Tsunami Jawa 20 Meter, BMKG Ingatkan Risiko Rumah di Pantai

Jakarta, CNBC Indonesia- Pulau Jawa dan sejumlah wilayah lain berpotensi diterjang tsunami besar yang dipicu oleh gempa bumi tektonik di zona megathrust. Sejak tahun 2000 sudah ada enam kali tsunami yang terjadi dan memakan ribuan korban Jiwa di Indonesia.
Jika gempa sebesar ini sampai terjadi di daerah dengan pemukiman padat dan kegiatan ekonomi yang tinggi, maka diperkirakan akan menimbulkan kerugian yang besar.
Kabid Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan potensi kerugian terhadap bencana itulah yang harus diwaspadai dan pentingnya menata ruang pantai. Dia mengatakan masyarakat yang berada di pantai rawan tsunami sebaiknya tidak membangun pemukiman atau tempat usaha yang terlalu dekat dengan pantai.
Harus ada ruang atau penyangga sehingga jika terjadi tsunami, ada penahan dan tidak langsung menyapu pemukiman yang terlalu dekat dengan pantai.
"Itu tata ruang yang harus kita wujudkan agar bisa aman dari tsunami," kata Daryono kepada CNBC Indonesia, Senin (28/09/2020).
BMKG mencatat ada beberapa kali tsunami di beberapa daerah sejak tahun 2000, yakni Tsunami Banggai 2000 (46 korban jiwa), Tsunami Aceh 2004 (230 ribu korban jiwa), Tsunami Nias 2005 (320 korban jiwa), Tsunami Pangandaran 2006 (668 korban jiwa), Tsunami Pagai 2010 (538 korban jiwa), dan Tsunami Palu 2018 (3.475 korban jiwa).
Dia mengakui cukup sulit mengenali tanda-tanda alam sebelum terjadi tsunami ataupun gempa bumi, meski ada beberapa gejala yang cukup konsisten. Beberapa tanda jika terjadi gempa besar megathrust itu biasanya diawali dengan gempa pendahuluan atau gempa pembuka, yang karakteristiknya kecil-kecil, mengklaster, terus menerus dan bisa muncul sebelum terjadi gempa besar.
"Ini bisa kita pantau dan diinformasikan kepada masyarakat, kemudian beberapa contoh lain juga peningkatan keaktifan ini bisa dipantau, dan sebarannya bisa dipetakan dan bisa diinformasikan," kata dia.
Daryono mengatakan riset terbaru ini cukup komprehensif karena melibatkan beberapa disiplin ilmu, jadi model yang dihadirkan lebih akurat untuk dijadikan rujukan mitigasi. Dia menegaskan para ahli menciptakan skenario model terburuk ini bukan untuk menakuti, melainkan untuk tujuan mitigasi.
"Tetapi sayangnya sebagian masyarakat menilai ini sebuah ancaman dalam waktu dekat ini yang menjadi missleading. Ini memang untuk mitigasi, acuan-acuan semacam ini sangat dibutuhkan, karena acuan upaya mitigasi lebih bagus ketika bisa menggambarkan sebuah skenario terburuk. Itu akan mendorong kita melakukan upaya lebih serius dan konkrit," kata dia.
Daryono menegaskan potensi tersebut ada dan nyata, namun kejadiannya tidak tahu kapan terjadinya. Ini yang membedakan kajian potensi dan prediksi.
"Ini adalah kajian potensi, jadi kita tidak tahu kapan terjadinya sehingga dalam ketidakpastian itu kita masih ada waktu untuk melakukan upaya mitigasi, yang konkret apakah itu edukasi, menata ruang pantai, deteksi dini, dan evakuasi mandiri dengan baik," ujarnya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman Tsunami Besar RI: Kota-kota Ini Berpeluang Terkena
