
Meneropong Nasib Proyek DME Batu Bara Kala Pandemi Kian Ganas

Jakarta, CNBC Indonesia - Impor LPG yang jor-joran dalam beberapa tahun terakhir memang membuat RI-1 Joko Widodo (Jokowi) kesal bukan main. Ketergantungan terhadap impor yang berlebihan ini harus disikapi, apalagi Indonesia kaya akan sumber daya alam.
Impor migas yang berlebihan telah membuat neraca dagang RI tekor. Alhasil neraca transaksi berjalannya mencatatkan defisit. Impor LPG menjadi salah satu sorotan selain tingginya impor minyak.
LPG sejatinya merupakan salah satu program pemerintah yang digalakkan pada 2007 silam. Kala itu LPG diperkenalkan sebagai bahan bakar rumah tangga untuk substitusi minyak.
Seiring dengan berjalannya waktu, keberhasilan program ini membuat kebutuhan LPG di Tanah Air mengalami kenaikan yang pesat. Namun kenaikan konsumsi tersebut tak dibarengi dengan kenaikan produksi.
Sejak 2014-2018, konsumsi LPG di dalam negeri naik dari 6,1 juta ton menjadi 7,5 juta ton. Artinya ada kenaikan kebutuhan LPG mencapai 5,3% per tahunnya (CAGR). Sementara itu di saat yang sama produksi justru mengalami penurunan dari 2,4 juta ton menjadi 2 juta ton atau mengalami penurunan 4,4% per tahun (CAGR).
Peningkatan kebutuhan yang tak dibarengi dengan kenaikan produksi membuat RI harus mengandalkan impor. Proporsi produksi domestik terhadap total kebutuhan LPG hanya sebesar 25%. Sebanyak 75% kebutuhan LPG dalam negeri dipasok dari luar negeri alias impor.
Tentu hal ini sangatlah miris membuat Indonesia memiliki cadangan gas dan batu bara yang melimpah yang bisa digunakan sebagai sumber energi alternatif. Masalahnya selain bergantung pada impor, konsumsi LPG di dalam negeri juga tak terlepas dari subsidi pemerintah.
Salah satu langkah untuk mengurangi ketergantungan impor LPG adalah dengan mendorong pengembangan Dimethyl Ether (DME) yang berasal dari proses gasifikasi batu bara.
"Batu bara bisa disubstitusi menjadi gas sehingga nggak perlu impor LPG. Karena bisa dibuat dari batu bara kita yang melimpah. Kok kita impor?," ujar Jokowi saat membuka Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/12/2019) lalu.
Indonesia memang negara yang memiliki batu bara berlimpah dan menjadi salah satu eksportir terbesar di kawasan Asia. Jika mengacu pada data Kementerian ESDM, cadangan batu bara RI per Januari 2020 mencapai 39,9 miliar ton.
Dengan asumsi tanpa aktivitas eksplorasi lagi dan produksi per tahun rata-rata mencapai 500-600 juta ton, maka cadangan tersebut baru habis lebih dari 70 tahun lagi. Sebanyak 75% dari total produksi di ekspor ke China, India dan Jepang yang mencapai 63% dari total pangsa ekspor.
Mayoritas batu bara yang ditemukan di dalam negeri merupakan batu bara dengan nilai kalori rendah dan sedang (< 6.000 Kcal/Kg). Batu bara dengan nilai kalori rendah (< 4.100 Kcal/Kg) sebenarnya dapat digunakan untuk pembuatan DME melalui proses yang disebut gasifikasi.
Selanjutnya DME dapat digunakan untuk berbagai aktivitas rumah tangga seperti memasak, bahkan sebagai bahan bakar untuk transportasi. Untuk mendorong kemandirian energi dan hilirisasi produk batu bara, pemerintah telah memberikan serangkaian insentif.
Beberapa insentif fiskal yang diberikan pemerintah pusat untuk menarik investasi di ranah hilirisasi produk batu bara ini antara lain fasilitas tax holiday selama 10-20 tahun (PMK nomor 35 tahun 2018), pemberian tax allowance (PP nomor 9 tahun 2016), reduksi/penghapusan royalti untuk batu bara berkalori rendah, hingga penghapusan PPN untuk industri hilir batu bara.
Saat ini, salah satu perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor batu bara yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tengah menggarap proyek pengembangan DME di Tanjung Enim Sumatra Selatan. Batu bara yang digunakan adalah batu bara dengan nilai kalori rendah (4.000 Kcal/Kg).
Menurut dokumen Kementerian ESDM, proyek ini tak hanya akan menghasilkan DME saja tetapi juga metanol serta MEG. Rencananya proyek ini baru akan beroperasi pada 2023. Saat mulai beroperasi, proyek gasifikasi batu bara ini akan mengkonsumsi 8 juta ton batu bara per tahun dan menghasilkan 1,4 juta ton DME, 300 ribu ton metanol dan 4.250 ton MEG.
Dari kalkulasi tersebut jelas dengan adanya proyek gasifikasi batu bara menjadi DME akan menghemat impor LPG sebesar 1-1,4 juta ton per tahunnya. Penghematan anggaran yang jelas tidak sedikit tentunya.
Pengembangan proyek ini harus merogoh kocek yang juga besar. Belanja modal yang harus dikeluarkan PTBA untuk menggarap proyek ini diperkirakan mencapai US$ 2,98 miliar atau setara dengan Rp 43,7 triliun dengan asumsi kurs menggunakan kurs tengah BI di Rp 14.655/US$.
Namun di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi keekonomian proyek ini. Saat ekonomi global terpuruk seperti sekarang ini, harga batu bara anjlok karena permintaan yang melemah.
Anjloknya harga batu bara juga dibarengi dengan anjloknya harga gas. Menurut kalkulasi asosiasi perusahaan tambang batu bara RI (APBI) ada 85 juta ton permintaan terganggu akibat pandemi.
Hal ini berujung pada anjloknya harga batu bara acuan RI bulan Juli dipatok sebesar US$ 52,16/ton sekaligus menandai harga terendah sejak Februari 2016 atau empat tahun silam.
Dengan asumsi harga batu bara berkalori rendah berada di US$ 27,22/ton maka proyek gasifikasi yang akan digarap oleh PTBA akan menghasilkan internal rate of return (IRR) sebesar 11,52%. Namun saat ini harga batu bara berkalori rendah RI sudah berada di level US$ 24/ton. Harga gas pun juga turun.
Tentu ini jadi tantangan tersendiri bagi program pengembangan produk hilir seperti gasifikasi batu bara yang terkenal capital intensive dan berisiko tinggi. Namun hal yang tidak boleh dilupakan juga adalah mewujudkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan impor juga hal yang harus diperjuangkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wow! Proyek Gasifikasi Bakal Serap Batu Bara 103 Juta Ton