Jakarta, CNBC Indonesia - Ada 'ramalan' soal risiko Perang Dunia III (World War 3). Tak tanggung-tanggung, ini bukan dari warga biasa, melainkan jenderal militer Inggris.
Kepala Staf Pertahanan Inggris Nick Carter mengatakan ada peningkatan ketegangan di regional. Menurutnya kesalahan penilaian bisa saja menyebabkan konflik meluas.
"Saya pikir kita hidup pada saat di mana dunia adalah tempat yang sangat tidak pasti dan gelisah," katanya dalam wawancara Remembrance Sunday, peringatan tahunan bagi mereka yang terbunuh dan terluka dalam konflik, pada Sky News dikutip Reuters Rabu (11/11/2020).
"Dinamika persaingan global juga merupakan ciri hidup kita dan saya pikir risiko nyata yang kita miliki dengan cukup banyak banyak konflik regional yang sedang terjadi saat ini, apakah Anda bisa melihat eskalasi menyebabkan kesalahan perhitungan?".
Ia pun menegaskan ada ancaman nyata dari perang di belahan dunia lain. Menurutnya risiko ada dan perlu disadari.
"Jika Anda melupakan kengerian perang, maka risiko besarnya menurut saya adalah orang mungkin berpikir bahwa pergi berperang adalah hal yang wajar untuk dilakukan," katanya lagi.
"Kita harus ingat bahwa sejarah mungkin tidak terulang tetapi memiliki ritme, dan jika Anda melihat kembali abad terakhir, sebelum kedua perang dunia, saya pikir tidak dapat disangkal bahwa ada eskalasi yang menyebabkan kesalahan perhitungan yang pada akhirnya menyebabkan perang ... semoga tidak akan terjadi."
Lalu bagaimana faktanya?
Ancaman soal akan munculnya Perang Dunia III sebenarnya bukan baru. Ini muncul sejak Presiden AS Donald Trump memerintahkan militer membunuh Jenderal Iran Qassim Soleimani awal tahun 2020.
Melansir Bloomberg, serangan udara yang diluncurkan oleh AS terjadi di dekat bandara internasional Baghdad. Ini memicu kemarahan Iran yang mengancam serangan balasan.
Peristiwa ini sempat membuat panas, namun mereda dengan sendirinya. Demo terjadi di seluruh AS untuk menentang perang dan DPR AS yang berlawanan politik dari Trump mengeluarkan aturan yang membatasi keputusan pengerahan militer oleh presiden.
Namun eskalasi akan ada risiko Perang Dunia III muncul kembali seiring perang dingin baru yang terjadi antara AS dan China. Eskalasi makin meningkat pasca-ketegangan akibat menyebarnya corona (Covid-19).
Trump menyalahkan China atas ini. Belum lagi konflik Beijing dan Washington lainnya disejumlah wilayah di mana militer kerap diterjunkan seperti Taiwan dan Laut China Selatan.
Melansir Reuters, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara.
Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang. Apabila hubungan China dengan AS (dan negara-negara lainnya) terus memburuk, maka risiko perang memang sulit untuk dikesampingkan.
Sebagaimana diketahui, 3 November lalu, AS melakukan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Penantang Trump yakni Joe Biden disebut memenangkan pemilu, di mana ia mendapat mayoritas suara elektoral.
Lalu apakah potensi perang ini bisa diredam?
Dikutip dari sebuah laporan di New York Times, potensi perang dunia bisa saja terjadi antara kedua negara di dua wilayah penting yaitu Laut China Selatan dan Selat Taiwan.
Di Laut China Selatan, China telah melakukan ekspansi besar-besaran dengan membangun pangkalan militer di beberapa pulau yang disengketakan dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Hubungan Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei panas ke China.
Pada bulan Juli lalu sebagai komitmennya dalam membantu negara-negara yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan, AS mengirimkan kapal induknya ke wilayah itu. Aksi ini dibalas China dengan menerjunkan armada lautnya secara besar-besaran mendekati armada AS.
Taiwan juga menjadi perhatian penting dalam konflik China-AS. Taiwan selama ini melakukan manuver-manuver politik luar negeri yang luar biasa dengan New Southbound Policy yang mereka terapkan semata-mata untuk menghindari ketergantungan mereka terhadap China.
Biden berkali-kali dalam kampanyenya menyuarakan penentangannya terhadap kebijakan-kebijakan Xi Jinping. Bahkan sampai menyebut Presiden China Xi Jinping sebagai "preman" serta menyerukan "penekanan, isolasi, dan penghukuman" kepada negara dengan ekonomi terbesar kedua itu.
Melansir dari South China Morning Post, seorang ahli Asia Tenggara Carl Thayer mengatakan bahwa Biden akan menggalang kekuatan untuk terus melawan China. Namun sedikit melunak.
"Aliansi AS dengan Jepang dan Korea Selatan akan menjadi 'kurang antagonis' di bawah Biden, yang para pejabatnya kemungkinan akan mengadakan 'pembicaraan informal sambil minum kopi' dengan para pemangku kepentingan untuk 'menghasilkan strategi untuk melawan' China," kata Thayer.
Tapi dikutip dari Newsweek, seorang rekan senior di Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan Su Tzu-yun mengatakan bahwa Hubungan AS-Taiwan akan di masa Biden akan terus erat. Dengan upaya-upaya menahan China.
"Konsensus bipartisan Taiwan yang diakui oleh partai Republik dan Demokrat (AS) tidak akan berubah," kata Tzu-yun dalam sebuah diskusi.
"Pemerintahan Biden akan terus mencoba dan menahan 'ekspansionisme China'."