
Ini Alasan Revisi UU Migas Tak Jadi Prioritas DPR di 2021

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah mangkrak satu dekade, revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) nampaknya juga belum akan dibahas dalam waktu dekat. Bahkan, revisi UU Migas tidak masuk dalam daftar prioritas DPR pada 2021 mendatang.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan revisi UU Migas masih masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2021, tapi tidak masuk dalam daftar prioritas akibat adanya pandemi corona (Covid-19).
Dia mengatakan, sebagai dampak adanya pandemi, dalam satu masa sidang hanya ada satu Rancangan UU yang bisa dituntaskan. DPR memilih Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan pada 2021.
"Revisi UU Migas tetap masuk Prolegnas, tapi belum prioritas utama karena Covid-19 maka DPR ada kebijakan, satu masa sidang maksimal hanya satu RUU yang dituntaskan," paparnya saat wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020).
Dia mengatakan, pembahasan revisi UU Migas ini sudah masuk dalam Prolegnas prioritas sejak 2015. Kala itu sudah disiapkan naskah akademiknya, bahkan legal draft sudah siap.
Waktu itu, lanjutnya, pemerintah sudah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) soal kementerian yang bertanggung jawab tentang penyusunan UU Migas ini. Hanya saja, kala itu menurutnya pemerintah tidak menyertakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menjadi prasyarat penyusunan revisi UU.
"Sekali lagi, DPR sejatinya sudah siap sejak 2015 untuk membahas revisi UU Migas jadi prioritas dibahas dan dituntaskan mengingat karena beberapa pasal strategis dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) inilah keadaannya," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan DPR memprioritaskan penyelesaian Rancangan UU EBT dibandingkan revisi UU Migas. Dia beralasan, ada hal mendesak karena pemerintah harus mengejar target bauran energi baru terbarukan 23% pada 2025 dari saat ini masih 10,9%. Di sisi lain, untuk mendorong investasi di sektor EBT ini, maka dibutuhkan kepastian regulasi, salah satunya melalui UU EBT ini.
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025 bauran EBT ditargetkan mencapai 23%, minyak 25%, gas 22%, dan batu bara 30%. Kemudian pada 2050 minyak jadi 20%, gas 24%, batu bara 25%, dan EBT 31%.
"Kerangka-kerangka kebijakan energi ini perlu juga kebijakan yang sifatnya proven, maka diperlukan UU. Diperlukan juga EBT di mana kini tingkat capaiannya masih sangat rendah. Dengan berbagai persoalan yang ada, maka Komisi VII anggap EBT prioritas utama, dan (revisi UU) migas menjadi prioritas selanjutnya," jelasnya.
Meski demikian, dia mengakui bahwa revisi UU Migas tak kalah penting karena melibatkan modal yang besar dan memerlukan kepastian hukum. Namun jika dikerjakan dengan terburu-buru dan terdesak, pihaknya khawatir malah itu akan menimbulkan ketidakpastian baru.
"Di bawah SKK Migas sejauh ini oke, tapi memerlukan kepastian-kepastian lain. Apa yang sekarang jalan itu yang kita jaga," ungkapnya.
Seperti diketahui, salah satu poin yang ditunggu dalam revisi UU Migas yaitu status kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Karena SKK Migas masih berupa institusi sementara sejak dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012 lalu.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mangkrak 1 Dekade, Revisi UU Migas Bakal Dibahas Mid 2021
