Konsumsi Meroket, Tapi Kenapa Produksi LPG RI Gak Naik-naik?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
11 November 2020 14:32
Petugas mengisi ulang gas Elpiji subsidi 3kg di depot Pertamina, Koja, Jakarta Utara, Senin (21/5). Dibulan Ramadan Pertamina meningkatkan ketahanan stok LPG menjadi rata-rata 17,6 hari sebesar 27ribu metrik ton dan akan menyiagakan 49 SPPBE kantong di Pulau Jawa.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Konsumsi Liquefied Petroleum Gas (LPG) domestik diperkirakan akan terus melonjak setiap tahunnya hingga mencapai 11,98 juta ton pada 2024, namun produksi masih stagnan di 1,97 juta ton per tahun.

Ini artinya, sebanyak 10,01 juta ton kebutuhan LPG nasional akan dipasok melalui impor. Bila ini terus dibiarkan, tentunya akan semakin memberatkan negara ke depannya, selain harus mengeluarkan devisa negara lebih besar karena impor, pemerintah juga masih memberikan subsidi bagi tabung LPG 3 kg.

Lantas, apa yang menyebabkan produksi LPG domestik tidak ada peningkatan, bahkan hingga empat tahun ke depan?

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan stagnannya produksi LPG nasional dikarenakan terbatasnya bahan baku dari dalam negeri.

Untuk memproduksi LPG, lanjutnya, dibutuhkan spesifikasi kandungan rantai karbon propana (C3) dan butana (C4). Sementara produksi gas di dalam negeri mayoritas mengandung metana (C1) dan etana (C2), sehingga produksi LPG sulit bertambah.

"LPG hanya bisa diproduksi dari gas yang mempunyai spesifikasi C3 dan C4 (propana dan butana), sedangkan Indonesia punya banyak gas bumi dengan kandungan C1 dan C2 (metana dan etana) yang diekspor dalam bentuk LNG maupun gas pipa," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/11/2020).

Dia mengakui, produksi LPG yang stagnan ini mengakibatkan impor LPG telah mencapai lebih dari 70% terhadap kebutuhan dalam negeri. Selain impor yang jumbo, subsidi untuk LPG juga sangat besar yakni mencapai Rp 70 triliun per tahun.

"Untuk itu, kita perlu meningkatkan produksi LPG dari kilang dalam negeri dan menggunakan kompor listrik secara massal," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga akan terus mendorong substitusi LPG dengan produk lainnya seperti penggunaan gas pipa dan juga gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME).

"Disamping terus menggunakan jaringan gas (jargas), kita punya batu bara yang bisa diubah menjadi methanol dan Dimethyl Ether (DME) untuk mengganti LPG," ungkapnya.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. Menurutnya, terbatasnya bahan baku menjadi penyebab rendahnya produksi LPG di dalam negeri. Sementara untuk memproduksi LPG, harus menggunakan gas dengan rantai kimia tertentu.

"Secara ketersediaan bahan baku memang terbatas. Untuk dapat diproduksikan menjadi LPG harus gas dengan rantai kimia tertentu. Sementara sebagian besar gas yang kita punya lebih cocok untuk LNG dan/ atau gas bumi," paparnya.

Pengamat minyak dan gas Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menyebut produksi LPG dihasilkan dari kilang LPG dan kilang minyak, namun kapasitas kedua kilang tersebut juga masih terbatas. Oleh karena itu, produksi LPG yang dihasilkan juga terbatas.

"Kalau tidak menambah kapasitas kilang, baik kilang minyak maupun kilang LPG, ya kita tidak bisa meningkatkan produksi LPG," jelasnya.

Pemerintah terus mendorong proyek hilirisasi batu bara, salah satunya menjadi gasifikasi atau dimethyl ether (DME) yang bisa digunakan sebagai pengganti LPG.

Namun demikian, hingga 2024 terlihat belum ada dampak dari rencana proyek DME terhadap penurunan impor LPG domestik. Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio impor LPG terhadap kebutuhan LPG dalam negeri malah meningkat menjadi 83,55% pada 2024 dari 2020 ini sebesar 77,63%.

Impor LPG pada 2024 diperkirakan naik menjadi 10,01 juta ton dari 6,84 juta ton pada 2020 ini. Sementara kebutuhan LPG domestik pada 2024 tersebut diperkirakan naik menjadi 11,98 juta ton dari 8,81 juta ton pada 2020 ini.

Kebutuhan LPG setiap tahunnya hingga 2024 tersebut diperkirakan terus meningkat. Pada 2021 diperkirakan kebutuhan LPG domestik naik menjadi 9,51 juta ton, lalu naik lagi menjadi 10,27 juta ton pada 2022, 11,09 juta ton pada 2023, dan 11,98 juta ton pada 2024.

Peningkatan kebutuhan LPG ini juga mengakibatkan peningkatan jumlah impor LPG menjadi 7,54 juta ton pada 2021, 8,30 juta ton pada 2022, 9,12 juta ton pada 2023, dan 10,01 juta ton pada 2024.

Namun demikian, dari sisi produksi diketahui stagnan pada level 1,97 juta ton per tahun hingga 2024.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Meneropong Nasib Proyek DME Batu Bara Kala Pandemi Kian Ganas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular