
Banyak Demo Rusuh, Wali Kota Malang Kritik Omnibus Law Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - Demo menolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) di berbagai daerah berujung pada kerusuhan. Hal serupa juga terjadi di Kota Malang, Jawa Timur. Sejumlah kendaraan dan bagian bangunan di sekitar Gedung DPRD dan Balai Kota Malang mengalami rusak berat.
Wali Kota Malang Sutiaji sempat buka suara mengenai regulasi baru ini. Dia blak-blakan menyatakan tidak mendukung adanya Omnibus Law.
"Saya lihat dari kulitnya, mulai awal saya sudah nggak setuju dengan Omnibus Law. Karena kemandirian daerah sudah enggak ada, berkaitan dengan perizinan," ujarnya dalam perbincangan eksklusif bersama CNBC Indonesia, Kamis (8/10/20).
Dikatakan, dengan adanya aturan ini maka ada potensi terjadi 'tabrakan' antara kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dia mencontohkan, hal ini pernah terjadi ketika penerapan kebijakan Online Single Submission (OSS).
"Seperti OSS itu. Contoh ritel modern, boleh buka dulu, yang penting buka dulu. Nanti baru bangun, integrasi ke daerah. Nah komitmen-komitmen itu kesepakatannya nanti setelah itu enggak apa-apa. Lha orang udah buka kan dia gak mungkin balik kucing," keluhnya.
"Mestinya kan kesepakatan dulu dengan daerah, bagaimana agar UMKM bisa masuk dan lain sebagainya. Nah mereka rata-rata sudah masuk lewat OSS, sudah OSS selesai," lanjutnya.
Dengan adanya Omnibus Law ini, dia mempertanyakan pengangkatan terhadap kearifan lokal. Selama ini, banyak aturan di daerah yang terkait dengan kearifan lokal, dan dieliminasi oleh Omnibus Law.
"Gimana kearifan lokal. Apa gunanya ada peraturan daerah, pembatasan ritel modern dan sebagainya untuk mengangkat UMKM," imbuh Sutiaji.
Sutiaji sebenarnya setuju dengan upaya meningkatkan investasi dengan membuka kesempatan seluas-luasnya. Hanya saja, dia menggarisbawahi jangan sampai upaya itu mengabaikan ekonomi lokal.
"Jangan mengabaikan ekonomi daerah, Ekonomi lokal. Kita yang jelas-jelas sudah teruji ketika krisis 98 dan saat ini saja saya kira masih teruji adalah ekonomi mikro," bebernya.
Keberadaan UU Ciptaker ini, menurut Sutiaji akan membuat pelaku UMKM berhadapan langsung dengan para pemodal besar. Padahal, banyak hal yang tidak bisa dilakukan pelaku UMKM.
"Ini yang harus dikuatkan, sisi lain dari Omnibus Law ini ya, apapun kan pemilik modal besar dia ambil sedikit keuntungan tapi berkali-kali. Nah itu tidak dimiliki oleh UMKM. UMKM kan (usahanya) tidak banyak. Menunya sedikit tapi ngambilnya kan tentu tidak sama dengan mereka yang (modalnya) gede. Kemudian misalnya jualnya 5 macem, mereka 50 macem. Perputaran uang lebih cepat yang banyak tadi, ini pemilik modalnya satu dua orang," tandasnya.
Di samping itu, Sutiaji juga menyoroti klaster ketenagakerjaan dalam regulasi tersebut. Menurutnya, perlakuan terhadap buruh juga harus diperhatikan.
"Belum lagi dari sudut pandang perlakuan terhadap buruh serta kapitalisasi dunia pendidikan. Segi positifnya memang penyederhanaan prosedur. Namun jangan sampai menghilangkan filosofi kemandirian ekonomi rakyat dan peningkatan kesejahteraan kaum buruh," tegasnya.
Sebagai kepala daerah, ia melanjutkan, mendengarkan aspirasi masyarakat merupakan suatu keharusan. Selain itu, ia juga mendorong serta memberikan literasi dan pemahaman baik secara subtantif maupun implementatif dari sebuah sebuah regulasi.
"Tentu kami harus berada di tengah-tengah. Tidak serta merta, tapi harus mengamankan semua kepentingan. Golnya adalah kesejateraan masyarakat karena itu cita-cita didirikannya negara kita sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD'45."
"Cuma demo dalam rangka penyampaian aspirasi semestinya harus meniadakan anarkis. Ingat, niat baik dan tujuan baik harus melalui proses yang baik pula. Jadi niat, proses dan hasil harus linier. Kalau masyarakat tidak puas maka ada jalan melalui uji materi," serunya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jurus Sutiaji Genjot Digitalisasi UMKM di Malang