Jakarta, CNBC Indonesia - Angka pertambahan kasus infeksi Covid-19 di Indonesia terus memburuk. DKI Jakarta dan Jawa Tengah menjadi penyumbang pertumbuhan infeksi wabah paling signifikan belakangan ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sampai menyentil duo gubernur Anies Baswedan-Ganjar Pranowo soal peningkatan kasus yang terjadi. Sedihnya, tak butuh waktu lama setelah Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria diumumkan positif mengidap Covid-19, Gubernur Anies Baswedan pun dinyatakan terinfeksi hari ini.
Kasus Covid-19 di DKI Jakarta dan Jawa Tengah naik drastis. Kasus sempat bertambah sampai 2.000 infeksi dalam sehari di Jawa Tengah, sementara di DKI Jakarta kasus meledak mendekati level 1.500.
Alhasil pertambahan kasus infeksi nasional sempat tembus rekor tertinggi selama wabah terjadi. Pada 29 November pekan lalu kasus infeksi di RI tercatat bertambah mencapai 6.267.
Ledakan jumlah kasus baru ini jelas sangatlah mengkhawatirkan. Momentumnya pun bersamaan dengan faktor cuaca yang bisa memperburuk kondisi wabah. Akhir tahun di negara tropis seperti Indonesia biasanya bertepatan dengan musim penghujan.
Curah hujan tinggi akibat La Nina di Indonesia berpotensi menyebabkan bencana hidro-meteorologis seperti banjir dan tanah longsor. Banjir selain menimbulkan kerugian ekonomi juga memiliki konsekuensi terhadap munculnya berbagai jenis penyakit seperti tifus, demam berdarah dan influenza.
Di Indonesia fluktuasi kasus sebenarnya juga tak bisa dilepaskan dari angka tes Covid-19 yang dilakukan. Konsekuensi digenjotnya tes Covid-19 adalah peningkatan angka pertambahan kasus.
Namun tidak tepat bila melihat fenomena pertambahan kasus hanya dari kacamata tes saja. Lagipula tes Covid-19 yang dilakukan sampai sekarang pun masih cenderung inkonsisten dan tidak representatif. Artinya jumlah sebenarnya penderita Covid-19 di Tanah Air seharusnya lebih dari 530 ribu yang dilaporkan saat ini.
Fakta di lapangan banyak juga yang mendukung transmisi penyebaran wabah. Fenomena pulang kampung ke daerah Jawa Tengah saat libur akhir bulan Oktober lalu harus dibayar mahal dengan lonjakan kasus Covid-19 di wilayah tersebut.
Kerumunan massa yang belakangan terjadi di DKI Jakarta juga ditengarai menjadi faktor yang meningkatkan keganasan penyebaran virus tak kasat mata yang membahayakan jiwa itu.
Kendornya protokol kesehatan di kalangan masyarakat melalui 3M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) adalah potret mengerikan yang sebenarnya meningkatkan risiko pandemi Covid-19 makin tak terkendali.
Berkaca dari negara-negara Eropa dengan total kasus terbanyak seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Italia dan Jerman, lockdown atau karantina wilayah menjadi kebijakan yang efektif menekan angka pertumbuhan Covid-19.
Hal ini terlihat dari pola yang terbentuk pada kurva epidemiologi negara-negara tersebut. Saat kasus bertambah dengan signifikan pada Agustus dan September lalu, kebijakan lockdown mulai diterapkan kembali. Hasilnya pun positif, angka pertambahan kasus Covid-19 sudah mulai melandai mulai pertengahan November lalu.
Kebijakan lockdown yang jelas dari pemerintah dibarengi dengan kesadaran dalam menjaga jarak oleh masyarakatnya mampu secara efektif menekan angka pertumbuhan infeksi.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga jarak juga tercermin dari penurunan mobilitas masyarakatnya di berbagai lokasi dan peningkatan aktivitas di dalam rumah sejak diterapkannya lockdown jilid II.
Studi yang dilakukan oleh Bau Thu dkk (2020) dengan menggunakan kasus AS, Spanyol, Italia, Inggris, Prancis, Jerman, Russia, Turki dan Iran yang menyumbang kasus terbanyak menunjukkan bahwa efektivitas social distancing antar negara berbeda-beda.
Dalam studinya butuh waktu 1-4 minggu untuk melihat efektivitas social distancing terhadap penurunan kasus dan angka kematian akibat Covid-19. Perbedaan efektivitasnya juga sangat tergantung pada derajat social distancing dan kasus di masing-masing negara.
Apabila melihat kasus di Eropa yang berhasil ditekan dengan lockdown baik jilid pertama dan kedua, haruskah RI mengikuti? Perlukah kebijakan rem darurat digunakan.
Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menentukan apakah rem darurat harus ditarik atau tidak. Pertama adalah model kebijakan rem darurat itu sendiri.
Seperti apakah kebijakan rem darurat itu harus didefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan ke publik. Apakah modelnya lockdown atau bisa dengan skema yang lain. Semua harus juga dilihat dengan kultur dan kondisi demografi suatu negara.
Apabila berkaca pada Hong Kong, studi yang dilakukan oleh Zhiao dkk (2020), aspek kultural dan demografis memegang peranan penting dalam hal kepatuhan social distancing. Menurut studi ini, perempuan, lansia dan orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung punya kesadaran yang lebih.
Dari sini kita bisa melihat bahwa membangun kesadaran masyarakat, kebijakan yang jelas dan terukur serta koordinasi antar elemen pemerintahan, hingga law enforcement adalah hal yang utama dalam penanganan pandemi ini.
Percuma saja diadakan kebijakan rem darurat tapi tidak jelas dan penegakannya, kasus Covid-19 masih akan terus meledak. Sekarang kuncinya cuma dua. Di masyarakat adalah menggalakkan 3M sementara pemerintah 3T (Testing, Tracing, Treatment). Itu saja sudah, galakkan lagi dengan lebih serius!
TIM RISET CNBC INDONESIA