Jika Hidup Normal di 2022, Tahun Depan Masih Seperti Ini Kah?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 September 2020 17:30
Rusun Rorotan. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Rusun Rorotan. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Lonjakan kasus yang signifikan di RI tersebut tak terlepas dari kenaikan jumlah sampel yang diuji menggunakan tes PCR dari spesimen hidung (nasofaring) dan tenggorokan (orofaring). Namun kenaikan yang tinggi juga tak hanya disebabkan kapasitas testing yang makin masif.

Memang ada peningkatan, kini sehari RI bisa menguji 20 ribu hingga 30 ribu orang per hari. Namun jika dibandingkan dengan populasi masyarakat yang jumlahnya mencapai hampir 269 juta jiwa, angka ini jelas sangatlah kecil.

Belum lagi jika melihat bagaimana contact tracing dilakukan masih terkesan separo-separo. Bagaimana tidak, di RI tidak semua orang yang positif Covid-19 dilacak secara komprehensif sudah pernah berinteraksi dengan siapa saja.

Bahkan cluster Covid-19 terbanyak yang muncul di rumah sakit sampai 24.000 kasus lebih juga dihitung berdasarkan inisiatif masyarakat sendiri yang melakukan tes. Ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di negara-negara lain. 

Di Taiwan misalnya, setiap satu kasus positif Covid-19 dilaporkan 15-20 orang yang pernah kontak dengan penderita langsung ditelusuri dan dilacak. Di Negeri Ratu Elizabeth, untuk satu kasus positif Covid-19 jumlah orang yang ditracing mencapai 4-5 orang. 

Hal ini membuat contact tracing di Indonesia mendapatkan penilaian buruk dari Oxford University. Angka contact tracing index RI berada di posisi 1 masih lebih rendah dari median negara-negara lain yang berada di angka 2.

Parahnya lagi, masyarakat yang seharunya menghindari kerumunan dan menjaga jarak justru semakin kendor dan lepas kontrol. Sejak PSBB transisi diterapkan di DKI Jakarta Juni lalu, mobilitas mengalami perbaikan tetapi juga diikuti dengan penurunan tingkat social distancing-nya.

Riset Citi menjadi cerminan bahwa masyarakat mulai tak mengindahkan imbauan untuk jaga jarak. Skor social distancing index Tanah Air semakin mendekati nol yang mengindikasikan satu orang dengan orang lainnya semakin tak berjarak.

Apabila 3M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun) dan  3T (testing, tracing & treatment) terus saja kendor, maka jangan kaget jika kasus Covid-19 di dalam negeri masih akan terus cetak rekor. 

Jangan berharap tahun 2021 puncak wabah sudah berhasil dilewati, boro-boro dilewati didaki saja belum tentu sampai. Bahkan meskipun vaksin sudah ditemukan kondisi ini tetap menjadi ancaman yang perlu dicemaskan.

RI boleh saja bekerja sama dengan perusahaan pengembang vaksin China paling progresif yaitu Sinovac yang kabarnya siap untuk distribusikan vaksin awal tahun 2021. Toh kalaupun RI sudah kedapatan 'jatah' mewujudkan vaksinasi masal bukan hal yang mudah.

Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan jika ingin upaya vaksinasi bisa menurunkan penyebaran pandemi. Pertama adalah skala dari wabah. Jika wabah menyebar dengan cepat dan terus meluas maka pengendalian dengan vaksin pun akan menjadi kurang efektif. Untuk tahu berapa banyak populasi yang terinfeksi butuh tes yang masif dan sensitif apalagi fenomena orang tanpa gejala banyak dijumpai.

Faktor kedua adalah seberapa ampuh (efficacy) vaksin yang akan disuntikkan. WHO merekomendasikan bahwa vaksin Covid-19 harus mampu menurunkan risiko keparahan penyakit setidaknya sampai 50% dengan tingkat kepercayaan 95% dan efficacy-nya 30%.

Jika keampuhan vaksin berada di bawah angka tersebut maka efektivitasnya untuk menekan pandemi akan lebih rendah. Toh saat ini kita juga harus bersabar menunggu hasil uji klinis tahap ketiga rilis untuk menentukan apakah vaksin bakal aman dan ampuh atau tidak.

Faktor ketiga adalah jumlah populasi yang divaksinasi. Pemerintah berencana ingin memvaksinasi 170 juta orang di Indonesia atau setara dengan 63% dari total populasi. Artinya RI membutuhkan 340 juta dosis vaksin dengan asumsi satu orang dua kali suntik.

Dalam sehari pemerintah harus mampu melakukan vaksinasi kepada 466 ribu orang dalam sehari. Wah ini jelas PR yang susah sekali tentunya mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. 

Tak usahlah 170 juta orang, vaksinasi terhadap 25 juta orang yang berisiko tinggi (pekerja kesehatan dan komorbid) saja masih membutuhkan vaksinasi terhadap 68 ribu orang dalam sehari. Angka ini nyaris 3 kali lipat dari kapasitas tes yang ada saat ini.

Well, kalaupun tahun 2021 vaksin ditemukan dan mulai disuntikkan tetap saja ini hanya menjadi salah satu tools dari respon terhadap pandemi saja, bukan solusi pamungkas. Pada akhirnya kita memang harus tetap bersiap dengan kehidupan yang penuh bahaya bahkan di tahun depan. 



TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/dru)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular