
Pertahanan Mulai Jebol, Kasus Covid-19 RI Bakal Terus Meledak

Dua kasus yang dibahas sebelumnya adalah contoh di negara-negara yang menerapkan kebijakan lockdown masif. Lantas apakah hasil yang sama juga dijumpai di negara-negara dengan kebijakan pembatasan mobilitas yang lebih longgar?
Jawabannya tetap saja iya.
Studi yang dilakukan oleh Sugaya dkk yang dimuat di jurnal ilmiah internasional Nature dengan judul 'A real-time survey on the psychological impact of mild lockdown for COVID-19 in the Japanese population' menjadi bukti konkret bahwa kesehatan mental masyarakat juga terganggu.
Jepang tidak seperti kebanyakan negara-negara Eropa yang menerapkan lockdown secara ketat. Hasil dari studi yang dilakukan oleh Sugaya dan rekan menunjukkan bahwa prevalensi depresi masyarakat Jepang kala itu mencapai 17,9%.
Sementara pada tahun 2013 survei serupa juga dilakukan dan menunjukkan prevalensi depresi mencapai 7,9%. Terlepas dari perbedaan periode dan jumlah sampel yang digunakan dalam survei, lebih banyak laporan riset yang menyebut bahwa dampak psikologis pembatasan mobilitas di tengah pandemi adalah hal yang tak terelakkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebuah survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.200 responden secara online oleh Respati dkk pada April lalu saat PSBB mulai digalakkan menunjukkan bahwa 34% responden mengaku mengalami tingkatan stres ringan ke sedang. Sementara ada 2,8% responden yang melaporkan mengalami stres berat.
Pandemi sudah berjalan 9 bulan di Indonesia. Kebijakan PSBB terus diperpanjang dengan kasus yang tak kunjung melandai. Selain berdampak buruk bagi kesehatan mental masyarakat yang dipaksa untuk lepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial tanpa kontak fisik seperti sebelumnya, dampak ekonominya juga jelas terasa.
Hal ini yang ditengarai menjadi salah satu pemicu menurunnya tingkat kepatuhan di kalangan masyarakat. Rasa bosan, kesepian, stres hingga depresi tak bisa dielakkan karena dipaksa harus terkungkung dengan segala pembatasan aktivitas yang ada.
Oleh karena itu ini menjadi catatan pemerintah untuk membuat kebijakan yang juga mempertimbangkan aspek psikologis masyarakatnya. Komunikasi publik dari para pembuat kebijakan juga perlu untuk dievaluasi dan diperbaiki dalam rangka untuk membangun kesadaran bersama mengataso masalah abad ini yaitu pandemi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)