
Sad.. Punya Ratusan BUMN Tapi yang Cuan Dikit & Utang Banyak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Luar Negeri (ULN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang melambat di bulan Januari. Namun jika dibandingkan dengan ULN swasta, pertumbuhan ULN BUMN masih signifikan.
Dalam statistik utang luar negeri (SULNI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), total ULN swasta per akhir Januari 2021 mencapai US$ 207,1 miliar. Pertumbuhan ULN swasta pada akhir Januari 2021 tercatat 2,3% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,8% (yoy).
Sementara itu di saat yang sama ULN BUMN tumbuh 8,3% (yoy). Di bulan Desember, ULN BUMN tercatat tumbuh dobel digit mencapai 12,3% (yoy). Total ULN BUMN mencapai US$ 57,5 miliar atau setara dengan Rp 805 triliun.
Kendati ULN lembaga perbankan BUMN kurang dari US$ 10 miliar, tetapi kontribusi pertumbuhan utangnya masih menjadi yang paling tinggi di bulan Januari lalu. ULN bank pelat merah tumbuh 13,8% (yoy) ketika ULN sektornya mengalami kontraksi 5,2% (yoy).
Beralih ke Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), perusahaan keuangan pelat merah mencatatkan penurunan ULN sebesar 12,5% (yoy) atau cenderung stagnan dibandingkan dengan bulan Desember tahun lalu.
Untuk korporasi non lembaga keuangan BUMN pertumbuhan nilai utang luar negerinya melambat menjadi 9,2% (yoy) di akhir Januari. Padahal sebelumnya pertumbuhan ULN untuk segmen ini mencapai 12,9% (yoy) pada Desember 2020.
Baik utang pemerintah maupun BUMN sering menjadi sorotan berbagai pihak. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Presiden RI pada 2014, utang perusahaan pelat merah terus bertambah.
Ambisi Jokowi untuk membangun perekonomian nasional dengan laju 7% per tahun dilakukan dengan melibatkan BUMN sebagai motor penggeraknya. BUMN dilibatkan dengan berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang ambisius terutama untuk meningkatkan konektivitas melalui pembangunan jalan dan jembatan.
Bahkan sampai ada anggapan bahwa ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur tanpa harus merogoh kocek yang besar dari APBN dan meningkatkan utang pemerintah.
Namun hasilnya adalah peningkatan utang perusahaan pelat merah itu sendiri. Pangsa ULN BUMN mencapai 27,8% dari total ULN swasta. Apabila aset BUMN mencapai Rp 8.000 triliun maka 10% dari total asetnya didanai oleh ULN.
Angkanya memang tak seberapa. Namun jika dilihat dari struktur neraca BUMN pada dua tahun silam akan kelihatan bahwa total kewajiban terhadap total asetnya mencapai hampir 70%. Artinya kebanyakan aset yang dibangun oleh perusahaan pelat merah adalah dari utang.
Pandemi Covid-19 yang merebak di Tanah Air sejak 2020 membuat kinerja keuangan BUMN semakin memprihatinkan.
Kondisi BUMN cukup menggendut sehingga punya cucu dan cicit yang menggurita. Namun dari ratusan BUMN yang tercatat yang benar-benar menghasilkan sangatlah sedikit. Mirisnya lagi, Kementerian BUMN menyatakan 80% pendapatan BUMN hanya berasal dari 15 dari 142 perusahaan.
Peningkatan utang di tengah banyaknya BUMN yang tidak efisien ini jelas mengkhawatirkan. Pada 2018 Organisasi Kerja Sama Ekonomi Dunia (OECD) bahkan menyorot peningkatan utang BUMN terutama untuk proyek infrastruktur.
OECD menyatakan keprihatinan bahwa utang BUMN yang digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur akan menimbulkan kendala arus kas yang serius, jika suku bunga naik atau proyek yang dikerjakan tertunda bahkan mangkrak.
Situasi semakin memburuk pada tahun 2020 ketika emiten baja pelat merah yakni Krakatau Steel mengumumkan restrukturisasi utang senilai US$ 2 miliar pada bulan Januari untuk menghindari kebangkrutan.
Dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan sebagian besar negara melakukan lockdown, situasi utang BUMN menjadi lebih parah, seperti yang dicontohkan oleh maskapai penerbangan unggulan Garuda Indonesia, yang nilai obligasinya turun lebih dari 50% sejak akhir Januari hingga awal Juni 2020.
Kedua BUMN tersebut bahkan sampai harus menadah talangan dari pemerintah untuk tetap bisa hidup padahal di saat yang sama ruang fiskal sangatlah terbatas dengan adanya short fall pajak serta kebutuhan yang membengkak sehingga defisit anggaran pun jebol lebih dari 5% dari PDB.
Selain utang, BUMN juga beberapa kali diterpa skandal korupsi. Paling baru ada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau AJS. Akibat adanya korupsi dan pengelolaan investasi yang baik, AJS harus merugikan negara hingga puluhan triliun.
Sebenarnya masih ada lagi kasus-kasus lain yang melibatkan BUMN dan oknum jajaran pertingginya yang menyita perhatian publik. Kondisi carut marut di tubuh perusahaan pelat merah ini menjadi tantangan bagi Erick Thohir untuk berbenah.
Setidaknya Erick punya dua tugas besar, pertama yaitu meningkatkan efisiensi bisnis dari BUMN di tengah tingginya utang yang ada, serta peningkatan transparansi dan tata kelola perusahaan, agar BUMN yang seharusnya menjadi motor penggerak perekonomian tidak membebani negara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Melongok BUMN yang Kenyang (Eh Kembung) Gegara Utang...