Eropa & Inggris Bakal Kena 'Resesi Kambuhan'! Indonesia Juga?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 November 2020 14:16
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson
Foto: Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (AP Photo/Alastair Grant)

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru saja mengalami peningkatan aktivitas ekonomi, Eropa harus kembali terancam mengalami kontraksi akibat maraknya karantina wilayah (lockdown) belakangan ini. Eropa dan Inggris tengah menghadapi apa yang disebut dengan gelombang kedua Covid-19. Lonjakan kasus yang signifikan hampir terjadi di seluruh negara di kawasan tersebut. 

Peningkatan kasus infeksi Covid-19 kali ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada awal Maret lalu. Sekilas pola penambahan kasus infeksi wabah Covid-19 mirip dengan pandemi flu Spanyol satu abad silam. 

Infeksi Covid-19 pada gelombang kedua meningkat secara signifikan dan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan gelombang pertama. Dalam sehari kasus bertambah di kisaran 20.000 di Inggris sedangkan di Eropa secara total lebih dari 200.000 kasus tercatat per harinya. 

Langkah pengetatan mobilitas pun diambil. Namun yang kali ini dinilai tidak seketat dulu. Dampak ekonominya akan tetap terasa tetapi juga tak akan sebesar saat lockdown jilid pertama. 

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters menunjukkan bahwa mayoritas responden yang disurvei memproyeksi fenomena double dip recession bakal terjadi di Zona Euro dan Inggris.

Secara sederhana double dip recession digambarkan sebagai suatu rangkaian peristiwa resesi yang diikuti oleh kenaikan aktivitas ekonomi yang terjadi secara temporer dan diselingi dengan resesi lagi. Setelah itu barulah ekonomi pulih. Sederhananya, resesi akan datang, pergi, datang, pergi seperti penyakit kambuhan.

Apabila diplot ke dalam sebuah grafik maka kurva pemilihan ekonominya akan membentuk pola yang mirip dengan huruf 'W'. Hanya saja bentuk kurva 'W' yang tergambar adalah bentuk yang sempurna, mengingat semua tergantung pada seberapa dalam kontraksi yang terjadi dan berapa besar kenaikan yang mengikuti. 

Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris dan Zona Euro diperkirakan bakal mengalami kontraksi 2,5% dibandingkan kuartal ketiga tahun 2020. Pada periode Juli-September output perekonomian Inggris dan Zona Euro masing-masing terkerek 15,5% dan 12,6% dibanding pada kuartal sebelumnya.

Hasil kajian Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut bahwa pembatasan mobilitas yang ketat dibarengi dengan kesadaran social distancing yang tinggi membuat kontraksi perekonomian yang terjadi menjadi semakin dalam. 

Selain lockdown jilid II, belum selesainya perkara keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau yang dikenal dengan Brexit juga masih menghantui perekonomian negeri Ratu Elizabeth. 

Keterbatasan kebijakan moneter konvensional melalui suku bunga dinilai sudah tidak efektif lagi karena sudah mentok di zero lower bound. 

Awal bulan ini Bank of England meningkatkan stimulusnya untuk mendukung perekonomian, meningkatkan program pembelian obligasi dengan tambahan GBP 150 miliar, dan mengatakan masih mendalami pro dan kontra dari kebijakan suku bunga negatif. Namun Suku Bunga Bank tidak diharapkan untuk bergerak dari rekor terendahnya di 0,10% setidaknya hingga 2024.

Beralih ke Zona Euro, jajak pendapat Reuters terbaru mengharapkan Dewan Pemerintahan ECB bakal menambah pembelian obligasi terkait pandemi sebesar 500 miliar euro pada pertemuan 10 Desember nanti yang akan membuat jumlah total injeksi likuiditas mencapai EUR 1,85 triliun.

Fenomena double dip recession di Eropa dan Inggris terjadi karena negara-negara di kawasan tersebut kembali menerapkan lockdown. Bagi Indonesia yang menerapkan pembatasan yang lebih longgar melalui PSBB, fenomena tersebut kemungkinan tak terjadi. Bahkan jangan sampai terjadi. 

Tren kasus Covid-19 di RI masih cenderung naik. Bahkan sempat tembus rekor sampai ada tambahan 5.000 kasus dalam sehari terhitung dua pekan setelah libur panjang satu minggu saat Maulid Nabi Muhammad SAW, akhir Oktober lalu. 

Namun PSBB yang diterapkan saat ini dan periode perpanjangannya dirasa sudah tidak lagi efektif karena tak ada penurunan kasus yang signifikan, berbeda dengan Eropa dan Inggris yang lockdown-nya berhasil menekan angka pertambahan kasus. 

Tren peningkatan mobilitas yang terjadi di berbagai lokasi meskipun belum pulih memiliki dua konsekuensi. Pertama adalah peningkatan kasus dan kedua adalah peningkatan aktivitas ekonomi. 

Apabila tren peningkatan ekonomi terus berlanjut kecil kemungkinan Indonesia bakal mengalami apa yang terjadi di Inggris dan Zona Euro. Untuk meredam kejatuhan ekonomi lanjutan akibat pandemi Covid-19 kebijakan fiskal ekspansif dan moneter akomodatif juga ditempuh oleh pemangku kebijakan. 

Pemerintah sebagai otoritas fiskal menganggarkan dana Rp 677 triliun atau 4,4% PDB untuk memulihkan perekonomian. Sebanyak lebih dari Rp 200 triliun dialokasikan untuk bantuan sosial guna menjaga daya beli masyarakat RI yang menjadi tulang punggung ekonomi RI.

Bank sentral nasional juga sudah menginjeksi likuiditas lebih dari Rp 670 triliun ke perbankan melalui penurunan giro wajib minum (GWM) maupun operasi moneter ekspansif dengan harapan bisa digunakan untuk menggenjot roda perekonomian. 

Suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate juga dipangkas 125 basis poin (bps) dengan harapan masyarakat mau meminjam uang ke bank untuk konsumsi dan korporasi untuk ekspansi dan mendanai modal kerjanya. 

Berbagai data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa Indonesia on track menuju pemulihan ekonomi. Namun masih berisiko dengan lemahnya permintaan yang ditandai dengan inflasi inti yang melambat dan kecenderungan masyarakat untuk menabung. 

Bagaimanapun juga dengan adanya risiko tersebut jika pemerintah tidak secara tiba-tiba mengerem laju ekonomi yang terjadi belakangan ini, double dip recession kemungkinan kecil terjadi.

Pada kuartal keempat kemungkinan ekonomi masih terkontraksi dibanding tahun lalu memang ada. Namun apabila dilihat secara kuartalan ada potensi ekonomi meningkat walau lajunya lebih lambat.

Semua pasti berharap resesi tak akan terjadi berkepanjangan di Tanah Air, karena ketika ekonomi RI mengalami kontraksi untuk pertama kalinya sejak krisis moneter 1998, angka pengangguran langsung bertambah 2,7 juta dan nyaris 10 juta orang di Indonesia menyandang status 'menganggur'. 

Kenaikan jumlah pengangguran di dalam negeri pun berbuntut panjang. Adanya penurunan pendapatan terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang rentan miskin berpotensi besar meningkatkan angka kemiskinan ke level dobel digit dan menghapus upaya bertahun-tahun untuk menurunkannya ke bawah 10%. 

Amit-amit lah pokoknya jangan sampai terjadi double dip recession di dalam negeri. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular