Covid-19 RI Selesai 2021 & Hidup Normal 2022, Realitanya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
23 September 2020 16:02
Petugas gabungan melakukan oprasi yustisi 2020 pencegahan Covid-19 dikawasan Kota Tua, Jakarta. Oprasi ini menuju angkutan umum yang penumpangnya melebihi 50 persen kapasitas angkutan, Senin (21/9/2020). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Stadion Patriot Chandrabhaga di Bekasi dialihfungsikan sebagai tempat perawatan sekaligus isolasi pasien yang terpapar Covid-19. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah dokumen pemerintah menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 diperkirakan selesai akhir tahun depan dan pada 2022 kehidupan normal dapat kembali lagi. 

Dokumen tersebut memang digunakan sebagai kerangka acuan untuk membuat rencana jangka menegah dan panjang transformasi ekonomi Indonesia. Kerangka dan strategi ke depan memang harus dipersiapkan. Namun jangan lupa fokus mengentaskan masalah yang ada saat ini.

Membasmi wabah Covid-19 di Tanah Air harus menjadi prioritas utama saat ini. Kenaikan kasus yang terus menerus terjadi dan gelombang pertama yang tak kunjung usai menuai pandangan dan sentimen buruk dari publik global terhadap Indonesia.

Sampai dengan kemarin, jumlah penderita Covid-19 di dalam negeri mencapai 252.923 orang. Korban meninggal akibat penyakit menular ini tercatat mencapai 9.873 orang. Jumlah orang yang sembuh mencapai 184.298 orang. Dengan begitu kasus aktifnya ada di angka 58.788 orang.

Jika tragedi kemanusiaan ini ingin selesai maka hal yang harus dilakukan adalah membuat kurvanya melandai (flattening the curve). Jumlah yang meninggal dan terinfeksi semakin sedikit dan yang sembuh bertambah banyak.

Namun nyatanya pertambahan jumlah kasus di Tanah Air masih terus menanjak. Belakangan, pertambahan jumlah kasus baru di dalam negeri seolah nyaman berada di angka 4.000 kasus per hari. Ini merupakan rekor tambahan kasus harian tertinggi sejak wabah pertama kali merebak.

Jumlah orang yang berada di bawah pantauan medis pun menurut data Kementerian Kesehatan RI terus bertambah. Kemarin jumlah orang yang berada dalam pengawasan mencapai 1,74 juta orang.

Pada dasarnya RI sudah punya kerangka kerja penanganan Covid-19 melalui Testing, Tracing & Treatment (3T) lho! Namun mengapa jumlah kasus masih terus bertambah dan kurva tak kunjung melandai? Apakah program tersebut tidak jalan?

Jalan sih, hanya saja implementasinya masih jauh dari kata optimal!

HALAMAN SELANJUTNYA >> Tracing dan Testing Jalan.. Tapi...

Mari ulas satu per satu! Untuk menentukan tindakan penanganan wabah, maka hal yang pertama harus dilakukan adalah mengetahui seberapa banyak orang yang terjangkit wabah. Untuk mendapatkan jawabannya tentu harus dilakukan tes atau uji Covid-19.

Mengutip data Worldometer, Indonesia sudah melakukan pengujian terhadap 2.994.069 spesimen per 22 September. Dengan populasi yang lebih dari 274 juta orang, maka jumlah tes per 1 juta penduduk adalah 10.920.

Di antara 10 negara berpenduduk terbanyak dunia, jumlah tes per 1 juta orang di Indonesia adalah yang kedua terendah. Indonesia hanya unggul dari Nigeria. Padahal di antara negara-negara tersebut ada yang berpendapatan menengah-bawah yang notabene di bawah Indonesia. Sebut saja India, Pakistan, dan Bangladesh.

Tes yang terlalu sedikit pada akhirnya hanya akan membuat validitas maupun tingkat kepercayaan terhadap data menjadi lemah. Padahal data penting untuk menentukan kebijakan.

Banyaknya fenomena orang tanpa gejala (OTG) di Indonesia membuat wabah ini mudah sekali tak terdeteksi dan menyebar luas ke berbagai wilayah. Bahkan tak jarang menciptakan cluster tertentu. 

Sampai saat ini DKI Jakarta masih menjadi episentrum wabah. Beberapa cluster yang terbentuk di ibu kota antara lain cluster komunitas, perkantoran bahkan rumah sakit. Mengacu pada data Satgas Covid-19, cluster rumah sakit menyumbang 24.000 kasus sendiri.

Ini pun gara-gara metode tracing yang terkesan malas. Bagaimana tidak? kasus tersebut dilaporkan ketika ada masyarakat yang dirawat di RS atau secara sukarela mendaftarkan diri untuk ikut tes. 

Padahal contact tracing merupakan metode penting dalam penanganan suatu wabah menular seperti Covid-19. Bukti buruknya pelaksanaan contact tracing di Tanah Air ini dibuktikan dalam riset Blavatnik School of Government University of Oxford.

Contact Tracing Index, yang digambarkan dengan skala 0-2. Nol berarti tidak ada upaya pelacakan kontak, satu berarti ada tetapi terbatas (tidak dilakukan terhadap seluruh kasus), dan dua berarti pelacakan kontak yang komprehensif (dilakukan terhadap seluruh kasus).

Skor Indonesia adalah satu, artinya ada pelacakan tetapi terbatas. Median skor negara-negara berpendapatan menengah-atas adalah dua. Lagi-lagi Indonesia masih di bawah itu.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Social Distancing Juga Buruk, Lho?

Berbicara contact tracing, sebenarnya RI bisa mencontoh negara-negara lain. Misal seperti Singapura dan juga Australia. Kedua negara tersebut sampai meluncurkan aplikasi untuk memonitor mobilitas dan interaksi orang-orang.

Kunci utamanya sebenarnya bukan terletak di membuat aplikasinya, tetapi adalah pendekatan contact tracing yang komprehensif dan juga terukur. Tanpa adanya pelacakan yang baik, maka upaya pertama yaitu testing menjadi kurang bermakna.

Selain testing dan tracing sebenarnya cara lain yang juga digunakan untuk flattening the curve adalah menegakkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker di ruang publik, menerapkan perilaku higienis seperti mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak aman.

Namun lagi-lagi implementasi social distancing di Tanah Air termasuk buruk!

Blavatnik School of Government University of Oxford mengembangkan penilaian bagaimana sebuah negara mengatasi wabah virus corona. Salah satu aspek yang dinilai adalah kesehatan yaitu Containment Health Index.

Indeks ini mengukur kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi dari sisi kesehatan, apakah itu dengan menerapkan pembatasan sosial (social distancing) yang ketat, melakukan tes massal, sampai investasi dalam pengembangan vaksin. Nilai indeks diperbarui secara harian, meski perubahannya tidak dinamis.

Per 22 September 2020, skor Containment Health Index Indonesia ada di 64,02 dari skala 1 sampai 100. Rata-rata nilai Containment Health Index di 41 negara berpendapatan menengah-atas adalah 64,59. Indonesia masih berada di bawah rata-rata itu.

Melihat realita di atas, jadi bisakah skenario Covid-19 berakhir 2021 dan hidup normal mulai 2022 bisa terjadi? Aduh! Mending berbenah dulu deh cara penanganan pandeminya!

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular