Konsumsi Listrik Turun, Kapasitas Pembangkit Nambah 1,2 GW

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
23 September 2020 17:32
PLTU Tanjung Jati B yang merupakan salah satu pembangkit yang paling diandalkan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik sistem interkoneksi Jawa-Bali.

PLTU Tanjung Jati B memegang peran sentral dalam sistem interkoneksi Jawa-Bali


Hingga triwulan III 2019, PLTU dengan kapasitas 4 x 710 MW ini memiliki kesiapan produksi listrik (Equivalent Availability Factor – EAF) hingga 93,6% selama setahun.

Sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2006 PLTU Tanjung Jati B menjadi tulang punggung kelistrikan Jawa-Bali. 

PLTU Tanjung Jati B berkontribusi 12% atau  setara dengan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga

Keberadaan pembangkit ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi  kontinyuitas suplai listrik, namun juga turut membantu pemerintah dalam penghematan APBN.


Secara produksi listrik PLTU Tanjung Jati B mampu berkontribusi sebesar 12% atau setara denagan kebutuhan listrik sekitar 5 juta pelanggan rumah tangga.  (CNBC Indonesia/Peti)
Foto: PLTU Tanjung Jati B di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. (CNBC Indonesia/Peti)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan hingga Juni 2020 kapasitas pembangkit listrik naik sebesar 1,2 giga watt (GW) dari akhir 2019. Dengan demikian, total kapasitas pembangkit listrik sampai Juni 2020 menjadi 71 GW.

Dari total kapasitas 71 GW tersebut, kapasitas pembangkit listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT) yang terpasang hanya sebesar 10,43 GW.

Dengan kondisi konsumsi listrik yang masih rendah, kondisi sistem tenaga listrik wilayah pengusahaan PT PLN (Persero) per 13 September 2020 dinilai aman untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hanya di Manokwari dan Flores Barat menurutnya dalam kondisi siaga.

Meski kapasitas pembangkit listrik dari sumber EBT masih rendah, namun menurut Arifin mulai 2018 sampai dengan Juni 2020 pemerintah mulai fokus pada pengembangan EBT, seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Dari sisi pembangkit listrik berbasis batu bara, menurutnya pihaknya juga berupaya mendorong peningkatan pemanfaatan teknologi batu bara bersih pada PLTU.

"Total penambahan kapasitas terpasang pada Juni 2020 mengalami peningkatan 1,20 GW dibandingkan akhir 2019, sehingga kapasitas pembangkit hingga Juni 2020 menjadi 71 GW dan kapasitas pembangkit EBT 10,43 GW," ujarnya dalam diskusi daring, FORTEI, ICP-PEP 2020, Rabu (23/09/2020).

Lebih lanjut Arifin menyampaikan kemajuan proyek pembangkit listrik 35.000 mega watt (MW). Sampai dengan Agustus 2020, menurutnya penyelesaian pembangkit mencapai 8.400 MW, naik 1.484 MW dari 6.916 MW pada akhir 2019.

Sementara yang masih tahap konstruksi terdapat 19.000 MW atau 54%. Lalu yang telah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) sebesar 6.500 MW, sisanya pengadaan 839 MW dan perencanaan 724 MW.

"Diharapkan pada tahun 2028-2029 seluruh program 35.000 MW bisa diselesaikan," ungkapnya.

Tambahan 1.484 MW tersebut menurutnya karena selesainya tahap konstruksi proyek PLTGU Muara Karang 341,3 MW, PLTU Kaltim Unit 2 100 MW, PLTU Kaltim 4 2 x 100 MW, PLTU Bengkulu 100 MW dan PLTGU Grati Add On Blok 2.195,3 MW.

Menurutnya, proyek-proyek pembangkit yang sudah menandatangani PPA namun belum konstruksi saat ini masih dalam proses pemenuhan persyaratan pendanaan. Pemerintah lewat Kementerian ESDM terus mendorong agar program 35.000 MW rampung.

Sementara itu rencana penambahan pembangkit EBT pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 direncanakan akan ada penambahan pembangkit sebesar 16,7 GW. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan EBT, imbuhnya, harga EBT masih cukup tinggi dibandingkan pembangkit konvensional yakni PLTU batu bara.

Pembangkit EBT yang bersifat intermittent seperti PLTS dan PLTB menurutnya harus memperhatikan kesiapan sistem untuk dapat menerima masuknya pembangkit tersebut seperti memerlukan adanya pembangkit pendamping di sistem, yang berfungsi sebagai cadangan putar/ spinning reserve untuk menjaga kontinuitas pasokan tenaga listrik.

Pembangkit EBT yang berbiaya rendah dan faktor kapasitasnya (capacity factor) bagus seperti PLTA atau PLTMH umumnya terletak di daerah konservasi yang jauh dari pusat beban, sehingga membutuhkan waktu relatif lama dalam pembangunan akibat kendala perizinan, kendala geografis, dan keadaan kahar (longsor).

"Untuk pengembangan pembangkit biomassa maupun biogas memerlukan jaminan pasokan feedstock selama masa operasinya," imbuhnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lebih dari 50% Pembangkit Listrik RI Diklaim Bukan Punya PLN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular