Kabar Gembira! Pengusaha yang Tiarap Kini Mulai Bangkit

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 October 2020 12:53
Industri Kerupuk Merah
Foto: Industri Kerupuk Merah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menghindari resesi bisa dipastikan suatu hal yang mustahil bagi Indonesia yang sedang disandera oleh musuh tak kasat mata yaitu virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Kendati demikian, ada kabar sedikit menggembirakan yang datang dari dunia usaha. 

Bank Indonesia (BI) melalui Survei Kegiatan Dunia Usaha melaporkan bahwa aktivitas bisnis pada kuartal III-2020 cenderung mengalami perbaikan dibanding kuartal sebelumnya. Apabila melihat data dengan cermat aktivitas bisnis bisa menjadi proxy untuk menebak arah perekonomian ke depan karena pergerakannya sejalan atau berkorelasi positif dengan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB).

Saat dunia usaha mengalami periode suram pada kuartal II-2020, PDB juga mengalami hal yang serupa. Namun seiring dengan membaiknya kondisi bisnis pada periode Juli-September, setidaknya ada harapan bahwa perekonomian Indonesia bisa lebih baik. 

Berdasarkan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI, berbagai indikator di dunia usaha menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Adanya pelonggaran pembatasan mobilitas menjadi salah satu kunci pendorongnya. 

Menengok kapasitas produksi terpakai di berbagai sektor industri terlihat adanya kenaikan dari 69,28% pada kuartal II-2020 menjadi 71,77% di kuartal III-2020.

Peningkatan kapasitas produksi yang terjadi hampir di semua sektor ini didukung oleh membaiknya permintaan, ketersediaan bahan baku, adaptasi terhadap kehidupan baru, hingga cuaca yang mendukung untuk sektor-sektor tertentu. 

Peningkatan kapasitas produksi terpakai ini juga membawa kabar baik untuk penggunaan tenaga kerja. Pada kuartal kedua, serapan tenaga kerja mengalami kontraksi yang dalam seiring dengan adanya kebijakan work from home hingga maraknya fenomena PHK dan karyawan yang dirumahkan. 

Dari yang awalnya terkontraksi 22,35% menjadi hanya minus 16,47% saja di kuartal ketiga. Apabila dicermati dengan teliti beberapa kali memang serapan tenaga kerja di sektor dunia usaha sempat mengalami kontraksi. 

Hal ini lebih mengindikasikan faktor musiman mengingat sektor penyumbang serapan tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh sektor primer dan informal seperti pertanian yang juga dipengaruhi oleh adanya periode panen berbagai komoditas agrikultur.

Apabila ditinjau dari sisi keuangan, baik aspek likuiditas dunia usaha, kemampuan sektor usaha untuk mencetak laba (rentabilitas) hingga akses ke kredit semuanya juga mengalami perbaikan pada periode tiga bulan ketiga tahun ini.

Untuk aspek likuiditas, jumlah responden survei yang mengatakan likuiditas perusahaan menurun drop dibanding kuartal kedua dan responden yang mengalami perbaikan likuiditas juga meningkat.

Likuiditas merupakan aspek yang penting dalam dunia usaha karena mencerminkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendeknya. Selain perbaikan likuiditas, semakin banyak juga responden yang melaporkan adanya perbaikan rentabilitas.

Merebaknya wabah Covid-19 disertai PSBB serta penurunan mobilitas publik telah membuat ekonomi Indonesia sekarat. Bank sebagai lembaga keuangan pro-siklis cenderung lebih berhati-hati bahkan mengerem dalam menyalurkan kredit. 

Di saat yang sama pelaku usaha juga belum berpikir untuk melakukan ekspansi di tengah pandemi. Sehingga demand maupun supply kredit juga terbatas, meskipun secara industry wide perbankan RI tak sedang seret likuiditas.

Hal ini berdampak pada perlambatan pertumbuhan kredit yang signifikan. Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK bulan Juli 2020 mencatat pertumbuhan kredit melambat menjadi 1,53% (yoy) tahun ini. Padahal di bulan Juli tahun 2019 kredit masih mampu tumbuh 9,58% (yoy).

Namun jika melihat survei yang dilakukan BI terhadap pelaku usaha, akses mereka terhadap kredit juga mengalami perbaikan. Pada kuartal ketiga, responden yang mengatakan akses terhadap kredit termasuk mudah bertambah. Sementara yang mengatakan susah mengalami penurunan.

Dunia usaha membutuhkan kredit untuk modal kerja maupun untuk investasi, sehingga akses terhadap kredit adalah poin penting agar dapur para pelaku usaha ini tetap bisa mengepul dan menggerakkan roda perekonomian. 

Overall, menggunakan indikator-indikator di atas terlihat bahwa dunia usaha berada dalam jalur pemulihan di kuartal ketiga setelah tertekan hebat di kuartal sebelumnya. Namun memang belum bisa sampai pulih seperti di kondisi sebelum pandemi merebak. 

Masih mengacu pada survei yang dilakukan BI terhadap dunia usaha, responden optimistis bahwa aktivitas usaha sudah mengalami kinerja yang positif pada kuartal IV-2020. Hal ini juga sejalan dengan survei yang dilakukan oleh Reuters serta INSEAD kepada pelaku usaha di kawasan Asia Pasifik.

Survei yang dilakukan oleh Thompson Reuters dan INSEAD menunjukkan indeks sentimen bisnis Asia berada di posisi 53 pada periode Juli-September. Naik tajam dari posisi sebelumnya yaitu 35, yang merupakan titik terendah terendah dalam 11 tahun terakhir.

Survei tersebut dilakukan terhadap 103 perusahaan di 11 negara di kawasan Asia Pasifik. Posisi di atas 50 mengindikasikan bahwa sentimen menunjukkan adanya outlook yang positif ke depan.

Namun di balik sentimen positif tersebut, masih terpendam risiko besar yang dihadapi oleh para pelaku usaha. Lebih dari dua pertiga dari responden yang disurvei mengatakan risiko yang masih dihadapi adalah potensi lonjakan kasus Covid-19.

Seperti yang diketahui bersama, pandemi Covid-19 saat ini masih terus merebak. Bahkan kasus terus bertambah setiap harinya. Jika kasus semakin tak terkendali ada potensi bahwa geliat aktivitas ekonomi bakal direm lagi seperti yang pernah dilakukan pada bulan Maret-Mei lalu.

Risiko lain yang juga dihadapi oleh para pelaku usaha di Asia adalah resesi global. Sebanyak 14% responden mengatakan resesi global menjadi kekhawatiran mereka untuk ke depannya.

Selain itu ada risiko lain yang juga masih menjadi momok yang harus diwaspadai. Untuk faktor yang ini lebih diakibatkan oleh fenomena iklim yaitu La Nina. Fenomena iklim ini akan menyebabkan hujan deras yang intens di Indonesia. 

Hal ini jelas menjadi risiko bagi berbagai industri terutama yang terkait dengan pertanian dan pertambangan. Hujan lebat yang berakibat pada banjir akan mengakibatkan gagal panen hingga kerusakan stok pangan akibat membusuk. Konsekuensinya adalah para petani kehilangan pendapatannya di saat yang sama harga-harga komoditas juga melonjak.

Bagi dunia pertambangan, adanya La Nina yang berpotensi memicu banjir juga menjadi risiko yang bisa mengganggu aktivitas operasi dan produksi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular