
Korupsi Bansos Covid, Produsen Sudah Cium Keanehan Sejak Awal

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengadaan bantuan sosial (bansos) menjadi sorotan setelah Mensos Juliari Batubara terciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi bansos covid-19.
Di luar persoalan adanya dugaan korupsi, selama ini terjadi kesimpangsiuran dalam pengadaan barang bansos. Hal ini diakui oleh pengusaha yang sempat jadi produsen salah satu barang bansos antara lain sarden.
Kalangan pengusaha mengaku pola komunikasi antara dunia usaha dengan Kementerian Sosial (Kemensos) tidak jelas. Banyak pihak yang mengaku sebagai vendor atau pihak ketiga dan meminta pengadaan sarden. Anehnya, pengusaha mengaku tidak dihubungi langsung oleh pihak Kemensos, alias banyak rantainya.
"Kita nggak tahu berapa yang dibutuhkan oleh pemerintah. Kita nggak pernah dikomunikasikan butuhnya sekian juta dengan plafon harga sekian," kata Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya kepada CNBC Indonesia, Senin (7/12/2020).
Padahal, dalam pengadaan yang membutuhkan anggaran besar tentu perlu kejelasan bagaimana mekanismenya. Namun, jika hanya melewati vendor dan bukan pihak Kemensos langsung tentu bakal menimbulkan pertanyaan. Sementara pengusaha memerlukan kepastian sebelum ada pengadaan.
"Berapa jumlahnya, berapa harganya dan berapa standar produknya. Dalam arti kalau pakai bumbu banyak, beda harganya dengan bumbu sedikit. Kami nggak pernah mendapat (info jelas),"sebutnya.
Ady sebelumnya sempat mengeluhkan kepada CNBC Indonesia, pada awal Juni ia mengaku sudah mendapat penawaran dari ratusan vendor yang mengaku dari Kemensos.
Padahal seharusnya pihak Kemensos yang berkomunikasi langsung, sehingga mengurangi potensi terjadinya permainan. Ady mengaku pola seperti ini sudah berlangsung sejak awal pengadaan bansos saat terjadi pandemi covid.
"Kami nggak mau nanti ada margin besar sekali antara kita dengan Kemensos. Kan itu uang rakyat. Terus terang kita nggak tahu berapa jumlah vendornya. Tapi yang nanya itu ratusan ke kami. Tangan per tangan," sebut Ady pada Juni lalu.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, kasus diawali adanya pengadaan barang berupa bansos penanganan Covid-19. Ada paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.
Pada tahapan ini, Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai pejabat pembuat komitmen dengan cara penunjukan langsung rekanan. KPK menduga ada kesepakatan sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.
"Saudara JPB selaku Menteri Sosial menunjuk MJS dan AW sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," kata Firli dalam konferensi pers, Minggu (6/12/2020).
Ia mengatakan, untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial.
Juliari diduga menerima uang senilai Rp 17 miliar dari dua pelaksanaan paket bantuan sosial (bansos), terkait sembako penanganan Covid-19. Sebelumnya, pengadaan bantuan sosial untuk penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020 memiliki nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article KPK Tangkap Pejabat Dugaan Bansos Disunat, Mensos Buka Suara