
Pengusaha Lokal & Jepang Ngeluh Upah Pekerja Mahal, Benarkah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi sebuah UU memang membuat kaum buruh menolak keras. Namun bagi para pelaku usaha, UU yang juga dikenal sebagai Omnibus Law tersebut justru membuat mereka lega.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) melihat ada beberapa hal yang selama ini menjadi perhatian para pelaku usaha soal buruh dan menjadi urgensi untuk melakukan revisi terhadap UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003.
Regulasi ketenagakerjaan di Tanah Air dinilai terlalu rigid dan pada akhirnya juga mempengaruhi iklim investasi. Dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat angka pengangguran meningkat, tapi di sisi lain para pengusaha lokal juga terdampak membuat kebutuhan akan lapangan kerja meningkat drastis.
Dalam kondisi normal tanpa pandemi saja, tidak semua angkatan kerja terserap. Bahkan dengan terus meningkatnya baik investasi domestik (PMDN) maupun asing (PMA) saja serapan tenaga kerja justru malah menurun.
Total realisasi investasi sejak 2013-2019 terus meningkat dengan laju 15% per tahun. Di saat yang sama serapan tenaga kerja justru berkurang 6% per tahunnya. Per tahun 2019, ketika total realisasi investasi mencapai Rp 809,6 triliun total tenaga kerja yang terserap hanya 1 juta saja. Padahal tujuh tahun sebelumnya mencapai 1,8 juta.
Poin yang menjadi permasalahan adalah setiap tahunnya ada 2,24 juta angkatan kerja baru dan jika ditambah dengan total pengangguran maka angka orang yang membutuhkan pekerjaan berjumlah 9,29 juta orang.
Berdasarkan dokumen APINDO, perlu ada penciptaan lapangan kerja kurang lebih 2,7 juta - 3 juta per tahunnya atau ditingkatkan sebanyak 700 ribu - 1 juta per tahun. Untuk menggenjot penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi butuh untuk meningkatkan investasi baik dari dalam maupun luar negeri.
Hanya saja, untuk melakukan ekspansi, para pelaku usaha di dalam negeri mengaku bahwa salah satu faktor yang menjadi masalah adalah peningkatan gaji karyawan yang per tahunnya bisa mencapai 30% sendiri.
Dalam lima tahun terakhir, rata-rata kenaikan upah per tahunnya mencapai 10%. Dalam sebuah ilustrasi APINDO menggambarkannya kurang lebih begini. Misal rata-rata upah pekerja saat ini Rp 1 juta, dengan iuran JKK terendah 0.24% kenaikan upah rata-rata per tahun dapat dihitung dengan kenaikan upah 10% x 1 juta = 100.000.
Kenaikan jamsos & cadangan pesangon = (10.24%+8%) x (1 jt + 100.000) = 200.640 Jadi total kenaikan = 100.000 + 200.640 = 300.640 atau 30,064%. Jadi secara riil Pemberi Kerja harus mencadangkan kenaikan biaya ketenagakerjaan 30,064% setiap tahun.
Soal kenaikan upah ternyata perusahaan-perusahaan Jepang juga mengatakan hal yang serupa. Japan External Trade Organization (JETRO) melakukan survei terhadap perusahaan Jepang maupun afiliasinya di Asia dan Oceania.
Mayoritas masalah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah kenaikan gaji yang terjadi di seluruh region yang disurvei. Menariknya jika mengacu pada survei tersebut, mayoritas responden dalam hal ini perusahaan Jepang yang ada di Indonesia mengatakan kenaikan gaji adalah masalah paling utama.
Persentase responden yang menjawab kenaikan gaji adalah masalah manajemen perusahaan merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Lantas apakah benar upah pekerja di Indonesia termasuk tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu tidak semudah dengan membandingkan gaji di satu negara dengan negara lain. Namun ini juga bisa jadi sedikit komparasi.
Data yang dipublikasikan oleh Komisi Pengupahan Nasional & Produktivitas Filipina, jika membandingkan upah minimum bulanan pekerja untuk level tertingginya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia tergolong tinggi.
Namun harus ada indikator lain yang juga harus dipertimbangkan. Hal yang sering diributkan adalah upah pekerja Indonesia tergolong mahal jika dibandingkan dengan produktivitasnya.
Survei JETRO menggunakan pabrik Jepang sebagai acuan untuk menentukan produktivitas pabrik di berbagai negara. Angka 100 mengindikasikan produktivitas pabrik di Jepang. Angka di bawah itu mengindikasikan bahwa produktivitasnya lebih rendah dari Jepang.
Produktivitas Indonesia berada di angka 74,4%. Secara sederhana produktivitas pabrikan di RI 25,6% lebih rendah dibandingkan Jepang. Produktivitas RI juga masih berada di bawah rata-rata neagara ASEAN.
Melihat produktivitas pabrik juga tidak hanya tergantung pada input SDM saja tetapi juga tipe industri hingga teknologi yang digunakan. Artinya harus ada indikator lain digunakan.
Indikator lain yang harus digunakan adalah kenaikan upah dibandingkan dengan inflasi. Sebelumnya dikatakan bahwa rata-rata kenaikan upah pekerja RI dalam lima tahun terakhir di angka 10%. Untuk menghitung kenaikan gaji digunakan rumus pertumbuhan ekonomi plus inflasi.
Jika inflasi tahun ini diasumsikan masih sama dengan tahun lalu yaitu 2,82% dan kenaikan gaji sebesar 8,5% maka kenaikan gaji riilnya sebesar 5,68%. Kenaikan gaji riil Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, Thailand dan Kamboja, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina.
Sampai di sini terlihat bahwa upah tenaga kerja RI memang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, terutama di regional ASEAN. Namun tunggu dulu, satu variabel lain yang juga harus dipertimbangkan adalah cost of living, inflasi memang bisa mencerminkan peningkatan biaya hidup.
Perhitungan biaya hidup perlu dimasukkan dalam analsisi apakah upah yang diterima oleh pekerja RI sepadan atau tidak. Upah naik tinggi tetapi biaya hidup dan kenaikannya tinggi juga percuma, pada akhirnya kesejahteraan tidak tercapai.
Masalahnya menghitung biaya hidup tidak semudah mengkalkulasikan semua barang-barang kebutuhan sehari-hari. Harus ada pembobotan dan harga di berbagai daerah apalagi untuk Indonesia yang negara kepulauan tentu berbeda-beda.
Jadi sekali lagi apakah upah pekerja sepadan atau tidak, jawabannya memang tidak sesimpel itu. Setidaknya variabel-variabel di atas dihitung dulu dengan cermat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengusaha Pede Lapangan Kerja Makin Banyak Gegara Omnibus Law