RI Boros Impor LPG & Tekor Kasih Subsidi, Ini Jalan Keluarnya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 November 2020 18:00
Bongkar Muat Batu bara di Terminal  Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara.
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Salah satu proyek gasifikasi batu bara di dalam negeri saat ini tengah digarap oleh duo BUMN Pertamina dan PT Bukit Asam TBk (PTBA) di Tanjung Enim. Mengutip presentasi korporasi PTBA kuartal ketiga rencananya gasifikasi batu bara ini dapat memproduksi 1,4 juta juta ton DME dengan dengan konsumsi 8 juta ton batu bara.

Menurut Kajian Pemodelan Prakiraan Penyediaan dan Pemanfaatan Energi dengan Skenario Optimasi Pengolahan Batubara Kementerian ESDM, teknologi gasifikasi batu bara dipilih memiliki peluang bisnis yang lebih besar karena dapat menjadi alternatif gas bumi baik sebagai bahan baku, bahan bakar atau pembangkit listrik.

Strategi diversifikasi semacam ini memang harus didorong guna mewujudkan ketahanan energi nasional. Namun terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah terkait proyek DME ini. 

Pertama adalah nilai keekonomisan proyek. Di tengah anjloknya harga minyak global akibat pandemi Covid-19 dan harga diproyeksi masih akan lemah hingga tahun depan membuat keekonomian proyek menjadi turun sehingga appetite swasta untuk menggarap sektor ini juga ikut menurun. 

Di sisi lain, harga minyak yang anjlok dampak jangka pendeknya ke Indonesia sebagai negara net importir minyak juga baik jika dilihat dari sisi neraca dagang. Anjloknya harga minyak juga memberikan insentif untuk memilih impor untuk sementara waktu. Ini bisa berakibat pada molornya proyek investasi hilir sektor energi. 

Agar nilai keekonomian proyek tetap terjaga, pemerintah harus memberikan berbagai insentif fiskal di tengah kapasitas yang terbatas. Berbagai bentuk insentif seperti pengurangan royalti batu bara bahkan sampai nol persen seperti yang diwacakan dalam RPP UU Cipta Kerja hingga mengatur harga khusus bahan baku gasifikasi.

Catatan lain terkait dengan penggunaan DME dari gasifikasi batu bara selain nilai keekonomian yang sering dikeluhkan para pengusaha adalah produk ini tidak serta merta dapat langsung menjadi substitusi LPG. 

Dalam best practice-nya secara global mengacu pada laporan International DME Association (IDA), sebanyak 65% DME yang diproduksi secara global dicampur dengan LPG. Rasio pencampurannya adalah 20/80 dengan porsi masih banyak LPG.

Hal ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik bahan bakar yang lebih sesuai karena penggunaan DME saja kurang optimal untuk bahan bakar mengingat DME memiliki nilai kalori dan energi per satuan unit volume yang lebih rendah dari LPG.

Ini berarti LPG tidak benar-benar 100% akan disubstitusi dengan DME. Pemerintah perlu mengkalkukasi secara cermat dengan adanya DME di tahun 2023 nanti berapa impor LPG yang bisa diturunkan. 

Jika menggunakan kalkulasi kasar 90% dari konsumsi LPG untuk bahan bakar memasak dan 15-20% menggunakan campuran DME maka impor LPG yang bisa dikurangi sebesar 1,23 juta ton pada 2023. Itu pun masih tiga tahun lagi jika menggunakan proyeksi Kementerian ESDM. 

Tentu ini adalah hitungan kasar saja yang tidak memperhatikan berbagai variabel lain yang lebih konkret seperti pergerakan harga batu bara, minyak dan juga gas itu sendiri sebagai bahan baku.

(twg/twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular