Jakarta, CNBC Indonesia - Hari kerja efektif untuk pekan ini berlangsung singkat hanya dua hari saja yaitu Senin & Selasa. Sisanya adalah libur cuti bersama dan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.
Libur panjang akhir pekan ini membuat mobilitas orang keluar DKI Jakarta semakin banyak dan patut diwaspadai mengingat wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di dalam negeri belum bisa dijinakkan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan libur panjang pekan ini diperkirakan bakal membuat lebih dari 622 ribu kendaraan keluar dari ibu kota. Akan ada kenaikan mobilitas lebih dari 20% dari kondisi normal. Puncak mobilitas diperkirakan bakal jatuh pada 27-28 Oktober.
Dari jumlah tersebut dipaparkan Budi paling banyak masyarakat Jakarta akan menuju arah timur, jumlahnya sebanyak 48,1%. Sementara itu, 28,3%, ke arah barat. Kemudian 23,5% lainnya ke arah selatan ataupun berpergian di sekitar Jabodetabek.
Jasa Marga mencatat pada periode 27-28 Oktober ada sebanyak 336.929 kendaraan yang meninggalkan Jakarta. Sementara untuk jalur darat lain yaitu melalui kereta api terjadi peningkatan jumlah penumpang yang pesat.
"Jadi kalau kita bandingkan dengan minggu lalu, akhir pekan minggu lalu itu rata-rata volume penunmpang 2.700-2.800 penumpang per hari. Tapi kalau kita lihat tanggal 27 sampai dengan tanggal 28 Oktober ini dimana ini merupakan momen menjelang libur bersama ataupun juga atau pun juga libur panjang ya ini angka penumpang mencapai sekitar 9.000 sampai dengan 9.500 penumpang untuk keberangkatan per harinya," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (27/10/20).
Kenaikan mobilitas keluar Jakarta perlu diwaspadai dan diperhatikan. Libur panjang biasanya dimanfaatkan banyak orang untuk berpariwisata. Wabah Covid-19 yang belum benar-benar dijinakkan berpotensi kembali melonjak dan memunculkan klaster baru.
Kasus Covid-19 di Tanah Air masih terus meningkat. Per Senin 26 Oktober lalu, total kumulatif kasus Covid-19 di Indonesia tercatat mencapai 392.934. Kasus sudah mendekati angka 400.000.
Sementara itu kenaikan kasus per harinya cenderung berfluktuasi di kisaran 3.000-4.000 kasus per harinya.
Sampai saat ini DKI Jakarta masih belum bisa dibilang aman dari Covid-19. Jumlah kasus kumulatif Covid-19 di Ibu Kota sudah menyentuh angka 100 ribu atau lebih dari 25% dari total kasus nasional.
Kasus di DKI Jakarta pun masih cenderung berfluktuasi. Meski tren dalam beberapa waktu terakhir kenaikan kasus cenderung melambat,
Apabila berkaca pada momentum libur lebaran kurang lebih empat bulan silam, di mana arus mudik tetap terjadi dari kota-kota besar terutama DKI Jakarta ke luar daerah, meski ada imbauan dari pemerintah untuk tidak pulang kampung, kenaikan kasus infeksi Covid-19 di Indonesia cenderung tidak konklusif.
Artinya tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti apakah setelah periode mudik terjadi kenaikan kasus semakin menggila. Seminggu sebelum lebaran berlangsung yang biasanya dimanfaatkan untuk arus mudik pertambahan kasus rata-rata per hari dalam seminggu naik 27%, melambat dari pekan sebelumnya.
Seminggu setelah lebaran berlangsung, kenaikan rata-rata kasus per harinya justru turun 2% dibandingkan sebelum lebaran. Namun pada pekan selanjutnya kasus yang tadinya rata-rata tercatat di bawah 700 per hari melonjak menjadi 1.000 per hari atau langsung naik 50%.
Kenaikan kasus ini juga harus dikaitkan dengan seberapa gencar contact tracing dan juga testing digalakkan oleh pemerintah. Pasalnya mustahil untuk mendapatkan hasil yang konklusif ketika pelacakan dan tes tidak dilakukan dengan komprehensif dan dengan jumlah yang mencukupi.
Peningkatan mobilitas publik yang sifatnya temporer ini tetap harus diwaspadai. Harus ada contact tracing yang lebih komprehensif serta jumlah tes yang lebih masif. Selain itu pendekatan jenis tes yang digunakan juga harus diperhatikan.
Saat ini ada dua tipe tes yang digunakan untuk deteksi Covid-19. Tes rapid antibodi yang biasanya digunakan untuk mendeteksi apakah seseorang pernah terjangkit Covid-19 dan menghasilkan antibodi.
Sementara itu tes lain yang digunakan dan dikenal dengan tingkat akurasi yang tinggi tetapi lebih mahal adalah tes swab PCR menggunakan sampel dari tenggorokan (orofaring) dan hidung (nasofaring).
Penggiatan contact tracing dan peningkatan testing memang merupakan masalah teknis yang ruwet, apalagi ditambah dengan adanya fenomena orang tanpa gejala yang makin membuat masalah menjadi semakin kompleks.
Namun yang pasti pemerintah masih bisa mempertimbangkan periode inkubasi virus untuk menggencarkan contact tracing dan testing apabila tak mampu membendung mobilitas orang selama long weekend ini.
Setidaknya untuk dua pekan ke depan pemerintah seharusnya terus menggencarkan pelacakan dan pengetesan selain itu juga mendisiplinkan masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.
TIM RISET CNBC INDONESIA