
Impor LPG Melesat, Ternyata Produksinya Pun Separuh Kapasitas

Jakarta, CNBC Indonesia - Konsumsi Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang tinggi nyatanya tidak diimbangi dengan produksi yang tinggi. Bahkan, produksi LPG hanya sekitar 51% dari kapasitas produksi kilang LPG yang ada.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, produksi LPG pada 2020-2024 diperkirakan stabil sekitar 1,97 juta ton per tahun. Produksi tersebut hanya sekitar 50,8% dari kapasitas produksi LPG yang ada sebesar 3,88 juta ton.
Kapasitas produksi kilang LPG tersebut juga masih rendah jika dibandingkan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di dalam RUEN, kapasitas produksi kilang LPG mencapai 3,98 juta ton, sementara kapasitas tahun 2020-2024 diperkirakan hanya sebesar 3,88 juta ton.
Hal tersebut tercantum di dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.16 tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian ESDM tahun 2020-2024 yang ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 18 September 2020 dan berlaku sejak diundangkan pada 25 September 2020.
Di dalam Permen ini juga disebutkan bahwa kebutuhan LPG setiap tahunnya hingga 2024 diperkirakan terus meningkat. Pada 2020 ini kebutuhan LPG domestik diperkirakan mencapai 8,81 juta ton, lalu naik pada 2021 menjadi 9,51 juta ton, lalu naik lagi menjadi 10,27 juta ton pada 2022, 11,09 juta ton pada 2023, dan 11,98 juta ton pada 2024.
Karena produksi LPG diperkirakan stabil dan tidak bertambah hingga 2024 yakni berada pada tingkat 1,97 juta ton per tahun, namun dari sisi kebutuhan LPG terus meningkat setiap tahunnya, ini mengakibatkan terjadinya peningkatan impor LPG setiap tahunnya.
Impor LPG pada 2020 ini diperkirakan sebesar 6,84 juta ton, lalu naik menjadi 7,54 juta ton pada 2021, 8,30 juta ton pada 2022, 9,12 juta ton pada 2023, dan 10,01 juta ton pada 2024.
Demi menekan impor LPG, salah satu langkah yang didorong yakni melalui proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang bisa mengganti LPG.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas kabinet pada akhir Oktober lalu (23/10/2020), menginginkan agar komoditas tambang batu bara bernilai tambah terlebih dahulu sebelum diekspor.
Jokowi pun meminta agar perusahaan tambang batu bara mengembangkan industri turunan batu bara, mulai dari industri peningkatan mutu upgrading, pembuatan briket batu bara, pembuatan kokas, pencairan batu bara, gasifikasi batu bara sampai dengan campuran batu bara cair.
Salah satu perusahaan yang berencana mengembangkan proyek gasifikasi batu bara yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Perseroan menargetkan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) senilai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 30,45 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) akan dimulai pada kuartal pertama atau kedua 2021. Proyek ini pun ditargetkan dapat mulai beroperasi pada triwulan kedua 2024.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan tiga perusahaan yang terlibat dalam proyek gasifikasi ini yakni PTBA, PT Pertamina (Persero) dan Air Products sedang dalam pembahasan perjanjian bisnis dan diharapkan kesepakatan bisa ditandatangani sebelum akhir 2020.
"Gasifikasi batu bara ini proyek pionir di dalam negeri. EPC mulai kuartal pertama atau kuartal kedua 2021. Sedang disiapkan kerja sama legal process pembahasan draft perjanjian dengan Air Products dan Pertamina. Diharapkan bisa tanda tangan di November tahun ini apabila semua kesepakatan bisnis sudah disepakati," jelas Arviyan dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (06/11/2020).
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Meneropong Nasib Proyek DME Batu Bara Kala Pandemi Kian Ganas