Jakarta, CNBC Indonesia - Pada kuartal kedua ketika pandemi Covid-19 merebak, banyak kalangan memperkirakan ekonomi bakal terkontraksi tajam, dan kemudian berbalik menguat hingga membentuk kurva V. Namun kini, kurva U justru diyakini kian terbentuk.
Dalam laporan berjudul "Road to Economic Recovery: Paving the Way to a Sustainable Recovery", Mandiri Group Research menyebutkan pemulihan ekonomi di tengah pandemi bakal tak berimbang, di mana aliran modal masuk (baik investasi langsung maupun portofolio) tersedot ke negara yang pulih cepat ketimbang yang lambat.
"Menurut kami, tahun 2020 kemungkinan besar akan berakhir dengan pemulihan berbentuk kurva U, dan bukannya kurva V, kecuali untuk China dan Vietnam. Kunci pemulihan yang cepat akan terletak pada akselerasi penanganan Covid-19 dan vaksin yang teruji," demikian tulis riset grup Mandiri yang dipimpin Ekonom Andry Asmoro tersebut.
Namun, lanjut dia, sikap konservatif harus dikedepankan di tengah tingginya ketakpastian. Pertumbuhan ekonomi 2021 akan sangat sulit diterka, mengingat bergantung pada temuan vaksin yang teruji yang mengubah pola pemulihan ekonomi: pembalikan cepat atau tetap flat.
Implikasi dari pemulihan berbentuk U ini adalah pembalikan harga komoditas seperti karet, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), nikel, dan tembaga yang lebih lambat dan tak serempak. Harga CPO, karet, dan tembaga pulih 1,8%, 16,9%, dan 11,2% secara tahun berjalan, tetapi harga batu bara masih melalui pola berbeda yakni anjlok 14,3% pada periode yang sama.
Impor China atas batu bara asal Indonesia masih anjlok 12% secara tahun berjalan. Hal ini terhitung mengejutkan karena Chin sudah memasuki musim dingin yang seharusnya mendongkrak permintaan energi. Pasokan dan suplai batu bara domestik di China kemungkinan masih berlimpah, sehingga mereka mengoptimalkan produk dalam negerinya.
Namun, risiko yang perlu dicatat dan membayangi 2021 adalah perubahan arah kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS), yang bisa menciptakan tekanan kurs di tengah defisit neraca berjalan yang tinggi.
"Ini mengingatkan kami pada taper tantrum 2013 ketika investor asing cabut dari negara emerging market untuk kembali berburu portofolio aman di negara maju. Kala itu, merespons aliran modal keluar, kebanyakan bank sentral menaikkan suku bunga acuan dan mengakhiri periode suku bunga rendah," tutur Andry, yang meyakini suku bunga global naik mulai 2022.
Dalam laporan yang sama, Grup Mandiri menilai tahun depan masih akan ada stimulus besar, meski fokusnya berbeda bergantung pada secepat apa pandemi teratas dengan distribusi vaksin, yang bakal memengaruhi perlu tidaknya perpanjangan program perlindungan sosial sebelum melakukan reformasi perekonomian.
"Kami yakin, ekonomi masih akan berlari pada 60-70% di bawah kapasitas maksimumnya. Hal ini akan membatasi pelaku bisnis sehingga tak bisa mencapai titik impas sampai nanti pembukaan kembali. Pada titik ini, stimulus fiskal dari bank sentral dan pemerintah daerah akan tetap diperlukan oleh berbagai kalangan bisnis," ujar Andri.
Dia menilai fokus pemerintah pada 2021 kemungkinan akan beralih dari stimulus besar yang mendukung jaring pengaman sosial dan pebisnis, menjadi stimulus yang berorentasi lebih jauh ke depan, lebih produktif, yang berbasis infrastruktur.
Berdasarkan Tabel Input-Output 2010, proyek kelistrikan dan konstruksi memang memiliki efek multiplier terbesar di mana setiap belanja Rp 1 berujung pada permintaan akhir (seperti investasi) di sektor tersebut yang akan menaikkan keluaran ekonomi sebesar Rp 2,6 untuk listrik dan gas, dan Rp 1,94 untuk konstruksi.
Dalam APBN 2021, belanja infrastruktur dipatok naik 47%, mengindikasikan kuatnya upaya untuk mendongkrak perekonomian lewat proyek infrastruktur untuk mengompensasi penundaan yang terjadi tahun ini. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mendapatkan alokasi belanja terbesar senilai Rp 149,8 triliun.
Hal ini dinilai positif karena bisa mendongkrak pemulihan sebagaimana yang terjadi pada China. Pada masa krisis finansial global 2008, Negeri Tirai Bambu meluncurkan stimulus besar yang kebanyakan ditujukan pada proyek infrastruktur seperti kereta cepat, stasiun, dan bandara.
Hasilnya, pemulihan ekonomi China melampaui kebanyakan negara, sebagaimana terlihat dari tingginya Indeks Manajer Pembelian (purchasing managers' index/PMI). Tahun ini, pertumbuhan ekonomi China diprediksi tetap kuat.
Sempat terkontraksi 6,8% (secara tahunan) pada kuartal I-2020 akibat karantina wilayah (lockdown) penuh, ekonomi China menurut Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) bakal tumbuh 1,9% pada 2020 dan 8,2% pada 2021, sementara Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan sebesar 2% pada 2020 dan 7,9% pada 2021.
Dengan proyeksi demikian, Grup Mandiri terlhat optimistis dan mengesampingkan peluang bahwa pemulihan akan terjadi berbentuk W, alias kurva V ganda, yang bisa terjadi ketika terjadi gelombang kedua penyebaran virus atau taper tantrum terjadi lebih cepat menyusul pembalikan ekonom yang juga terlalu cepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA