
Gegara Covid, Permintaan Energi RI Anjlok 16% di 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kebutuhan energi sebesar 16% di Indonesia pada tahun ini dibandingkan 2019 lalu yang mencapai 215 juta ton setara minyak (MTOE).
Hal tersebut diungkapkan Hery Haerudin, Vice President Pertamina Energy Institute dalam webinar "Pertamina Energy Webinar 2020 - Energizing the Energy Transition" pada Selasa (08/12/2020).
Hery mengatakan, pemulihan dari kebutuhan energi di Tanah Air diasumsikan paling cepat terjadi pada 2022.
"Pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kebutuhan energi sebesar 16% di 2020 dan 3% dalam jangka panjang. Kebutuhan energi primer terus meningkat dengan pertumbuhan sekitar 3% per tahun," ungkapnya dalam webinar tersebut.
Dia menyebutkan, pada 2019, mayoritas bauran energi primer Indonesia masih berasal dari batu bara yakni mencapai 38%, lalu minyak 33%, gas 20%, dan energi baru terbarukan baru 9%.
Pada 2030, dengan skenario bisnis biasa (Business as Usual/ BAU) batu bara diperkirakan masih mendominasi sebesar 39%, minyak 31%, gas 18%, dan energi baru terbarukan hanya 12%. Bila mengikuti skenario Market Driven (MD), maka kontribusi batu bara turun menjadi 36%, minyak turun menjadi 29%, gas menjadi 19%, dan EBT naik menjadi 16%.
Bila skenario transisi energi hijau (green transition/ GT) dijalankan, maka porsi batu bara menjadi 33%, minyak turun signifikan menjadi 23%, gas 19%, dan energi baru terbarukan akan naik signfikan menjadi 25%.
Dalam jangka panjang hingga 2050, skenario BAU akan berdampak pada bauran energi baru terbarukan tidak berkembang dan hanya stagnan di sekitar 12% dan batu bara signifikan naik menjadi 44%. Namun bila dengan skenario MD, kontribusi energi baru terbarukan akan naik menjadi 29% pada 2050 dan batu bara relatif stabil di sekitar 33% namun minyak turun menjadi 19%.
Sementara bila berdasarkan skenario GT, permintaan energi terbarukan akan naik signifikan menjadi 47% pada 2050, batu bara dan minyak turun menjadi masing-masing 20% dan 12%.
"Energi terbarukan menjadi energi primer dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi dengan porsi mencapai 29% di skenario MD dan 47% di skenario GT pada 2050," ujarnya.
Sementara pemanfaatan gas menurutnya juga akan meningkat, namun dengan porsi relatif stabil. Adapun porsi batu bara dan minyak akan mengalami penurunan dikarenakan adanya transisi energi.
Dari sisi emisi karbon dioksida di sektor energi, dia mengungkapkan pada 2020 mencapai sekitar hampir 500 MT. Bila dengan skenario bisnis biasa, maka emisi karbon akan meningkat signifikan menjadi hampir 1.400 MT pada 2050, dan skenario Market Driven menjadi sekitar 900 MT, sedangkan bila menggunakan skenario transisi energi, maka emisi karbon bisa dijaga hampir sama dengan tahun ini sekitar 500-600 MT.
"Untuk mencapai penurunan emisi sesuai skenario, diperlukan EBT paling sedikit 16% pada 2030 yang didukung oleh disrupsi energi lainnya seperti EV (kendaran listrik), biofuel, dan peningkatan pemanfaatan gas," ungkapnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kompetisi Sobat Bumi Pertamina Lahirkan Inovator EBT
