Ngeri Nih! Badai Tsunami PHK Guncang Industri Migas

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
30 October 2020 15:13
FILE PHOTO:  A combination of file photos shows the logos of five of the largest publicly traded oil companies; BP, Chevron, Exxon Mobil, Royal Dutch Shell, and Total./File Photo
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan minyak dan gas (migas) di seluruh dunia mulai memangkas sejumlah pekerjaan, sehingga berdampak pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan agar perusahaan bisa tetap bertahan akibat melemahnya permintaan migas dunia yang berkepanjangan akibat pandemi Covid-19.

Exxon Mobil Corporation baru saja mengumumkan akan memangkas tenaga kerjanya sebesar 15% atau sekitar 14.000 orang. Begitu juga dengan perusahaan migas lainnya seperti Chevron Corporation, Royal Dutch Shell Plc, maupun Inpex Corporation yang belum lama ini juga mengumumkan akan memangkas jumlah karyawan.

Dikutip dari Reuters pada Jumat (30/10/2020), secara keseluruhan lebih dari 400.000 pekerja sektor minyak dan gas telah dipangkas pada tahun ini, menurut Rystad Energy. Dari jumlah tersebut, sekitar setengah dari jumlah tersebut berada di Amerika Serikat, tempat di mana beberapa perusahaan eksplorasi besar dan sebagian besar perusahaan jasa minyak besar bermarkas.

Virus corona ini telah menghancurkan sebagian besar ekonomi global, terutama sektor industri energi, perjalanan, dan jasa perhotelan di antara industri yang paling terpukul. Perusahaan energi sudah berjuang dengan tingkat keuntungan yang lemah, terutama yang beroperasi di kawasan lapangan shale oil AS, tetapi harus menggandakan pemotongan biaya karena investor menekan perusahaan agar bisa meningkatkan margin.

"Realitas era Covid di seluruh industri minyak adalah penghematan dalam skala yang luar biasa. Tidak dapat dihindari fakta bahwa ini berarti, di antara hal lainnya, kehilangan pekerjaan," kata Pavel Molchanov, Analis di Raymond James, seperti dikutip dari Reuters pada Jumat (30/10/2020).

Selain Exxon, Chevron Corporation, Woodside Petroleum Ltd Australia dan Cenovus Energy Inc Kanada semuanya juga mengumumkan rencana pemangkasan karyawan dalam beberapa pekan terakhir.

Permintaan bahan bakar global bahkan merosot lebih dari sepertiga di musim semi. Meskipun konsumsi telah pulih, namun tetap lebih rendah dari tahun lalu dengan sejumlah negara kembali melakukan penguncian wilayah (lockdown) untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang semakin mengganas.

Penurunan permintaan sangat parah terjadi di Amerika Serikat, produsen minyak mentah terbesar di dunia. Negara ini telah mencatat kematian terbanyak akibat virus corona dan telah menyebabkan tingkat pengangguran meningkat menjadi sekitar 8%.

Menteri Energi AS, Dan Brouillette, mengatakan tidak mungkin untuk meningkatkan produksi minyak kembali ke puncak, mendekati 13 juta barel per hari (bph) yang dicapai pada 2019, di mana sebagian besar melalui penggunaan teknologi fracking yang digunakan oleh perusahaan shale oil. Industri shale oil terkena dampak pandemi paling besar karena mudah bagi perusahaan minyak untuk memangkas staf dan pengeluaran di sektor tersebut.

Industri shale oil ini telah menjadi masalah utama dalam kampanye kepresidenan AS. Penantang Demokrat, Joe Biden, ingin membatasi shale oil di tanah federal, sementara Presiden yang sedang menjabat Donald Trump telah mendorong lebih banyak pengeboran, dan berpendapat bahwa posisi Biden akan menghancurkan pekerjaan.

Sementara itu, adanya akuisisi sejumlah perusahaan migas juga turut mendorong terjadinya PHK besar-besaran. Chevron berencana untuk memotong sekitar 25% dari staf di Noble Energy yang baru diakuisisinya bulan ini. Shell juga mengatakan berencana untuk memangkas sekitar 10% dari tenaga kerjanya. Sedangkan Cenovus mengatakan akan memotong 25% setelah mengakuisisi Husky Energy Inc.

Di Australia, lebih dari 2.000 pekerja di industri minyak telah diputus kontraknya sejak Maret, termasuk di Exxon dan Chevron. Produsen gas terkemuka Woodside mengatakan pada awal bulan ini bahwa mereka akan memangkas sekitar 8% tenaga kerjanya.

Mohammad Barkindo, Sekretaris Jenderal OPEC, baru-baru ini menyatakan keprihatinan bahwa laju permintaan minyak di bawah ekspektasi, sehingga berpotensi membuat produsen besar untuk terus memotong produksi.

Namun demikian, tidak semua perusahaan mengalami kerugian atau kesulitan. PetroChina Co Ltd, produsen minyak dan gas terbesar di Asia, justru melaporkan lonjakan laba 350% dari tahun sebelumnya.

Dalam prospek yang dirilis awal bulan ini, BP Plc menjabarkan dua skenario yang menunjukkan konsumsi minyak dunia sekitar 100 juta barel per hari, mencapai puncaknya pada tahun lalu. BP Plc baru-baru ini memangkas sekitar 50% dari tim eksplorasi karena mengalihkan operasi ke pengembangan energi terbarukan.

Saat ini, pasar berjangka memperkirakan harga minyak mentah mungkin tidak naik melebihi US$ 40 per barel, setidaknya selama dua tahun lagi karena permintaan yang lemah, dan itu dapat membatasi perekrutan tenaga kerja baru.

"Realitas praktisnya adalah ketika Anda memiliki harga minyak di kisaran US$ 30 hingga US$ 40 (per barel), saya rasa banyak perusahaan tidak memiliki kemewahan untuk menunggu pemulihan," kata Alex Pourbaix, Kepala Eksekutif di Cenovus.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waduh! Setelah Exxon, Kini Inpex dan Chevron Mau PHK Massal

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular