
Eropa & Inggris Bakal Kena 'Resesi Kambuhan'! Indonesia Juga?

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru saja mengalami peningkatan aktivitas ekonomi, Eropa harus kembali terancam mengalami kontraksi akibat maraknya karantina wilayah (lockdown) belakangan ini. Eropa dan Inggris tengah menghadapi apa yang disebut dengan gelombang kedua Covid-19. Lonjakan kasus yang signifikan hampir terjadi di seluruh negara di kawasan tersebut.
Peningkatan kasus infeksi Covid-19 kali ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada awal Maret lalu. Sekilas pola penambahan kasus infeksi wabah Covid-19 mirip dengan pandemi flu Spanyol satu abad silam.
Infeksi Covid-19 pada gelombang kedua meningkat secara signifikan dan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan gelombang pertama. Dalam sehari kasus bertambah di kisaran 20.000 di Inggris sedangkan di Eropa secara total lebih dari 200.000 kasus tercatat per harinya.
Langkah pengetatan mobilitas pun diambil. Namun yang kali ini dinilai tidak seketat dulu. Dampak ekonominya akan tetap terasa tetapi juga tak akan sebesar saat lockdown jilid pertama.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters menunjukkan bahwa mayoritas responden yang disurvei memproyeksi fenomena double dip recession bakal terjadi di Zona Euro dan Inggris.
Secara sederhana double dip recession digambarkan sebagai suatu rangkaian peristiwa resesi yang diikuti oleh kenaikan aktivitas ekonomi yang terjadi secara temporer dan diselingi dengan resesi lagi. Setelah itu barulah ekonomi pulih. Sederhananya, resesi akan datang, pergi, datang, pergi seperti penyakit kambuhan.
Apabila diplot ke dalam sebuah grafik maka kurva pemilihan ekonominya akan membentuk pola yang mirip dengan huruf 'W'. Hanya saja bentuk kurva 'W' yang tergambar adalah bentuk yang sempurna, mengingat semua tergantung pada seberapa dalam kontraksi yang terjadi dan berapa besar kenaikan yang mengikuti.
Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris dan Zona Euro diperkirakan bakal mengalami kontraksi 2,5% dibandingkan kuartal ketiga tahun 2020. Pada periode Juli-September output perekonomian Inggris dan Zona Euro masing-masing terkerek 15,5% dan 12,6% dibanding pada kuartal sebelumnya.
Hasil kajian Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut bahwa pembatasan mobilitas yang ketat dibarengi dengan kesadaran social distancing yang tinggi membuat kontraksi perekonomian yang terjadi menjadi semakin dalam.
Selain lockdown jilid II, belum selesainya perkara keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau yang dikenal dengan Brexit juga masih menghantui perekonomian negeri Ratu Elizabeth.
Keterbatasan kebijakan moneter konvensional melalui suku bunga dinilai sudah tidak efektif lagi karena sudah mentok di zero lower bound.
Awal bulan ini Bank of England meningkatkan stimulusnya untuk mendukung perekonomian, meningkatkan program pembelian obligasi dengan tambahan GBP 150 miliar, dan mengatakan masih mendalami pro dan kontra dari kebijakan suku bunga negatif. Namun Suku Bunga Bank tidak diharapkan untuk bergerak dari rekor terendahnya di 0,10% setidaknya hingga 2024.
Beralih ke Zona Euro, jajak pendapat Reuters terbaru mengharapkan Dewan Pemerintahan ECB bakal menambah pembelian obligasi terkait pandemi sebesar 500 miliar euro pada pertemuan 10 Desember nanti yang akan membuat jumlah total injeksi likuiditas mencapai EUR 1,85 triliun.
