
Rekam Jejak Sinovac yang Vaksinnya Datang ke RI, Ada Skandal

Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Sinovac Biotech Ltd (Sinovac) sudah tak asing lagi di telinga publik global terutama masyarakat Indonesia. Perusahaan bioteknologi asal China itu dikenal sebagai salah satu pionir pembuat vaksin Covid-19 dengan nama CoronaVac yang juga dipasok ke Tanah Air.
Namun tak banyak warga +62 dan netizen di dalam negeri yang tahu tentang rekam jejak sang pembuat vaksin Covid-19 tersebut. Lantas seperti apakah sepak terjang Sinovac selama ini? Berikut CNBC Indonesia rangkumkan untuk pembaca.
Siapakah Sinovac Sebenarnya?
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menguliti track record Sinovac, ada baiknya tahu lebih dahulu siapa orang dibalik perusahaan pembuat vaksin dan kegiatan usaha apa saja yang dilakukannya.
Mengutip situs resmi perusahaan, Sinovac merupakan perusahaan farmasi yang bermarkas di China. Kegiatan usahanya meliputi riset, pengembangan, produksi dan komersialisasi vaksin untuk berbagai penyakit menular yang menginfeksi manusia.
Portofolio produk Sinovac sangatlah beragam mulai dari vaksin Hepatitis A & B, Influenza musiman, H5N1 atau flu burung, H1N1 atau flu babi, gondok hingga vaksin untuk rabies.
Pada tahun 2009, Sinovac menjadi perusahaan pertama di dunia yang menerima persetujuan untuk memasok vaksin Influenza H1N1 Pemerintah China. Perseroan juga satu-satunya pemasok vaksin flu pandemi H5N1 untuk program pemerintah China.
Sinovac telah mengajukan permohonan obat baru ke China Food & Drug Administration untuk vaksin enterovirus 71 miliknya, yang telah terbukti efektif dalam mencegah penyakit tangan, kaki dan mulut pada bayi dan anak-anak selama uji coba Fase III.
Perusahaan saat ini sedang mengembangkan sejumlah produk baru termasuk vaksin polio nonaktif strain Sabin, vaksin polisakarida pneumokokus, vaksin konjugasi pneumokokus, dan vaksin varicella.
Sinovac terutama menjual vaksinnya di China. Namun Sinovac juga menjajaki peluang pertumbuhan bisnisnya di pasar internasional. Perusahaan telah mengekspor vaksin tertentu ke Mongolia, Nepal, Filipina dan Meksiko, dan baru-baru ini diberikan izin untuk komersialisasi vaksin hepatitis A di Chili.
Di tahun 2020, Sinovac menjadi salah satu dari empat pengembang vaksin China lain yang sudah mencapai tahap III uji klinis pengembangan vaksin Covid-19.
Sinovac memang berkedudukan di China. Namun perusahaan ini tunduk pada hukum Antigua & Barbuda yang merupakan suatu wilayah di Kepulauan Karibia sebagai lokasi pembentukan perusahaan offshore yang memanfaatkan status tax haven wilayah tersebut.
Saat ini perusahaan tersebut dipimpin oleh seorang Chairman, Presiden sekaligus CEO bernama Widong Yin sejak 2003. Dia sebelumnya bekerja sebagai dokter medis di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China, Kota Tangshan Provinsi Hebei.
Weidong Yin telah mengabdikan diri pada penelitian hepatitis selama lebih dari 20 tahun dan berperan penting dalam pengembangan Healive (salah satu produk vaksin Sinovac).
Selain itu Weidong Yin telah ditunjuk sebagai investigator utama program pengembangan vaksin Hepatitis A, SARS, dan Flu Burung oleh Kementerian Sains dan Teknologi China.
Pria yang memperoleh gelar MBA dari National University of Singapore (NUS) ini menguasai 12,71% saham Sinovac per 31 Maret 2020 mengacu pada informasi pemegang saham yang diperoleh dari Refinitiv Datastream.
Sinovac merupakan salah satu perusahaan publik yang mencatatkan sahamnya di Nasdaq dengan kode emiten SVA. Sebagian besar sahamnya dimiliki oleh investor strategis seperti para pengelola dana dengan model Private Equity (PE), Venture Capital (VC), Hedge Fund (HF), korporasi (CI) hingga investor individual (II).
Meski merupakan sebuah perusahaan terbuka dan mengembangkan vaksin Covid-19, kinerja sahamnya tidak sementereng pengembang vaksin Covid-19 yang terbang tinggi.Ini disebabkan karena pihak Nasdaq menghentikan perdagangan saham Sinovac. Artinya banyak investor yang tak bisa membeli saham farmasi ini.
Nasdaq menghentikan perdagangan saham dengan kode emiten SVA ini lebih dari setahun lalu tepatnya sejak 22 Februari 2019. Pada perdagangan terakhir saham Sinovac dihargai di US$ 6,47/unit.
Penghentian perdagangan saham Sinovac oleh otoritas bursa Nasdaq bukan tanpa alasan. Ini ada kaitannya dengan kasus hukum yang menjerat Sinovac dengan para investor dan pemegang sahamnya. Salah satunya adalah 1Globe Capital.
1Globe Capital merupakan salah satu perusahaan investasi berbentuk family office yang berkedudukan di Delaware, Boston, AS. Sebagai informasi, family office adalah salah satu bentuk perusahaan yang mengurusi investasi, manajemen aset, perpajakan hingga akunting para crazy rich atau keluarga high net worth individual (HNWI).
Perusahaan ini dimiliki oleh warga China yang tinggal di AS bernama Li. Dalam aktivitas sehari-harinya 1Globe Capital melakukan perdagangan dengan membeli dan menjual aset-aset ekuitas di pasar saham AS.
Berdasarkan dokumen Securities Exchange Comission (SEC) semacam badan pengawas pasar modal AS yang diperoleh CNBC Indonesia, semua berawal dari pembelian saham Sinovac oleh 1Globe pada tahun 2016.
Baik 1Globe Capital, Li maupun afiliasinya yang berkedudukan di Kanada maupun Beijing terus melakukan pembelian saham Sinovac dari yang awalnya hanya 10% menjadi lebih dari 20% dari total saham Sinovac dan menjadi beneficiary owner perusahaan biotek China itu.
Pada Februari 2016 Sinovac mendapatkan sebuah proposal dari konsorsium yang dipimpin oleh sang CEO untuk membuat Sinovac menjadi perusahaan non-publik (Grup A). Namun tak lama berselang Sinovac juga mendapatkan proposal dari konsorsium lain (Grup B).
Apabila disetujui oleh dewan direksi Sinovac, salah satu rencana tersebut membutuhkan ratifikasi dari setidaknya dua pertiga (yaitu, 66,67%) suara pemegang saham perusahaan. Kemudian Sinovac membentuk komite khusus untuk mengevaluasi proposal pesaing tersebut.
Setelah melalu diskusi yang panjang, komite khusus tersebut akhirnya menolak proposal yang diajukan oleh Grup B. Untuk menghindari aksi akuisisi paksa (hostile takeover), Sinovac akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi korporasi lain berupa rights plan atau dalam istilah keuangannya adalah poison pill (pil racun).
Dalam aksi korporasi ini Sinovac menetapkan batasan 15% kepemilikan yang diidentifikasi sebagai pihak yang bakal mengakuisisi. Dalam sebuah dokumen perusahaan, Sinovac menerbitkan sejumlah saham yang akan dijual ke pihak yang berstatus non-akuisisi untuk mendilusi saham pihak lain yang akan menjadi calon pengakuisisi.
Melansir Bloomberg, Sinovac menerbitkan 28 juta saham baru setelahnya. Meski cara ini terbukti efektif untuk menghindari akuisisi paksa tetapi dampak aksi korporasi ini dinilai buruk karena berdampak negatif terhadap valuasi perusahaan dan membuat pasar menjadi tidak efisien.
Namun 1Globe Capital lewat afiliasinya yaitu pihak yang disebut sebagai managing director di Kanada maupun afiliasi lainnya di Beijing lewat akun brokernya terus menambah kepemilikan di saham Sinovac.
Transaksi tersebut dibiayai oleh Li dan 1Globe Capital hingga kepemilikan total sahamnya mencapai sepertiga dari total saham outstanding.
Saat Sinovac melakukan RUPS untuk memilih kembali jajaran direksinya. Salah satu afiliasi 1Globe Capital menjadi kandidat kuat. Melihat hal tersebut, Sinovac merasa bahwa proses tersebut tidaklah sah.
Mengacu pada SEC, 1Globe Capital dinilai melanggar aturan pasar modal yang berlaku di AS terutama dalam hal pelaporan kepemilikan saham. Atas tindakan melanggar hukum tersebut 1Globa Capital dikenai sanksi berupa denda US$ 290 ribu.
Selanjutnya pada 13 Maret 2018, 1Globe Capital mengajukan keluhan terhadap Perusahaan di Pengadilan Antigua. Sidang perkara tersebut berlangsung dari tanggal 3 sampai 5 Desember 2018.
Pada tanggal 19 Desember 2018, hakim Antigua menjatuhkan putusannya ("Keputusan Antigua"), yang sepenuhnya mendukung Sinovac dengan menolak klaim 1Globe Capital dan menyatakan bahwa rights plan diadopsi secara sah sesuai ketentuan hukum Antigua.
Pada tanggal 29 Januari 2019, 1Globe Capital mengajukan pemberitahuan banding terhadap keputusan Antigua. Pada tanggal 4 Maret 2019, 1Globe Capital mengajukan permohonan bantuan sementara yang mendesak, meminta untuk mencegah Sinovac melaksanakan rights plan-nya hingga selesai banding.
Permohonan ini disidangkan pada tanggal 4 April 2019, di mana Pengadilan Banding mengeluarkan perintah yang menahan Sinovac untuk melaksanakan aksi korporasinya dengan cara apa pun yang dapat mempengaruhi hak atau kepemilikan 1Globe Capital atau mendistribusikan saham barunya.
Banding 1Globe Capital terhadap keputusan Antigua disidangkan pada tanggal 18 September 2019, dan banding tersebut sekarang sedang menunggu keputusan. Inilah alasan utama saham Sinovac disuspensi di Nasdaq.
Sinovac tidak hanya bermasalah dengan 1Globe Capital saja. Namun perusahaan yang dipimpin oleh Weidong Yin tersebut juga punya masalah hukum dengan pemegang saham lainnya.
Secara terpisah, Heng Ren Investments LP ("Heng Ren") mengajukan gugatan terhadap Sinovac dan Weidong Yin atas dugaan pelanggaran kewajiban fidusia dan dilusi ekuitas yang salah pada tanggal 31 Mei 2019, di pengadilan negara bagian Massachusetts.
Sinovac memindahkan masalah ini dari pengadilan negara bagian ke Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk Distrik Massachusetts. Heng Ren menuduh bahwa CEO Widong Yin melanggar kewajiban fidusia kepada pemegang saham minoritas.
Sinovac dinilai membantu dan bersekongkol dengan pelanggaran kewajiban fidusia, dan baik Sinovac maupun Weidong Yin terlibat dalam praktik dilusi ekuitas yang salah. Heng Ren meminta ganti rugi hingga biaya pengacara. Saat ini, kasus tersebut secara efektif ditahan.
Ternyata masih ada lagi kasus hukum yang membayangi Sinovac. Kali ini bukan dengan para pemegang sahamnya melainkan dengan regulator obat di negaranya sendiri yakni China.
CEO Sinovac Weidong Yin dilaporkan telah melakukan suap kepada pihak regulator China untuk meloloskan produk vaksin buatannya. Berita ini ditulis oleh Washington Post kemarin dan menjadi hangat diperbincangkan oleh khalayak ramai.
Skandal penyuapan terjadi pada 2016, di mana Sinovac menyuap Badan Pengawas Obat dan Makanan China. Suap tersebut ternyata terkait dengan izin pengembangan vaksin SARS pada 2003 dan flu babi pada 2009.
Sinovac mengakui kasus suap yang melibatkan pemimpinnya, Weidong Yin. Dalam kesaksiannya pada tahun 2016, Weidong Yin tidak dapat menolak permintaan sejumlah uang dari pejabat regulasi dan saat itulah terjadi penyuapan.
Weidong Yin yang merupakan pendiri dan kepala eksekutif perusahaan juga mengaku telah membayar suap lebih dari US$ 83.000 dari tahun 2002 hingga 2011 kepada seorang pejabat regulasi, Yin Hongzhang. Sebagai imbalannya, pejabat regulasi akan mengupayakan sertifikasi vaksin Sinovac untuk SARS, flu burung, dan flu babi.
Dalam kasus ini Hongzhang dijatuhi hukuman satu dekade penjara pada 2017 karena menerima suap dari Sinovac dan tujuh perusahaan lainnya. Sementara itu, Weidong Yin tidak dikenakan biaya atau denda apapun.
Bagi Sinovac, kasus suap ini bukan hanya satu kali. Setidaknya 20 pejabat pemerintah dan administrator rumah sakit di lima provinsi telah mengaku menerima suap dari karyawan Sinovac antara tahun 2008 dan 2016.
Pimpinan Sinovac menyuap untuk merampingkan peraturan perizinan. Hal lain yang lebih ditakuti, seperti skandal suap keamanan vaksin tidak terbukti.
Namun, beberapa ahli medis mulai meragukan vaksin yang dibuat oleh Sinovac dan mendesak otoritas terkait untuk segera melakukan pemeriksaan ekstra atas klaim vaksin yang dibuat oleh Sinovac.
"Fakta bahwa perusahaan memiliki sejarah penyuapan menimbulkan keraguan atas klaim data yang tidak dipublikasikan dan ditinjau oleh rekan sejawat tentang vaksinnya," kata Arthur Caplan, direktur divisi etika medis Universitas New York.
"Bahkan dalam sebuah wabah, perusahaan dengan rekam jejak yang meragukan secara moral harus diperlakukan dengan sangat hati-hati terkait klaim mereka," tambahnya.
Tentu ini menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia yang menjalin kerja sama dengan Sinovac untuk pengadaan vaksin Covid-19. Apalagi vaksin Covid-19 buatan China itu sudah tiba di Tanah Air pada minggu malam.
Sekarang sebanyak 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 Sinovac itu disimpan di perusahaan farmasi pelat merah Indonesia PT Bio Farma (Persero)
Berbeda dengan kandidat vaksin lain seperti Pfizer-BioNTech, Moderna dan AstraZeneca yang mengklaim tingkat keampuhan proteksinya (efficacy) mencapai 90%, laporan interim hasil uji klinis tahap akhir kandidat vaksin CoronaVac belum dirilis oleh Sinovac.
Di luar China, lokasi uji klinis tahap ketiga CoronaVac dilakukan di Brazil, Turki dan Indonesia. Di Brazil dan Turki jumlah relawan uji klinis tahap akhirnya mencapai lebih dari 13 ribu orang, sementara di Indonesia yang diselenggarakan di Bandung hanya sebanyak 1.620 orang peserta.
Website uji klinis clinicaltrials.gov melaporkan bahwa analisa interim hasil uji klinis tahap akhir CoronaVac di Brazil baru akan dilaporkan ketika kasus infeksi Covid-19 mencapai angka 150.
Sampai saat ini laporan hasil uji klinis yang sudah dirilis adalah laporan uji klinis tahap pertama dan kedua. Laporan tersebut dimuat di jurnal ilmiah internasional The Lancet Infectious Disease pada 17 November lalu.
Berdasarkan hasil yang dilaporkan, CoronaVac mampu menginduksi pembentukan antibodi penetral Covid-19. Dosis 3 mikrogram ditetapkan sebagai dosis untuk uji tingkat keampuhan pada fase akhir.
Namun ada yang menarik dari laporan uji klinis tahap 1/2 vaksin buatan perusahaan farmasi China ini. CoronaVac disebut menghasilkan antibodi penetral yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh plasma konvalesens pasien yang sembuh Covid-19.
Meskipun begitu, CoronaVac diklaim masih tetap mampu memberikan perlindungan terhadap Covid-19. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan dalam laporan tersebut.
Pertama adalah hasil uji klinis vaksin lain seperti enterovirus 71 dan varicella. Kedua hasil studi praklinis menunjukkan bahwa titer antibodi penawar yang ditimbulkan pada hewan model kera memberikan perlindungan lengkap terhadap virus SARS-CoV-2.
Alasan terakhir meskipun beberapa penelitian telah menemukan bahwa respons antibodi yang dihasilkan dari infeksi alami virus Corona misalnya pada Covid-19 & MERS dapat menurun secara substansial dari waktu ke waktu pasien jarang dilaporkan mengalami infeksi kembali.
Hal tersebut menunjukkan bahwa memori imunologis mungkin memiliki peran penting dalam pencegahan infeksi ulang.
"Oleh karena itu, tingkat antibodi itu sendiri mungkin bukan kunci keberhasilan vaksin Covid-19, melainkan pembentukan respons kekebalan spesifik terhadap SARS-CoV-2." tulis laporan tersebut.
Dalam sambutannya Jokowi juga menyampaikan penggunaan vaksin ini menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sementara untuk aspek kehalalannya juga tengah dikaji oleh MUI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/sef) Next Article Suplai Vaksin ke RI, Sinovac Dibayangi Skandal Izin Edar
