
Sederet Ramalan Ngeri & Fakta-Fakta RI Jatuh ke Jurang Resesi

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah jatuh tertimpa tangga! Kurang lebih begitulah kondisi yang dialami RI saat ini. Pandemi Covid-19 tak kunjung mereda (bahkan terus menanjak), resesi pun harus dialami.
Ramalan soal kontraksi ekonomi sepanjang 2020 yang menyeret Indonesia ke jurang resesi sejatinya tidak datang dari luar negeri saja, tetapi prediksi tersebut juga diperkuat oleh perkiraan pemerintah sendiri.
Juni lalu saat Bank Dunia merilis laporannya yang bertajuk Global Economic Prospect, lembaga keuangan yang bermarkas di Washington DC itu meramal output perekonomian RI meningkat nol persen alias tak tumbuh.
Di saat yang sama lembaga keuangan lain yang juga bentukan perjanjian Bretton Wood 1944 silam yaitu IMF bahkan meramal ekonomi RI terkontraksi 0,3%. Hal yang perlu dicatat adalah itu proyeksi Juni ya.
Memang seiring dengan pelonggaran PSBB di bulan Juni dan mobilitas publik mulai teramati kembali geliat aktivitas ekonomi mulai tampak. Sayang seribu sayang roda perekonomian belum benar-benar pulih ke level pra-pandemi.
Pelonggaran PSBB pun harus diikuti dengan lonjakan kasus Covid-19 di berbagai daerah terutama di Jakarta sebagai episentrumnya. Kasus infeksi Covid-19 kumulatif di dalam negeri sudah mencapai lebih dari 250 ribu orang.
Tiap harinya ada tambahan kasus baru yang sangat signifikan. Bahkan saat ini seolah RI sudah berkawan dengan Covid-19 jika melihat angka pertambahan kasus per harinya mulai terbiasa di angka 4.000 kasus.
Wabah yang terus menjangkiti RI membuat organisasi negara-negara maju (OECD) memberikan ramalan yang sangat buruk untuk perekonomian domestik. Baru-baru ini laporan yang berjudul Living with Uncertainty itu meramal PDB Tanah Air bakal menyusut 3,3% tahun ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ramalan Sri Mulyani sampai Airlangga Hartarto (NEXT)
Kali ini tak ada pihak lagi yang bisa menyangkal bahwa Indonesia akan jatuh ke dalam resesi. Ini adalah kali pertama RI terjerembab dalam jurang resesi pasca krisis moneter tahun 1998 silam.
Dua anggota kabinet pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga meramal ekonomi Indonesia minus tahun ini.
Dalam pemaparannya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan pada kuartal ketiga PDB RI diperkirakan bakal minus 1% sampai 2,9%. Bahkan konraksi bisa berlanjut ke kuartal keempat.
"Negative teritory (PDB) pada kuartal III dan mungkin akan berlangsung sampai kuartal IV. Namun kita akan usahakan mendekati nol," kata Sri Mulyani. Untuk satu tahun penuh, Sri Mulyani memproyeksi PDB Tanah Air menyusut 0,6% - 1,7%.
Senada dengan Menteri Keuangan, Airlangga Hartarto juga meramalkan ekonomi RI bakal minus tahun ini. Namun ramalannya jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan yang disampaikan Menteri Keuangan.
Menurutnya, tekanan akibat pandemi Covid-19 masih akan terasa di kuartal III ini, meski tidak sedalam kuartal II lalu. Di mana pada kuartal II-2020 perekonomian Indonesia anjlok hingga minus 5,32%.
"Range pertumbuhan ekonomi di kuartal III -3% sampai -1%," ujarnya dalam webinar virtual, Rabu (23/9/2020).
Upaya menyelamatkan perekonomian RI dari resesi melalui pemberian stimulus fiskal dengan adanya relaksasi pajak, bantuan sosial, alokasi anggaran ke sektor kesehatan masyarakat pun tak bisa menahan tekanan kuat pandemi yang berujung pada kejatuhan ekonomi domestik.
Padahal anggaran untuk penanganan Covid-19 dan stimulus fiskal terus diupgrade dari April yang hanya Rp 405,1 triliun menjadi Rp 641 triliun pada Mei tetap saja tak mampu menghindarkan RI dari resesi.
Pun dari sisi moneter BI telah memangkas suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini disertai dengan quantitative easing (QE) plus skema burden sharing dengan pemerintah yang nominalnya mencapai Rp 662,1 triliun sampai 15 September 2020 tetap saja tak ada harapan.
Mau bagaimana lagi, virus yang ganas dan terus menginfeksi banyak orang di dalam negeri telah membuat sentimen masyarakat dan dunia usaha memburuk. Sebagai negara dengan ukuran populasi 269 juta jiwa, konsumsi merupakan tulang punggung perekonomian RI.
Hanya saja tulang punggung penopang ini keropos. BPS melaporkan saat pandemi Covid-19 merebak pendapatan 4 dari 10 orang Indonesia berkurang.
Pendapatan yang berkurang tentu membuat daya beli tergerus. Artinya ada tekanan dari sisi demand. Hal ini tercermin dari indikator inflasi yang rendah dan bahkan deflasi dua bulan beruntun pada Juli dan Agustus.
Indikator inflasi inti yang mencerminkan willingess konsumen untuk spending juga terus melambat (disinflasi). Sebelum pandemi merebak inflasi inti Indonesia berada di angka mendekati 3%. Namun kini susut dan hanya berada di angka 2,03% pada Agustus lalu.
Ketidakpastian seputar kapan wabah akan berakhir juga memberatkan para pelaku dunia usaha. Mengutip dokumen Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 82,85% dari responden yang berjumlah 34.559 unit usaha mengaku mengalami penurunan pendapatan.
Menghadapi penurunan pendapatan yang entah sampai kapan, 'napas' dunia usaha semakin tipis. Sekitar 19% pelaku usaha memperkirakan mereka hanya bisa bertahan maksimal hingga tiga bulan ke depan.
Satu lagi yang perlu diperhatikan, lebih dari 45% pengusaha belum memikirkan rencana ekspansi selepas pandemi virus corona berakhir. Mau bagaimana lagi, lebih baik berpikir bertahan hidup dulu, tidak usah macam-macam.
Indonesia memang tidak menerapkan lockdown ketat seperti negara lain. Namun ada yang namanya PSBB. Kebijakan ini mulai marak diimplementasikan saat Covid-19 awal-awal merebak pada April lalu di berbagai tempat terutama DKI Jakarta.
Saat PSBB diterapkan banyak perkantoran dan pabrik tutup. Fenomena yang terjadi secara global juga melanda Indonesia. Banyak PHK terjadi di mana-mana. Akibat Covid-19, Bappenas memperkirakan angka pengangguran mencapai 10,7 juta - 12,7 juta orang pada 2021.
Padahal berdasarkan Sakernas bulan Februari lalu tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di angka 6,88 juta. Kondisi yang memprihatinkan terkait perekonomian Indonesia juga tercermin dari beberapa survei Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut survei sosial demografi lembaga statistik Indonesia itu, 4 dari 10 orang Indonesia mengalami penurunan pendapatan saat pandemi terjadi. Sementara survei terhadap lebih dari 30 ribu pelaku usaha menunjukkan 19% dari pengusaha hanya kuat bertahan tiga bulan saja sejak survei dilakukan di bulan Juli.
Angka pengangguran yang tinggi membuat banyak masyarakat RI menjadi terancam miskin. Angka kemisikinan di Indonesia akibat Covid-19 juga disorot oleh para peneliti dari King's College London dan Universitas Nasional Australia bersama dengan negara lain seperti India, Pakistan dan Filipina.
Soal kemiskinan, institusi riset kenamaan Tanah Air, SMERU memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia akibat Covid-19 bakal bertambah sebanyak 1,3 juta orang di akhir 2020.
Hal tersebut akan menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia yang pada September tahun lalu berada di angka 9,22% menjadi 9,7%. Dalam skenario yang paling buruk jumlah penduduk miskin akan bertambah sebanyak 8,5 juta jiwa dan tingkat kemiskinan RI melonjak ke level dobel digit di 12,4% menjadi level tertinggi dalam lebih dari 10 tahun terakhir.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Dampak Riil Resesi Bagi RI: Pengangguran & Kemiskinan Melesat
