
11 Hoax Soal UU Ciptaker yang Beredar di Masyarakat

Jakarta, CNBC Indonesia- Undang-undang Cipta Kerja menuai penolakan di publik dan diliputi banyak kabar palsu. Banyaknya kabar yang tidak benar ini dinilai karena kurangnya komunikasi terhadap masyarakat.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Profesor Tajuddin Noer Effendi mengatakan kurangnya komunikasi ini menjadi salah satu kekurangan pemerintah dalam menyusun Omnibus Law. Hal ini membuat banyak yang menolak undang-undang ini meski tidak mengetahui isinya.
Dalam pembahasan UU ini, Tajuddin mengatakan sebenarnya pemerintah juga mengajak universitas dan serikat pekerja. Namun sayangnya dalam beberapa pembahasan hanya sedikit yang hadir.
"Ketika ketok palu memang masih belum ada draft finalnya karena kan masih diperbaiki dan disempurnakan. Jadi yang beredar di masyarakat hoax, dan ada beberapa yang beredar," kata Tajuddin saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (15/10/2020).
Tajuddin menegaskan jika masyarakat serius membaca UU ini, sebenarnya isinya menolong pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Dengan menarik investasi, maka dapat menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran.
"Investasi kan tidak serta merta datangnya, makanya atas inisiatif Presiden Jokowi menyederhanakan UU yang berkaitan dengan investasi. Di negara lain, tetangga kita memang ada UU yang tidak terlalu rumit. Jadi birokasi dipangkas rente ekonomi tidak akan ada lagi," katanya.
Sejak Omnibus Law Cipta Kerja disahkan DPR berbagai kabar palsu atau hoax berkembang di masyarakat. Berbagai hoax yang berkembang menyangkut masalah upah, status pekerja, pesangon, hingga ketentuan tenaga kerja asing.
Jika dilihat berdasarkan draf final UU Cipta Kerja 812 halaman, ada beberapa kabar yang harus diluruskan.
1. Pesangon dihapuskan
Dalam pasal 156 BAB IV tentang Ketenagakerjaan disebutkan pengaturan tentang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang nantinya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Untuk pesangon, jika pengusaha melakukan PHK maka pengusaha wajib membayar pesangon. Secara spesifik untuk uang pesangon untuk masa kerja kurang dari satu tahun adalah satu bulan upah, hingga untuk masa kerja 8 tahun atau lebih mendapatkan 9 bulan upah.
Sementara uang penghargaan masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari enam tahun mendapatkan dua bulan upah. Kemudian jika masa kerja 24 tahun atau lebih, mendapatkan 10 bulan upah.
2. Upah buruh dihitung per jam
Dalam Pasal 88B BAB IV tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, dan/atau satuan hasil. Ketetuan lebih lanjut akan diatur dalam PP. Dengan satuan waktu tidak ada aturan yang menyatakan upah berdasarkan jam.
3.Tidak ada status karyawan tetap
Status karyawan tetap tetap ada, karena Berdasarkan pasal 59, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PWKT) atau biasanyanya dikenal pekerja kontrak hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. PWKT tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Jika PWKT tidak memenuhi ketentuan, maka menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PWKTT) atau karyawan tetap.
4. Upah Minimum dihapuskan
Upah minimum tetap ada, dan disebutkan dalam Pasal 88 C bahwa gubernur harus menetapkan upah minimum provinsi, dan dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Upah minimum ditetapkan berdasarkan ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, serta akan diatur dalam PP.
Pada pasal 88 D juga disebutkan penghitungan upah minimum dilakukan dengan formula perhitungan dengan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Pengusaha juga dilarang membayar lebih rendah dari upah minimum.
5. Semua hak cuti hilang
Hak cuti dan waktu istirahat tetap ada, dalam pasal 79. Cuti tahunan diberikan paling sedikit 12 hari bagi pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan, serta diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Perusahaan juga dapat dapat memberikan istirahat panjang.
6. Perusahaan dapat melakukan PHK kapanpun secara sepihak
Pada pasal 151 disebutkan bahwa perusahaan, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mengupayakan tidak terjadi PHK. Kalaupun sampai terjadi PHK dan pekerja menolak, maka harus dilakukan perundingan bipartit. Jika belum mencapai kesepakatan maka harus dilakukan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pada pasal 153 pun disebutkan perusahaan dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit selama tidak lebih 12 bulan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan, dan beberapa hal lainnya.
7. Jaminan sosial dan kesejahteraan dihilangkan
Jaminan sosial tetap ada, sesuai pasal 82, dengan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Kemudian ditambahkan jaminan kehilangan pekerjaan.
8. Tenaga kerja asing bebas masuk
Berdasarkan pasal 42, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang disahkan pemerintah pusat. Penggunaan TKA dapat dilakukan untuk jabaran tertentu sepertu direksi atau komisaris, pegawai diplomatik dan konsuler. Penggunaan TKA juga ditentukan dalam jangka waktu tertentu, dan dilarang menduduki jabatan yang mengurus personalia.
9. Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti
Penambahan libur di luar tanggal merah tidak disebutkan secara spesifik pada UU Cipta Kerja.
10. Semua karyawan berstatus tenaga kerja harian
Berdasarkan pasal 59, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PWKT) atau biasanyanya dikenal pekerja kontrak hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu. PWKT tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Jika PWKT tidak memenuhi ketentuan, maka menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PWKTT) atau karyawan tetap.
11. Buruh dilarang protes dan ancamannya PHK
Tidak ada larangan protes oleh buruh yang tertulis dalam UU Cipta Kerja.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Tertipu, UU Ciptaker Sebenarnya Lindungi Hak Pekerja