Heboh Pontensi Tsunami Jawa 20 Meter & Mitigasi Risikonya

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
03 October 2020 19:34
INFOGRAFISl, Tsunami Besar RI
Foto: Infografis/Ancaman Tsunami Besar RI/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro menyatakan riset tentang potensi tsunami di selatan Pulau Jawa yang sedang ramai diperbincangkan merupakan hasil penelitian 2019. Semua berawal dari tahun 2016 saat tsunami deposit ditemukan di Pangandaran, Jawa Barat. Tsunami deposit itu berasal dari gempa yang cukup besar pada 1584-1596.

Dari hasil penelitian ditemukan di lokasi megathrust pernah terdapat beberapa gempa kuat di bagian barat dan timur Jawa. Selain itu dengan model yang diturunkan dari GPS, anggota tim riset melakukan simulasi.

"Simulasinya sebenarnya tidak hanya tiga skenario yang dilakukan, dan sebenarnya yang tepat maksimum 20 meter, dan semakin ke timur semakin kecil karena sumbernya di barat. Kalau bagian timur yang pecah, yang sebelah timur lebih tinggi dari yang barat," kata Widiyantoro, dikutip Sabtu (3/10/2020).

Skenario terburuk yang terjad, jika sumber berada sebelah barat dan timur pecah bersamaan maka tinggi tsunami 20 meter di sebelah barat dan 12 meter di timur dan di tengah-tengah sekitar 4,5-5 meter.

"Risetnya multidisiplin tetapi ujungnya skenario kalau megathrust terjadi. Inilah worst case scenario," kata dia.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menegaskan bahwa penelitian gempa bumi dan tsunami di Indonesia dilakukan untuk mendukung penguatan sistem mitigasi bencana, sehingga bisa mencegah dampaknya terutama jatuhnya korban jiwa.

"Potensi terjadinya tsunami dengan ketinggian sekitar 20 meter, dalam waktu 20 menit gelombang tiba di pantai sejak terjadinya gempa. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Widjo Kongko (2018), Ron Harris (2017 - 2019), dan yang terakhir oleh tim lintas lembaga yang dipimpin oleh ITB dan didukung oleh BMKG," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Jadi Sistem Peringatan Dini yang dibangun di BMKG memang disiapkan untuk memonitor dan mengantisipasi kejadian gempa bumi (termasuk gempa bumi megathrust) dengan magnitudo dapat mencapai lebih dari Mw 9, dan memberikan Peringatan Dini potensi datangnya gelombang tsunami.

Dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah kejadian gempa bumi, Sistem Monitoring dan Peringatan Dini tersebut yang dioperasikan dengan Internet of Things (IoT) dan diperkuat oleh super komputer dan Artificial Intelligent (AI), secara otomatis dapat menyebarluaskan informasi peringatan dini tsunami ke masyarakat di daerah rawan gempabumi dan tsunami, melalui BNPB, BPBD, mass media, ataupun beberapa moda diseminasi (sms, email, website, sosial media).

"Dengan penyebarluasan peringatan dini tsunami tersebut maka masih tersisa waktu kurang lebih 15 sampai 17 menit untuk proses evakuasi, apabila waktu datangnya tsunami diperkirakan dalam waktu 20 menit," tegasnya.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro sampai harus ikut menjelaskannnya. Ia mengatakan gempa belum bisa diprediksi di awal, sehingga riset yang dilakukan dapat membuat lebih waspada dan menyiapkan langka antisipatif. Kehadiran riset seperti itu menurutnya juga bukan untuk menakuti masyarakat atau menimbulkan kepanikan, melainkan meningkatkan kewaspadaan di kalangan masyarakat dan mengedepankan usaha mitigasi.

"Juga meredam dampak dari bencana yang barangkali bisa terjadi. Riset yang dilakukan Prof. Widyantoro bukan memprediksi dan menimbulkan kepanikan berlebihan. Tapi kita harus antisipatif, siap siaga dan mitigasi secara maksimal, karena kita ada di ring of fire dan rentan dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi," kata Bambang, Rabu (30/09/3030).

Adanya bencana bisa menimbulkan kerentanan ekonomi dan kerentanan di lingkungan hidup. Untuk melakukan mitigasi bencana, harus ada informasi dan pengetahuan dari semua sejarah yang dapat diketahui.

"Ratusan tahun yang lalu di satu tempat pernah terjadi gempa tsunami, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan tidak ada dasar daerah tertentu tidak ada gempa," katanya.

Bambang mencontohkan penelitian tentang sesar, banyak yang ada di Indonesia dan harus dicek masih aktif atau tidak serta bagaimana dampaknya harus dipelajari sedetail mungkin. Jika terlalu menganggap enteng malahan akan berakibat fatal ketika terjadi bencana.

"Terutama di daerah yang pernah terjadi gempa atau tsunami. Misalnya di pinggir pantai Aceh, atau Palu, maka seharusnya mitigasi bencana berikutnya agar tidak ada yg bermukim di daerah rawan tersebut," jelas Bambang.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman Tsunami Besar RI: Kota-kota Ini Berpeluang Terkena

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular