Begawan Energi RI Bicara Soal Kondisi Migas Hingga Investasi

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
29 September 2020 07:50
Subroto: Jaga Ketahanan Energi, RI Harus Dorong Pengembangan EBT  (CNBC Indonesia TV)
Foto: Subroto: Jaga Ketahanan Energi, RI Harus Dorong Pengembangan EBT (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pertambangan dan Energi ke-9 RI periode 1978-1988 Subroto mengatakan kondisi migas saat ini sangat jauh berbeda dengan tahun 1970-an. Bahkan, dia menyebut perbedaannya "bagai siang dan malam".

Subroto menuturkan pada 1970-an produksi minyak mencapai 1,7 juta barel per hari (bph). Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan produksi minyak saat ini yang hanya mencapai sekitar 700-an ribu bph. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat produksi minyak semakin anjlok.



"Perbedaannya adalah seperti siang dan malam. Lebih-lebih lagi dengan adanya Covid-19, perbedaannya sangat besar. Tahun 70-an industri migas Indonesia masih produksi 1,7 juta barel per hari. Sekarang, produksinya jauh di bawah, hanya sekitar 700 ribu barel (per hari) saja," paparnya dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia, Senin (28/09/2020).

Perbedaan kedua adalah pada 1970-an sumber daya fosil masih menjadi sumber energi utama. Sementara saat ini muncul sumber energi baru dan terbarukan dan munculnya aspek negatif dari pengembangan dan pemanfaatan hidrokarbon.

"Sekarang adanya renewable energy dan timbulnya aspek negatif hidrokarbon, maka peranan industri migas sangat menurun, terutama karena adanya kesepakatan di Paris di mana ada hubungan antara energi dengan climate change (perubahan iklim)," jelasnya.



Perbedaan ketiga, lanjutnya, yaitu adanya transisi dari fosil ke energi baru terbarukan, di mana transisi ini butuh waktu, pikiran dan ongkos. Oleh karena itu, menurutnya dalam suasana seperti saat ini maka perlu adanya gotong royong dari berbagai pihak untuk mendukung sektor energi di Tanah Air.

"Kita harus gotong royong untuk bisa menyediakan energi yang cukup untuk nantinya bisa menjadi negara maju. Kita harus gotong royong. Masyarakat juga harus ikut memikirkan masalah energi dan pemerintah tidak terlalu menolak kalau ada pikiran-pikiran dari masyarakat. Kita harus bersama-sama untuk bisa menjadi Indonesia maju pada 2050," jelasnya.

Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak nasional hingga 31 Agustus 2020 mencapai 706,9 ribu barel per hari (bph), sedikit lebih tinggi dari target yang direvisi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBNP) 2020 sebesar 705 ribu bph.

Sedangkan untuk realisasi salur gas hingga Agustus 2020, SKK Migas mencatat salur gas sebesar 5.516 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 99,3 persen dari target APBN-P yakni 5.556 MMSCFD.

Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi, pemerintah pada awalnya menargetkan lifting minyak dalam APBN 2020 sebesar 755 ribu bph dan lifting gas sebesar 6.670 MMSCFD.

Investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) RI dinilai masih kurang menarik investor. Ditambah lagi dengan kabar adanya perusahaan migas asing berencana hengkang dari negeri ini, maka akan semakin berdampak negatif bagi ikim investasi hulu migas di Tanah Air.

Melihat kondisi ini Subroto menyarankan pemerintah perlu pandai dalam memahami fenomena yang terjadi, dan kenapa investor berangsur-angsur meninggalkan Indonesia. Untuk itu, dia pun tak segan memberikan sejumlah masukan bagi pemerintah.

Pemerintah perlu memperhatikan bagaimana menjaga kepastian kontrak (sanctity of contract). Kepastian kontrak ini menurutnya tercermin dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Kepastian kontrak ini diperlukan, apalagi investor asing pasti akan membandingkan peraturan dan kemudahan berinvestasi antara negara satu dan negara lainnya.

"Tentunya investor tidak hanya di Indonesia, mereka ada di Brazil, Mexico, Vietnam, dan lainnya. Mengapa mereka ke sana? Barangkali peraturan di sana lebih menarik," jelasnya.

Selain itu, yang perlu diperhatikan juga yaitu terkait tingkat pengembalian modal investor atau Internal Rate of Return (IRR) dan juga persentase bagi hasil yang diberikan. Misalnya skema bagi hasil 85:15 - di mana 85% dari produksi tersebut merupakan bagi hasil untuk pemerintah sedangkan 15% merupakan hak dari kontraktor.

Masih dinilai kurang menarik, khususnya di daerah offshore (lepas pantai) yang kondisinya sulit, maka pemerintah perlu mengkaji ulang dan mau mempertimbangkan perubahan persentase bagi hasil tersebut, seperti persentase bagi hasil berubah menjadi 75:15 atau lainnya.

Hal semacam ini menurutnya perlu dilakukan agar investor tidak angkat kaki dari Indonesia.

"Kalau itu masih kurang (bagi investor), boleh kita pikirkan lagi agar bagaimana caranya mereka tetap di Indonesia. Masalahnya, investasi ini tidak hanya berperan dari sisi finansial, tapi besar sekali bagi perekonomian Indonesia. Untuk itu, kita harus open minded dalam berdiskusi dengan mereka," ungkapnya.

Seperti diketahui, pemerintah telah memberikan fleksibilitas dalam pemilihan jenis kontrak bagi investor di hulu migas, yakni investor bebas memilih antara skema Gross Split atau Cost Recovery.

Menurut Subroto kontrak bagi hasil dengan skema Cost Recovery banyak ditiru dan digunakan negara lain seperti di Brazil dan Mexico. Mereka berlomba-lomba menarik investor dengan skema Cost Recovery ini. Subroto mengapresiasi langkah pemerintah membebaskan investor dalam memilih skema kontrak yang cocok.

"Dalam hal ini kebijaksanaan pemerintah untuk tidak menentukan investor baru harus Gross Split, tapi diserahkan ke investor mau pilih mana. Saran saya, jangan bersikeras menganggap pendapat kita paling benar sendiri," jelasnya

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular