Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI terkenal dengan utangnya yang menggunung. Di tengah merebaknya pandemi Covid-19 beban utang yang tinggi menjadi sorotan banyak pihak mengingat kinerja korporasi pasti akan tertekan.
Dalam Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI), total utang luar negeri BUMN RI mencapai US$ 58,28 miliar pada Agustus 2020. Dengan asumsi kurs US$ 1 dibanderol Rp 14.500, maka total utang luar negeri BUMN dalam kurs rupiah mencapai Rp 845 triliun.
Jika dibandingkan dengan Agustus tahun lalu, utang luar negeri BUMN mengalami kenaikan 16,6% (yoy). Secara month on month (mom) utang luar negeri BUMN bertambah 0,83%.
Kontribusi utang luar negeri BUMN terhadap total utang luar negeri swasta di bulan Agustus mencapai 27,7%. Jika dibandingkan dengan total output perekonomian RI maka total utang luar negeri BUMN setara dengan 5,6% PDB.
Tren pertumbuhan utang luar negeri BUMN masih seperti yang sebelumnya, lebih tinggi dari pertumbuhan utang luar negeri swasta. BI mencatat pertumbuhan utang luar negeri swasta pada Agustus lalu hanya mencapai 7,9% (yoy) saja.
Secara umum, utang luar negeri baik swasta maupun BUMN bertambah di bulan Agustus jika dibandingkan dengan bulan Juli. Total utang luar negeri BUMN naik 15,1% (yoy) dan total utang luar negeri swasta meningkat 6,2% (yoy) di bulan Juli.
"Sebagian besar dana utang luar negeri digunakan untuk membiayai kegiatan investasi perusahaan. Beberapa sektor yang memiliki pangsa ULN terbesar sebesar 77,5% dari total ULN swasta adalah sektor keuangan & asuransi; pemasok listrik, gas, uap & pendingin udara; sektor pertambangan & pengeboran; dan sektor manufaktur." tulis BI.
Kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga usai masih menjadi risiko terbesar untuk para pelaku usaha baik swasta maupun BUMN. Secara umum ada tiga risiko yang perlu menjadi perhatian di kalangan para pelaku usaha.
Risiko pertama adalah risiko masih lemahnya perekonomian, risiko kedua adalah volatilitas di pasar dan risiko yang terakhir khususnya untuk BUMN adalah risiko utang (leverage) yang tinggi.
Kontraksi output perekonomian RI untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir membuat daya beli masyarakat menurun, penjualan korporasi mengalami penurunan dan pendapatannya pun ikut anjlok.
Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perdagangan internasional terutama yang mengimpor bahan bakunya dari luar negeri juga menghadapi risiko volatilitas nilai tukar.
Saat awal pandemi terutama di bulan Februari-Maret, nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam di hadapan dolar AS. Kemudian rupiah berbalik arah dan menguat mendekati level di awal tahun. Namun setelah BI memangkas suku bunga, nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi.
Volatilitas rupiah yang tinggi dan cenderung terdepresiasi ini telah membuat beberapa perusahaan BUMN mencatatkan rugi kurs yang besar. Tengok saja duo BUMN strategis nasional PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
Keduanya mencatatkan rugi kurs yang besar dan menjadi salah satu penyumbang terbesar kerugian di masa rupiah mengalami depresiasi yang tajam. Hingga akhir semester I-2020, Pertamina mencatatkan kerugian kurs hingga Rp 3 triliun, sementara PLN mencatatkan kerugian kurs mencapai Rp 7,8 triliun.
Bahkan sebelum pandemi Covid-19 merebak, sebenarnya banyak BUMN terlilit hutang yang besar dan kondisi keuangannya sangat memprihatinkan. Beberapa BUMN bahkan sempat mengalami gagal bayar atas kewajibannya sehingga harus disuntik dana talangan dari pemerintah.
Tiga BUMN yang menjadi sorotan banyak pihak tahun ini adalah PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Perumnas dan PT Garuda Indonesia Tbk. Emiten baja pelat merah RI (KRAS) akhirnya harus melakukan restrukturisasi utang terbesar di Indonesia dengan nilai US$ 2,2 miliar.
Beberapa BUMN lain yang juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya seperti Perumnas yang sempat tak mampu memenuhi kewajibannya membayar MTN senilai Rp 200 miliar akhir April lalu.
Kemudian ada lagi perusahaan maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang kesusahaan membayar SUKUK Global senilai US$ 500 juta mengingat hanya memiliki kas senilai US$ 299 juta hingga akhir tahun lalu.
Tingginya beban utang (leverage) BUMN di tengah kontraksi perekonomian yang membuat kondisi keuangannya menjadi tertekan membuat lembaga pemeringkat utang domestik maupun global ramai-ramai merevisi rating dan outlook perusahaan pelat merah tersebut.
Dari 23 BUMN yang menguasai lebih dari 30% dari total aset perusahaan pelat merah, ada enam perusahaan yang ratingnya diturunkan oleh Pefindo di tahun ini. Dua dari enam perusahaan pelat merah yang turun rating antara lain dua BUMN konstruksi yaitu PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA).
Penurunan rating korporasi tersebut oleh Pefindo dengan mempertimbangkan leverage-nya yang tinggi. Leverage yang tinggi terlihat dari beban utang terhadap pendapatannya (Adjusted Debt/EBITDA) yang lebih dari 10x untuk tahun ini mengacu pada laporan keuangan perseroan yang disetahunkan (annualized).
Kemudian ada BUMN yang bergerak di sektor kurir dan logistik yaitu PT Pos Indonesia (Persero) juga tak luput mendapatkan penurunan rating dari Pefindo. Tiga BUMN lain yang ratingnya diturunkan adalah PT Timah Tbk (TINS) dari sektor pertambangan, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) dan PT Kereta Api (Persero).
Kendati rating perusahaan BUMN yang lain cenderung stabil, tetapi banyak yang outlooknya direvisi dari stabil menjadi negatif. Ada setidaknya 8 perusahaan BUMN yang outlooknya direvisi menjadi negatif tahun ini oleh Pefindo.
Lembaga pemeringkat utang global juga melakukan hal serupa dengan memangkas rating korporasi BUMN RI.
Realita pahit harus diterima oleh duo BUMN karya tersebut yang juga tingkat utangnya tergolong tinggi. Kinerja keuangan yang memburuk serta prospek ke depan yang terancam membuat lembaga pemeringkat utang global Moody's memangkas rating WIKA dan Fitch memangkas rating utang WSKT.
Moody's menurunkan rating WIKA dari Ba3 menjadi Ba2 dan menurunkan pandangankedepan perusahaan ini dari stabil menjadi negatif. Fitch Ratings memangkas peringkat surat utang jangka panjang emiten konstruksi BUMN, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dari sebelumnya A-(idn) menjadi BBB (idn).
Moody's tak hanya memangkas rating utang WIKA saja tetapi juga dua BUMN lain yaitu PT Jasa Marga Tbk (JSMR), PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II).
Moody's juga menurunkan rating Jasa Marga dari Baa2 menjadi Baa3 dan outlook perusahaan tetap negatif. Outlook negatif yang diberikan Moody's juga dikarenakan oleh resiko kredit yang terus menghantui Jasa Marga dampak dari merebaknya virus corona.
Moody's berekspektasi terjadinya kontraksi di tingkat lalu lintas terutama di tol milik Jasa Marga akan menurunkan tingkat arus kas JSMR pada tahun 2020. Hal ini sudah tampak dari pendapatan JSMR yang turun -45,3% (yoy) pada kuartal I-2020.
Tak ketinggalan Moody's juga menurunkan rating PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dari Baa2 menjadi Baa3, akan tetapi menurut Moody's outlook perusahaan ini tetaplah stabil kedepanya.
Menurut Moody's sektor pelabuhan juga terkena efek kejut virus corona, dimana total volum kargo yang dikirim dan diterima turun karena tingkat perdagangan global juga turun akibat terkontraksinya kondisi makro ekonomi global.
Banyak sebenarnya BUMN yang terlilit utang dan nasibnya sedang tidak mujur karena terlilit utang. Namun tak semuanya diselamatkan oleh pemerinath. Hanya beberapa BUMN strategis yang nasibnya ada di titik nadir serta berperan untuk menjadi motor penggerak perekonomian.
Jika mengacu pada Peraturan Menteri BUMN Nomor 8 tahun 2020 setidaknya ada lebih dari 10 BUMN yang bakal diberi suntikan dana PEN oleh pemerintah dengan berbagai skema.
Untuk beberapa BUMN strategis yang memiliki piutang dari pemerintah, maka akan disuntik dana dengan skema pencairan hutang pemerintah ke BUMN. Total anggarannya mencapai Rp 113.48 triliun.
Dua BUMN strategis yang bakal mendapat dana ini dalam jumlah yang besar adalah PLN dengan nilai Rp 48,46 triliun dan Pertamina senilai Rp 45 triliun. Tak ketinggalan BUMN konstruksi sebagai motor penggerak proyek strategis nasional (PSN) juga bakal mendapat suntikan senilai Rp 12,16 triliun.
Kemudian ada sebanyak 7 BUMN yang bakal mendapatkan suntikan dana dalam bentuk penanaman modal negara (PMN). Beberapa BUMN tersebut adalah Hutama Karya, Bahana, PNM, PTPN, PT KAI, Perumnas dan ITDC. Total dana yang dianggarkan mencapai Rp 23,65 triliun.
Sementara itu ada dua BUMN yang terlilit utang yang besar yaitu Garuda Indonesia (GIAA) dan Krakatau Steel (KRAS) yang bakal mendapat suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp 11,5 triliun dalam bentuk pinjaman convertible bonds.
Sehingga secara total dana suntikan pemerintah untuk BUMN mencapai Rp 148,63 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA