Jika Hidup Normal di 2022, Tahun Depan Masih Seperti Ini Kah?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 September 2020 17:30
Pelayanan Pasien OTG di Hotel Yasmin
Foto: Pelayanan Pasien OTG di Hotel Yasmin (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lima bulan sudah masyarakat dalam negeri harus terkekang dengan aturan pakai masker hingga jaga jarak dengan orang lain. Pandemi Covid-19 membuat umat manusia seolah keluar dari fitrahnya sebagai makhluk sosial.

Mau bagaimana lagi, jika masyarakat memaksa untuk hidup seperti dalam keadaan normal maka artinya umat manusia memberikan ruang bagi musuhnya yaitu virus corona untuk terus berkembang. Konsekuensinya adalah semakin banyak orang yang sakit dan tumbang.

Namun mau sampai kapan manusia harus bercerai dengan kehidupan sosialnya seperti sekarang ini dan hidup penuh dengan kemerdekaan? Bisa menghirup udara segar tanpa masker, bisa berjabat tangan bahkan berpelukan, kapan semua itu akan terjadi?

Untuk hal ini tampaknya populasi umat manusia di dunia harus extra sabar, tak terkecuali bagi warga +62. Berdasarkan dokumen milik pemerintah yang diterima CNBC Indonesia, Covid-19 diperkirakan selesai akhir 2021. Artinya hidup normal baru bisa terjadi di tahun 2022.

Kalaupun misalnya kita tetapkan 1 Januari 2022 sebagai hari kemerdekaan dari Covid-19 di Tanah Air, masih ada 458 hari atau 11.016 jam lagi menuju tanggal keramat tersebut.

Hal yang perlu dicatat juga ini baru prediksi lho ya! Prediksi tentu saja bisa benar dan juga melenceng dari realita. Lantas jika mengacu pada asumsi tersebut, apa yang akan terjadi di tahun 2021?

Ini menjadi pertanyaan menarik. Kalender 2020 akan gugur dalam 94 hari lagi dan tahun penuh dengan kekelaman ini akan berakhir. Tinggal 1 kuartal terakhir kita akan menyambut gerbang tahun 2021.

Soal peruntukan untuk tahun depan banyak ramalan yang mengatakan ekonomi akan RI akan bangkit. Salah satu pemicunya adalah keyakinan konsumen yang membaik serta mulai didistribusikannya vaksin.

Berbagai institusi riset kenamaan dunia meramal ekonomi global bakal rebound tinggi. RI pun tak ketinggalan mendapat ramalan apik tersebut. Tahun depan output perekonomian RI diproyeksikan bakal tumbuh di atas 5%. 

Eits tapi jangan terlalu berbangga hati dulu, proyeksi yang tinggi tersebut juga tak terlepas dari dampak anjloknya perekonomian tahun ini yang sangat signifikan (low base effect).

Apabila memblejeti faktor penunjang bangkitnya perekonomian seperti optimisme konsumen dan sektor bisnis, ini semua tentu akan bergantung dari perkembangan pandemi Covid-19 itu sendiri di dalam negeri.

Sudah hampir satu semester dilanda wabah, kasus positif di dalam negeri masih saja terus cetak rekor. Jumlah kasus baru positif Covid-19 di dalam negeri pada 25 September lalu bahkan sempat mencapai 4.800-an. Ini rekor tertinggi yang pernah tercatat. 

Kemarin kasus positif Covid-19 bertambah 3.874 dan total kasus kumulatif di dalam negeri menyentuh angka 275.213. Indonesia kini menduduki peringkat ke-23 klasemen Covid-19 global di bawah Filipina, Jerman tetapi di atas Israel.

Lonjakan kasus yang signifikan di RI tersebut tak terlepas dari kenaikan jumlah sampel yang diuji menggunakan tes PCR dari spesimen hidung (nasofaring) dan tenggorokan (orofaring). Namun kenaikan yang tinggi juga tak hanya disebabkan kapasitas testing yang makin masif.

Memang ada peningkatan, kini sehari RI bisa menguji 20 ribu hingga 30 ribu orang per hari. Namun jika dibandingkan dengan populasi masyarakat yang jumlahnya mencapai hampir 269 juta jiwa, angka ini jelas sangatlah kecil.

Belum lagi jika melihat bagaimana contact tracing dilakukan masih terkesan separo-separo. Bagaimana tidak, di RI tidak semua orang yang positif Covid-19 dilacak secara komprehensif sudah pernah berinteraksi dengan siapa saja.

Bahkan cluster Covid-19 terbanyak yang muncul di rumah sakit sampai 24.000 kasus lebih juga dihitung berdasarkan inisiatif masyarakat sendiri yang melakukan tes. Ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di negara-negara lain. 

Di Taiwan misalnya, setiap satu kasus positif Covid-19 dilaporkan 15-20 orang yang pernah kontak dengan penderita langsung ditelusuri dan dilacak. Di Negeri Ratu Elizabeth, untuk satu kasus positif Covid-19 jumlah orang yang ditracing mencapai 4-5 orang. 

Hal ini membuat contact tracing di Indonesia mendapatkan penilaian buruk dari Oxford University. Angka contact tracing index RI berada di posisi 1 masih lebih rendah dari median negara-negara lain yang berada di angka 2.

Parahnya lagi, masyarakat yang seharunya menghindari kerumunan dan menjaga jarak justru semakin kendor dan lepas kontrol. Sejak PSBB transisi diterapkan di DKI Jakarta Juni lalu, mobilitas mengalami perbaikan tetapi juga diikuti dengan penurunan tingkat social distancing-nya.

Riset Citi menjadi cerminan bahwa masyarakat mulai tak mengindahkan imbauan untuk jaga jarak. Skor social distancing index Tanah Air semakin mendekati nol yang mengindikasikan satu orang dengan orang lainnya semakin tak berjarak.

Apabila 3M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun) dan  3T (testing, tracing & treatment) terus saja kendor, maka jangan kaget jika kasus Covid-19 di dalam negeri masih akan terus cetak rekor. 

Jangan berharap tahun 2021 puncak wabah sudah berhasil dilewati, boro-boro dilewati didaki saja belum tentu sampai. Bahkan meskipun vaksin sudah ditemukan kondisi ini tetap menjadi ancaman yang perlu dicemaskan.

RI boleh saja bekerja sama dengan perusahaan pengembang vaksin China paling progresif yaitu Sinovac yang kabarnya siap untuk distribusikan vaksin awal tahun 2021. Toh kalaupun RI sudah kedapatan 'jatah' mewujudkan vaksinasi masal bukan hal yang mudah.

Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan jika ingin upaya vaksinasi bisa menurunkan penyebaran pandemi. Pertama adalah skala dari wabah. Jika wabah menyebar dengan cepat dan terus meluas maka pengendalian dengan vaksin pun akan menjadi kurang efektif. Untuk tahu berapa banyak populasi yang terinfeksi butuh tes yang masif dan sensitif apalagi fenomena orang tanpa gejala banyak dijumpai.

Faktor kedua adalah seberapa ampuh (efficacy) vaksin yang akan disuntikkan. WHO merekomendasikan bahwa vaksin Covid-19 harus mampu menurunkan risiko keparahan penyakit setidaknya sampai 50% dengan tingkat kepercayaan 95% dan efficacy-nya 30%.

Jika keampuhan vaksin berada di bawah angka tersebut maka efektivitasnya untuk menekan pandemi akan lebih rendah. Toh saat ini kita juga harus bersabar menunggu hasil uji klinis tahap ketiga rilis untuk menentukan apakah vaksin bakal aman dan ampuh atau tidak.

Faktor ketiga adalah jumlah populasi yang divaksinasi. Pemerintah berencana ingin memvaksinasi 170 juta orang di Indonesia atau setara dengan 63% dari total populasi. Artinya RI membutuhkan 340 juta dosis vaksin dengan asumsi satu orang dua kali suntik.

Dalam sehari pemerintah harus mampu melakukan vaksinasi kepada 466 ribu orang dalam sehari. Wah ini jelas PR yang susah sekali tentunya mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. 

Tak usahlah 170 juta orang, vaksinasi terhadap 25 juta orang yang berisiko tinggi (pekerja kesehatan dan komorbid) saja masih membutuhkan vaksinasi terhadap 68 ribu orang dalam sehari. Angka ini nyaris 3 kali lipat dari kapasitas tes yang ada saat ini.

Well, kalaupun tahun 2021 vaksin ditemukan dan mulai disuntikkan tetap saja ini hanya menjadi salah satu tools dari respon terhadap pandemi saja, bukan solusi pamungkas. Pada akhirnya kita memang harus tetap bersiap dengan kehidupan yang penuh bahaya bahkan di tahun depan. 



TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular