
DKI Jakarta, Ibu Kota Pengangguran Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Selain menyandang status sebagai jantung perekonomian Indonesia, DKI Jakarta juga resmi memperoleh predikat sebagai pusat pengangguran di Tanah Air. Tingkat pengangguran di ibu kota tembus dobel digit saat pandemi Covid-19 merebak.
Ekonomi Jakarta adalah kontributor terbesar bagi perekonomian nasional dengan sumbangsih lebih dari 17,6%. Pada kuartal ketiga BPS DKI Jakarta melaporkan produk domestik regional bruto wilayah ibu kota mengalami kontraksi 3,82% (yoy). Di saat yang sama output perekonomian Indonesia juga mengalami kontraksi di angka 3,49% (yoy).
Untuk pertama kalinya sejak krisis moneter 1998 melanda, Indonesia jatuh ke dalam resesi. Kontraksi perekonomian kali ini diakibatkan oleh merebaknya wabah Covid-19 di dalam negeri yang membuat roda perekonomian harus direm.
PSBB yang diterapkan di DKI Jakarta sejak 10 April sampai saat ini (meski sudah dilonggarkan) tetap saja membuat denyut jantung yang menjadi pemompa darah perekonomian nasional melemah secara signifikan.
Pembatasan mobilitas publik telah menyebabkan penurunan penjualan yang diikuti dengan anjloknya pendapatan perusahaan. Untuk tetap bertahan pelaku usaha terus memangkas berbagai pos biaya, rencana ekspansi pun harus ditunda sehingga kebutuhan akan pekerja menurun.
Belum lagi banyak usaha yang berjatuhan alias bangkrut. Nasib para pekerja menjadi semakin mengenaskan.
Akibatnya jumlah pengangguran di DKI Jakarta melonjak signifikan. Tingkat pengangguran terbuka di ibu kota melonjak dobel digit mencapai 10,95% pada Agustus 2020 mencapai 572 ribu atau bertambah 33 ribu orang dan menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Sakernas BPS Agustus 2020, ada tambahan sebanyak 39.000 angkatan kerja di DKI Jakarta. Jumlah orang yang bekerja di DKI Jakarta turun 193.000. Jumlah pekerja penuh turu drastis 732.000 sementara yang setengah penuh dan menganggur masing-masing bertambah lebih dari 200.000.
Sejak PSBB diterapkan banyak perusahaan yang memangkas jam kerja karyawan, merumahkannya bahkan hingga menerapkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di ibu kota orang yang menyandang status sebagai buruh/karyawan/pegawai mengalami penurunan yang sangat drastis hingga 6,16 persen poin. Pekerja di sektor formal turun 453 ribu orang dan yang bekerja di sektor informal naik nyaris 260 ribu orang.
Penurunan jumlah tenaga kerja dialami oleh sektor industri pengolahan yang mengalami kontraksi sebesar 1,29 persen poin pada Agustus 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sektor manufaktur selain menjadi penopang perekonomian juga menjadi sektor yang menyerap tenaga kerja yang cukup besar baik di skala regional DKI Jakarta maupun nasional.
Mirisnya lagi di ibu kota para lulusan SMK yang memiliki kemampuan spesifik justru memiliki tingkat pengangguran terbuka paling tinggi dibanding lulusan lain. Maklum banyak lulusan SMK yang memang terserap ke sektor manufaktur sehingga mengalami penyusutan paling tinggi.
Secara nasional jumlah pengangguran juga mengalami peningkatan yang tajam. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2019 jumlah pengangguran naik 2,7 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Angkanya hampir tembus 10 juta.
Angka ini meningkat 2,89 juta dibandingkan dengan bulan Februari 2020 ketika jumlah pengangguran terbuka berada di angka 6,88 juta orang.
Dengan 9,77 juta orang di Indonesia menyandang status sebagai pengangguran, maka tingkat pengangguran terbuka di RI pun naik 184 basis poin atau 1,84 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2019.
Jumlah TPT sudah mendekati dobel digit. Sebelumnya kajian yang dilakukan oleh Bappenas memprediksi akibat adanya pandemi Covid-19 membuat angka pengangguran mencapai 10,7 juta - 12,7 juta orang pada 2021.
Maraknya pengangguran bukan hanya fenomena yang terjadi di DKI Jakarta atau Indonesia saja. Namun juga terjadi di berbagai negara lain dan terjadi secara mengglobal. Hal ini tampak dari laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang terbaru.
ILO melaporkan, fenomena penutupan tempat kerja berakibat pada disrupsi pasar tenaga kerja di seluruh dunia, yang mengakibatkan hilangnya jam kerja yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Perkiraan total kerugian jam kerja pada kuartal kedua tahun 2020 (relatif terhadap kuartal keempat tahun 2019) sekarang adalah 17,3%, atau setara dengan 495 juta pekerjaan setara penuh waktu (FTE). Angka tersebut direvisi naik oleh ILO dari perkiraan sebelumnya di 14,0% ( 400 juta pekerjaan FTE).
Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah adalah yang paling terpukul, setelah mengalami penurunan jam kerja yang diperkirakan mencapai 23,3% (240 juta pekerjaan FTE) pada kuartal kedua tahun ini.
Hilangnya jam kerja diperkirakan akan tetap tinggi pada kuartal ketiga tahun 2020, pada 12,1% atau 345 juta pekerjaan FTE. Selain itu, proyeksi revisi untuk kuartal keempat menunjukkan prospek yang lebih suram dari perkiraan sebelumnya.
Dalam skenario baseline, kerugian jam kerja pada kuartal akhir tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,6% atau 245 juta pekerjaan FTE.
Kerugian jam kerja yang tinggi ini mengakibatkan kerugian besar dalam pendapatan tenaga kerja. Nilai kerugian pendapatan tenaga kerja (sebelum memperhitungkan langkah-langkah pemberian bantuan oleh pemerintah) ditaksir mencapai 10,7% (yoy) selama tiga kuartal pertama tahun 2020 secara global menjadi US$ 3,5 triliun, atau 5,5% dari produk domestik bruto (PDB) global untuk tiga kuartal pertama tahun 2019.
Kehilangan pendapatan tenaga kerja tertinggi terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Berdasarkan estimasi ILO kerugian ditaksir mencapai 15,1% di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan 11,4% di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas.
Inilah yang membuat resesi global tahun ini menjadi resesi yang sangat mengerikan. Bahkan lebih mengerikan ketimbang pada krisis keuangan global 2008 silam. Tingginya pengangguran membuat angka kemiskinan pun merajalela.
Tiga peneliti asal King's College London dan Universitas Nasional Australia memperkirakan jumlah penduduk miskin dunia tahun ini bakal mencapai 1,12 miliar orang atau setara dengan 14,3% dari total populasi global.
Akan ada tambahan 400 juta orang dalam keadaan yang mengalami kemiskinan ekstrem. Artinya jika mengacu pada definisi Bank Dunia, kelompok yang berada di garis kemiskinan ekstrem ini harus hidup di bawah US$ 1,9 per hari atau setara dengan Rp 27.550/hari asumsi kurs Rp 14.500/USS$.
Di saat yang sama jurang antara si kaya dan si miskin juga semakin melebar. Sungguh sangat memprihatinkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article PSBB Jawa-Bali Diperketat, RI Resesi Lagi?