
Ternyata RI Punya Potensi Gasifikasi Batu Bara Bawah Tanah

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah semakin gencar menggalakkan program hilirisasi batu bara, salah satunya melalui gasifikasi batu bara menjadi methanol atau dimethyl ether (DME). Namun ternyata, bukan hanya gasifikasi dari batu bara di atas permukaan, Indonesia juga memiliki potensi gasifikasi batu bara di bawah permukaan (Underground Coal Gasification/ UCG).
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Hermansyah mengatakan, merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014, UCG ini masuk dalam kategori energi baru meski berasal dari sumber energi tidak terbarukan.
Dalam acara Indonesia EBTKE ConEx 2020, Jumat (27/11/2020), dia menjelaskan UCG adalah proses mengubah batu bara menjadi syngas. Selain untuk pembangkit listrik, syngas juga bisa digunakan untuk bahan baku industri kimia.
"Jadi, ada sumur injeksi, ada sumur produksi, gas atau udara atau oksigen diinjeksikan ke sumur injeksi. Kemudian gas yang dihasilkan dari hasil pembakaran batu bara ini dibawa untuk diproduksi dan dimanfaatkan sebagai pembangkitan maupun bahan baku industri kimia," paparnya Jumat (27/11/2020).
Dia mencontohkan, projek UCG saat ini tengah dikembangkan pihaknya di Sumatera Selatan dengan bekerja sama dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Hasilnya menurutnya sudah diadopsi melalui keputusan Menteri ESDM tentang kriteria pemilihan lokasi untuk UCG.
Di dunia, ada empat aktivitas UCG antara lain di Angren, Uzbekistan, dari 1960 sampai sekarang, Rocky Mountain, Wyoming, USA pada 1988, Swan Hills, Alberta, Canada pada 2011. Lalu Linc energy Chincilla, Autralia pada 2011, dan Balitbang ESDM, Sumatera Selatan, 2017.
"Kita dengan dengan Australia ini memiliki hampir sama energy mix-nya, sehingga kontribusi energi terbarukan diharapkan naik. Di sini kami memperkenalkan peran UCG menggantikan atau mengurangi volume batu bara yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik," paparnya.
Emisi gas rumah kaca UCG ini menurutnya paling kecil dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya sekitar 28%.
"Selain untuk pembangkit UCG, bisa hasilkan syngas untuk substitusi gas alam yang semakin hari semakin turun," ungkapnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM status per Desember 2019, dari cadangan 37,45 miliar ton, sebanyak 12,69 miliar ton ada di Sumatera. Sementara dari sumber daya 149,01 miliar ton, sumber daya di Sumatera mencapai 37,70% atau sebesar 56,24 miliar ton.
Jika sumber daya diolah menjadi Synthetic Natural Gas (SNG) menggunakan teknologi UCG, dengan asumsi hanya 50% batu bara yang sesuai untuk UCG dan efisiensi gasifikasi UCG sebesar 50% dan nilai kalori batubara 4.000 kkal /kg, maka cadangan batu bara dapat menghasilkan CNG sebesar 160 TCF yang mana lebih besar dari cadangan gas alam Indonesia sebesar 142,72 TCF.
"Dari pengalaman kami membuat roadmap, saat ini ada dua PKP2B mulai melakukan pengembangan UCG, kemudian empat tahun ke depan sudah ada yang berhasil," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Misi Jokowi: Ekspor Batu Bara Mentah Harus Kita Akhiri!
