari sudut pandang lain yakni ketenagakerjaan, keberadaan industri rokok juga menjadi mata pencaharian tidak hanya di sektor produksinya tetapi juga sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu tentu ada petani tembakau dan cengkeh sementara di sektor hilir ada distributor, hingga peritel kelas toko kelontong.
TIM RISET CNBC INDONESIA