Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah kabar duka yang menyelimuti perekonomian Indonesia, masih ada harapan. Ada sinyal konsumsi masyarakat mulai membaik.
Mengutip Survei Konsumen edisi September 2020 keluaran Bank Indonesia (BI), porsi pendapatan konsumen untuk belanja atau konsumsi adalah 68,8%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 67,35%. Peningkatan alokasi konsumsi otomatis membuat pos untuk tabungan dan cicilan turun.
"Peningkatan rata-rata konsumsi terhadap pendapatan terjadi pada seluruh kategori pengeluaran. Tertinggi pada responden dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan," sebut laporan BI.
Jika kondisi ini bisa terus bertahan, apalagi ditingkatkan, maka masa depan ekonomi Tanah Air akan cerah. Sebab, ekonomi Indonesia sangat bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Pos ini menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Ditambah lagi yang menambah porsi konsumsi adalah kelompok kelas menengah. Kelompok ini adalah yang paling banyak, dengan populasi mencapai 52 juta jiwa menurut perkiraan Bank Dunia. Satu dari lima warga negara Indonesia berstatus kelas menengah, yang dicirikan dengan status ekonomi yang mapan dan tidak rentan jatuh ke jurang kemiskinan.
 Bank Dunia |
Well, sejauh ini berbagai proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 memang cerah. Berbagai institusi global memperkirakan ekonomi Tanah Air kembali tumbuh positif pada 2021 setelah terkontraksi tahun ini.
Morgan Stanley dalam riset terbarunya bahkan menyebut Asia bakal mengalami periode emas pada 2021. Get Ready for 2021 Goldilocks, demikian judul laporan tersebut.
Goldilocks dalam ekonomi berarti sebuah periode yang sempurna. Ekonomi tumbuh tidak terlalu cepat, tetapi juga tidak selow. Kadarnya pas, ideal. Pertumbuhan ekonomi tidak terlalu kencang yang bisa menyebabkan overheat, tetapi juga tidak terlalu lambat sehingga bisa berujung kepada resesi.
"Kami melihat perekonomian Asia (kecuali Jepang) akan berubah dari pertumbuhan rendah ke masa Goldilocks pada 2021. Kombinasi pertumbuhan ekonomi yang cepat di atas rata-rata, inflasi yang meningkat tetapi masih sejalan dengan tren, dan kebijakan yang longgar," sebut riset Morgan Stanley.
Bahkan Morgan Stanley menilai Indonesia sebagai salah satu negara yang paling menonjol. Bersama India dan Filipina, Indonesia akan menjadi negara yang paling menikmati fase Goldilocks ini.
"Indonesia, India, dan Filipina menikmati aliran modal asing karena suku bunga acuan, terutama di Amerika Serikat (AS), yang masih akan tetap rendah. Kehadiran vaksin anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) juga akan membuat risk aversion menurun. Jika negara-negara ini berhasil mengatasi berbagai hambatan struktural, maka peluang untuk memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi akan semakin besar," papar riset Morgan Stanley.
Sejumlah wilayah di Indonesia memang kembali memperketat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi dosisnya lebih sedikit ketimbang yang berlaku pada April-Mei. Oleh karena itu, Morgan Stanley menilai kuartal III-2020 adalah titik nadir perekonomian Indonesia, tidak bisa lebih rendah lagi.
"Kami menilai ekonomi Indonesia sudah tidak bisa lebih rendah dari kuartal III-2020. Dengan situasi pandemi yang ke depan akan membaik, ditambah dengan reformasi struktural, momentum pertumbuhan ekonomi akan lebih kuat," tulis riset Morgan Stanley.
Akan tetapi, Morgan Stanley mengingatkan pemulihan ekonomi Indonesia bukan tanpa risiko. Paling utama adalah bagaimana Indonesia mampu mengendalikan pandemi virus corona.
Nah, ini yang jadi masalah. Penyebaran virus yang awalnya bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu malah semakin luas.
Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona per 5 Oktober 2020 adalah 307.120 orang. Bertambah 3.622 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (22 September-5 Oktober), rata-rata jumlah pasien bertambah 4.162 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 3.705 orang.
"Risiko terbesar yang bisa menghambat laju pemulihan ekonomi di Indonesia, India, dan Filipina adalah penambahan kasus Covid-19 yang masih tinggi. Namun pelaku pasar memandang pandemi Covid-19 lebih banyak mempengaruhi masyarakat berpendapatan menengah-bawah ketimbang menengah-atas, sehingga penurunan permintaan relatif terbatas. Sebab masyarakat berpendapatan menengah-bawah tidak banyak mendorong permintaan untuk menggenjot pemulihan ekonomi," jelas riset Morgan Stanley.
TIM RISET CNBC INDONESIA