RI Boros Impor LPG & Tekor Kasih Subsidi, Ini Jalan Keluarnya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 November 2020 18:00
gas lpg
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor Liquified Petroleum Gas (LPG) yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan energi domestik, mendesak pemerintah untuk memikirkan solusi alternatif guna mengatasi permasalahan ketahanan energi nasional ini. 

Di saat kebutuhan LPG meningkat dengan laju compounding (CAGR) sebesar 10% per tahun sejak 2009-2019, produksi dalam negeri justru malah stagnan bahkan cenderung turun dengan laju 0,78% (CAGR) per tahun di saat yang sama. 

Akibatnya keran impor harus dibuka lebar dan kenaikannya tercatat mencapai lebih dari 19% (CAGR) dalam periode 10 tahun terakhir.

Kementerian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, konsumsi LPG nasional pada 2019 mencapai 7,76 juta ton, sementara produksi hanya mentok di 1,96 juta ton. Sebanyak 5,71 LPG juta ton harus diimpor dari luar negeri. 

Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka rasio ketergantungan impor LPG Indonesia untuk tahun 2024 menjadi 83,5% dari tahun ini yang sudah sebesar 77,6%. Kementerian ESDM memproyeksikan pada 2024 kebutuhan LPG nasional bakal mencapai 11,98 juta ton sementara impornya mencapai 10,01 juta ton. 

Keran impor yang mengalir deras ini tentunya membuat neraca dagang migas RI mencatatkan defisit setiap tahunnya. Lebih parahnya lagi defisit tersebut membengkak dan membuat transaksi berjalan tekor. Alhasil nilai tukar rupiah selalu jadi korban karena mengalami depresiasi terhadap dolar AS. 

Permasalahan lain yang muncul terkait tingginya kebutuhan LPG nasional adalah subsidi yang juga terus menggembung. Setiap tahunnya puluhan triliun dianggarkan dari APBN untuk memberikan subsidi LPG kepada 57 juta rumah tangga yang membutuhkan. 

Subsidi LPG dari APBN pada 2015 tercatat sebanyak Rp 25,87 triliun dan terus meningkat hampir dua kali lipat hingga Rp 50 triliun untuk tahun ini berdasarkan angka estimasi pemerintah. 

Tingginya impor LPG akibat ada gap yang lebar antara konsumsi dan produksi sejatinya harus diatasi dengan mendorong peningkatan produksi di sisi hulu migas dan ekspansi kapasitas kilang di sisi hilir. Sehingga impor minyak dan hasil minyak bisa sekaligus ditekan. 

Permasalahan yang terjadi di lapangan saat ini adalah tren lifting migas cenderung menurun akibat sumur yang menua. Sebagai informasi lifting minyak sampai September saja tercatat hanya 706 ribu barel per hari (bph). 

Di sisi lain lambatnya aktivitas eksplorasi juga membuat cadangan minyak nasional mengalami penipisan seiring dengan berjalannya waktu. Masalah kronis ini ditambah pelik lagi jika melihat kapasitas kilang yang hanya berada di angka 1 juta barel per hari (bph) saja. 

Mendongkrak produksi migas di sektor hulu dan meningkatkan kapasitas kilang hukumnya adalah fardhu 'ain alias wajib. LPG yang 90% digunakan sebagai bahan bakar memasak dan 70%-nya impor merupakan produk hilir dari migas dengan komposisi utamanya adalah propana dan butana yang memiliki rantai karbon pendek.

Selain peningkatan produksi migas dan juga ekspansi kilang melalui peremajaan maupun pembangunan kilang baru, upaya menurunkan ketergantungan impor LPG bisa dilakukan dengan strategi diversifikasi. 

Salah satu strategi diversifikasi penggunaan bahan bakar yang saat ini ditempuh oleh pemerintah adalah gasifikasi batu bara. Seperti namanya, batu bara yang sumbernya melimpah di Tanah Air akan dikonversi ke dalam bentuk gas. Untuk kasus ini adalah dimetil eter (DME) yang akan jadi substitusi LPG. 

Salah satu proyek gasifikasi batu bara di dalam negeri saat ini tengah digarap oleh duo BUMN Pertamina dan PT Bukit Asam TBk (PTBA) di Tanjung Enim. Mengutip presentasi korporasi PTBA kuartal ketiga rencananya gasifikasi batu bara ini dapat memproduksi 1,4 juta juta ton DME dengan dengan konsumsi 8 juta ton batu bara.

Menurut Kajian Pemodelan Prakiraan Penyediaan dan Pemanfaatan Energi dengan Skenario Optimasi Pengolahan Batubara Kementerian ESDM, teknologi gasifikasi batu bara dipilih memiliki peluang bisnis yang lebih besar karena dapat menjadi alternatif gas bumi baik sebagai bahan baku, bahan bakar atau pembangkit listrik.

Strategi diversifikasi semacam ini memang harus didorong guna mewujudkan ketahanan energi nasional. Namun terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah terkait proyek DME ini. 

Pertama adalah nilai keekonomisan proyek. Di tengah anjloknya harga minyak global akibat pandemi Covid-19 dan harga diproyeksi masih akan lemah hingga tahun depan membuat keekonomian proyek menjadi turun sehingga appetite swasta untuk menggarap sektor ini juga ikut menurun. 

Di sisi lain, harga minyak yang anjlok dampak jangka pendeknya ke Indonesia sebagai negara net importir minyak juga baik jika dilihat dari sisi neraca dagang. Anjloknya harga minyak juga memberikan insentif untuk memilih impor untuk sementara waktu. Ini bisa berakibat pada molornya proyek investasi hilir sektor energi. 

Agar nilai keekonomian proyek tetap terjaga, pemerintah harus memberikan berbagai insentif fiskal di tengah kapasitas yang terbatas. Berbagai bentuk insentif seperti pengurangan royalti batu bara bahkan sampai nol persen seperti yang diwacakan dalam RPP UU Cipta Kerja hingga mengatur harga khusus bahan baku gasifikasi.

Catatan lain terkait dengan penggunaan DME dari gasifikasi batu bara selain nilai keekonomian yang sering dikeluhkan para pengusaha adalah produk ini tidak serta merta dapat langsung menjadi substitusi LPG. 

Dalam best practice-nya secara global mengacu pada laporan International DME Association (IDA), sebanyak 65% DME yang diproduksi secara global dicampur dengan LPG. Rasio pencampurannya adalah 20/80 dengan porsi masih banyak LPG.

Hal ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik bahan bakar yang lebih sesuai karena penggunaan DME saja kurang optimal untuk bahan bakar mengingat DME memiliki nilai kalori dan energi per satuan unit volume yang lebih rendah dari LPG.

Ini berarti LPG tidak benar-benar 100% akan disubstitusi dengan DME. Pemerintah perlu mengkalkukasi secara cermat dengan adanya DME di tahun 2023 nanti berapa impor LPG yang bisa diturunkan. 

Jika menggunakan kalkulasi kasar 90% dari konsumsi LPG untuk bahan bakar memasak dan 15-20% menggunakan campuran DME maka impor LPG yang bisa dikurangi sebesar 1,23 juta ton pada 2023. Itu pun masih tiga tahun lagi jika menggunakan proyeksi Kementerian ESDM. 

Tentu ini adalah hitungan kasar saja yang tidak memperhatikan berbagai variabel lain yang lebih konkret seperti pergerakan harga batu bara, minyak dan juga gas itu sendiri sebagai bahan baku.

Pencampuran antara DME dan LPG memang lazim dilakukan. Namun perlu juga berkaca pada China yang sudah menggunakan campuran DME dan LPG lebih dari 10 tahun terakhir. 

Melansir Argus Media, penjualan bahan bakar campuran dalam tabung LPG untuk memasak di rumah dilarang pada tahun 2008, karena masalah keamanan.

Biro kualitas dan pengawasan teknis negara China menghentikan pemasok LPG untuk menambahkan DME setelah bahan bakar ditemukan menimbulkan korosi pada perekat karet dalam wadah LPG, yang mengakibatkan kebocoran gas.

DME juga menjadi populer di China sebagai komponen pencampur LPG pada tahun 2006. DME memiliki nilai kalori yang lebih rendah daripada propana dan butana sebagai komponen utama LPG.

Oleh karena karakteristik tersebut, konsumen harus lebih sering mengisi ulang tabungnya. DME memiliki kandungan energi 6.900 kkal/kg dibandingkan dengan propana 11.900 kkal/kg.

Aspek teknis semacam ini juga harus diperhatikan betul dan dikaji secara komprehensif karena nantinya akan menyangkut ke aspek penyimpanan dan juga distribusi yang tentunya juga bakal mempengaruhi komponen biayanya. 

Strategi diversifikasi seperti ini memang perlu didorong. Namun jangan lupa juga untuk mencari alternatif solusi yang bisa memberikan tempo lebih cepat (quick win) dengan risiko yang lebih rendah. 

Salah satu alternatif solusi yang perlu dijajaki pemerintah adalah penggunaan kompor listrik terutama untuk daerah-daerah urban dan perkotaan. Substitusi dari LPG ke listrik ini diharapkan mampu untuk menekan impor yang lebih cepat dan lebih praktis.

Ada beberapa keunggulan yang bisa didapatkan ketika penggunaan kompor listrik digalakkan di Indonesia. Pertama harganya yang sekarang sudah terjangkau. Satu unit kompor listrik ditawarkan dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp 300.000 hingga jutaan rupiah tergantung kebutuhan.

Keuntungan kedua adalah dari segi keamanan. Jika dibandingkan dengan gas dan LPG kompor listrik dalam keadaan normal relatif lebih aman karena tak perlu takut tejadi kebocoran seperti yang sering ditemukan jika menggunakan gas atau LPG.

Keuntungan ketiga adalah lebih ramah lingkungan karena emisi yang lebih rendah. Memang dalam menggunakan kompor listrik juga memiliki kekurangan seperti membutuhkan daya listrik yang relatif lebih besar dan tak semua piranti rumah tangga cocok dengan kompor ini.

Namun yang perlu dicatat adalah komponen utama kompor ini adalah listrik. Pembangkit listrik di Indonesia kebanyakan adalah pembangkit termal yang menggunakan batu bara. Sehingga pada akhirnya juga memanfaatkan sumber daya alam yang juga berlimpah di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular