Mahfud MD: Biaya Pilkada itu Mahal, Ada Percukongan!

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
14 October 2020 12:38
Mahfud Md (Grandyos Zafna/detikcom)
Foto: Mahfud MD (Grandyos Zafna/detikcom)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjadi pembicara kunci dalam webinar yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (14/10/2020).

Dalam kesempatan itu, Mahfud menyinggung ongkos yang harus dikeluarkan setiap pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Akibatnya, para calon berusaha mengembalikan biaya itu dengan menghalalkan segala cara hingga menjadi terjerat aparat penegak hukum.

"Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Karena biaya pilkada itu mahal. Ada percukongan. Kemarin saya keliru ngutip 92% yang benar itu 82% menurut data KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pemilihan kepala daerah itu disponsori orang lain. Sponsor itu ya cukong kan?," ujar Mahfud.


"Karena artinya cukong itu orang yang membiayai kegiatan orang lain karena punya modal. Dan di situ kemudian terjadi jual beli kebijakan. Saya dukung Anda, tapi besok saya minta ini, minta itu, minta ini, minta itu," lanjutnya.

Sebagai eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud lantas mengungkapkan sejumlah kecurangan penyalahgunaan yang ditemukan. Dana-dana pemerintah, menurut dia, digunakan untuk kebutuhan pilkada.

"Bansos misalnya. Ditumpuk sekian nanti pas menjelang hari pilkada dibagi dengan gambar calon tertentu yang kebetulan petahanan. Kemudian terjadi pengadangan terhadap pemilih, teror terhadap pemilih, tadi saya sebut money politic, dropping orang dari daerah-daerah lain dan sering bawa kartu dan itu sudah main juga dengan TPS-nya. Itu yang dulu saya adili ketika menjadi ketua MK," kata Mahfud.

Kendati demikian, dia juga mengungkapkan ada sisi positif dari pilkada. Misalnya dari sisi partisipasi masyarakat yang terus meningkat. Sisi positif lain adalah ideologi tidak lagi tersekat-sekat. "Jadi misalnya koalisi dan oposisi di tingkat pusat. Di daerah itu beda," ujar Mahfud.

"Yang lebih bagus lagi partai yang berbasis agama yang dicurigai anti Pancasila sekarang bisa bergabung dengan orang beda agama misalnya di Papua, NTT, Manado, dan sebagainya. Pasangan-pasangan muslim non muslim, Jawa dan non Jawa, sehingga sekat-sekat ideologis itu kemudian menjadi lebih terbongkar gitu ya menjadi lebih menyatu," lanjutnya.



Beberapa waktu lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri mengungkapkan hasil kajian KPK terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Salah satu poin utama dalam kajian adalah pendanaan calon kepala daerah.

"Pilkada dibiayai sponsor. Rata-rata 82,3% calon kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pilkada. Di 2017 itu 82,6% disokong sponsor, lalu 2018 70,3% disokong sponsor juga," kata Firli dalam suatu acara yang disiarkan Youtube KASN RI, Rabu (7/10/2020), seperti dikutip CNN Indonesia.

Firli mengatakan kehadiran sponsor di belakang para calon kepala daerah dilatarbelakangi biaya pilkada yang mahal. Biaya untuk memenangkan pilkada, kata dia, jauh lebih besar daripada harta kekayaan yang dimiliki para kandidat kepala daerah.

Selama ini, hasil kajian KPK menunjukkan para calon yang berkontestasi banyak yang menggelontorkan dana kampanye lebih besar dari harta kekayaannya. Hal itu terekam dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diajukan calon kepala daerah ke KPK.

"Kita lihat, harta kekayaan misalnya Rp 18 miliar, tapi biayanya lebih dari itu. Dari mana mereka dapat? Ya, dari sumbangan," kata Firli.

Ia mengatakan pihak swasta membantu pendanaan karena berharap timbal balik dari calon kepala daerah jika menang pilkada. Hingga kemudian, kepala daerah tersangkut kasus korupsi karena menyalahgunakan wewenangnya untuk keuntungan pihak lain.

"Kenapa itu terjadi? karena para swasta mendapatkan kesempatan baik itu pekerjaan, fasilitas, untuk mendapatkan keuntungan," ujar Firli.

Firli lalu mengatakan bahwa tindak pidana korupsi memang marak terjadi di masa pemilu atau pilkada. Sejak mekanisme pemilu dipilih langsung oleh masyarakat diberlakukan pada 2004, Firli memerinci KPK paling banyak menangani kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah pada tahun 2018.

Diketahui, pada tahun 2018 sempat digelar pelaksanaan pilkada serentak di 171 wilayah dan tahapan awal kampanye Pemilu 2019.

"Saya ingin sampaikan tindak pidana korupsi paling banyak terjadi di tahun politik. Pada 2018 kita menangkap total 29 kepala daerah," katanya.

Firli menyatakan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sejak 2004 lalu berjumlah 114 orang. Ia menyatakan terdapat tren peningkatan jumlah kepala daerah yang ditangkap KPK terjadi pada tahun 2014, 2017 dan 2018.

"Tahun 2014 misalnya ada 14 kepala daerah yang tertangkap, lalu tahun 2017 ada 10 kepala daerah," kata dia.


(miq/miq) Next Article Wow! Mahfud Sebut 92% Calon Kepala Daerah Dibiayai Cukong

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular