
DKI Jakarta, Ibu Kota Pengangguran Indonesia

Secara nasional jumlah pengangguran juga mengalami peningkatan yang tajam. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2019 jumlah pengangguran naik 2,7 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Angkanya hampir tembus 10 juta.
Angka ini meningkat 2,89 juta dibandingkan dengan bulan Februari 2020 ketika jumlah pengangguran terbuka berada di angka 6,88 juta orang.
Dengan 9,77 juta orang di Indonesia menyandang status sebagai pengangguran, maka tingkat pengangguran terbuka di RI pun naik 184 basis poin atau 1,84 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2019.
Jumlah TPT sudah mendekati dobel digit. Sebelumnya kajian yang dilakukan oleh Bappenas memprediksi akibat adanya pandemi Covid-19 membuat angka pengangguran mencapai 10,7 juta - 12,7 juta orang pada 2021.
Maraknya pengangguran bukan hanya fenomena yang terjadi di DKI Jakarta atau Indonesia saja. Namun juga terjadi di berbagai negara lain dan terjadi secara mengglobal. Hal ini tampak dari laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang terbaru.
ILO melaporkan, fenomena penutupan tempat kerja berakibat pada disrupsi pasar tenaga kerja di seluruh dunia, yang mengakibatkan hilangnya jam kerja yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Perkiraan total kerugian jam kerja pada kuartal kedua tahun 2020 (relatif terhadap kuartal keempat tahun 2019) sekarang adalah 17,3%, atau setara dengan 495 juta pekerjaan setara penuh waktu (FTE). Angka tersebut direvisi naik oleh ILO dari perkiraan sebelumnya di 14,0% ( 400 juta pekerjaan FTE).
Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah adalah yang paling terpukul, setelah mengalami penurunan jam kerja yang diperkirakan mencapai 23,3% (240 juta pekerjaan FTE) pada kuartal kedua tahun ini.
Hilangnya jam kerja diperkirakan akan tetap tinggi pada kuartal ketiga tahun 2020, pada 12,1% atau 345 juta pekerjaan FTE. Selain itu, proyeksi revisi untuk kuartal keempat menunjukkan prospek yang lebih suram dari perkiraan sebelumnya.
Dalam skenario baseline, kerugian jam kerja pada kuartal akhir tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,6% atau 245 juta pekerjaan FTE.
Kerugian jam kerja yang tinggi ini mengakibatkan kerugian besar dalam pendapatan tenaga kerja. Nilai kerugian pendapatan tenaga kerja (sebelum memperhitungkan langkah-langkah pemberian bantuan oleh pemerintah) ditaksir mencapai 10,7% (yoy) selama tiga kuartal pertama tahun 2020 secara global menjadi US$ 3,5 triliun, atau 5,5% dari produk domestik bruto (PDB) global untuk tiga kuartal pertama tahun 2019.
Kehilangan pendapatan tenaga kerja tertinggi terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Berdasarkan estimasi ILO kerugian ditaksir mencapai 15,1% di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan 11,4% di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas.
Inilah yang membuat resesi global tahun ini menjadi resesi yang sangat mengerikan. Bahkan lebih mengerikan ketimbang pada krisis keuangan global 2008 silam. Tingginya pengangguran membuat angka kemiskinan pun merajalela.
Tiga peneliti asal King's College London dan Universitas Nasional Australia memperkirakan jumlah penduduk miskin dunia tahun ini bakal mencapai 1,12 miliar orang atau setara dengan 14,3% dari total populasi global.
Akan ada tambahan 400 juta orang dalam keadaan yang mengalami kemiskinan ekstrem. Artinya jika mengacu pada definisi Bank Dunia, kelompok yang berada di garis kemiskinan ekstrem ini harus hidup di bawah US$ 1,9 per hari atau setara dengan Rp 27.550/hari asumsi kurs Rp 14.500/USS$.
Di saat yang sama jurang antara si kaya dan si miskin juga semakin melebar. Sungguh sangat memprihatinkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)