
Sri Mulyani Ramal Ekonomi RI Minus 1,76%, OECD Kontraksi 3,3%

Jakarta, CNBC Indonesia - Semakin ke sini berita RI resesi kian santer terdengar. Proyeksi ekonomi Indonesia minus tahun 2020 tidak hanya datang dari luar negeri saja, bahkan dari kalangan pemerintah pun mengamininya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ekonomi Tanah Air masih akan terkontraksi di kuartal ketiga dan empat. Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan untuk periode Juli-September PDB RI bisa minus 2,9% hingga minus 1%.
Jika pada kuartal ketiga output jatuh ke zona negatif lagi, maka Indonesia sah mengalami resesi. Secara full year Sri Mulyani memproyeksikan perekonomian Indonesia bakal berada di zona minus 1,7% hingga minus 0,6%.
Meski proyeksi yang dikeluarkan berbagai lembaga angkanya berbeda-beda, tetapi mayoritas sepakat bahwa ekonomi RI satu tahun penuh pada 2020 akan mengalami kontraksi.
Proyeksi paling baru dikeluarkan oleh organisasi negara-negara maju (OECD). Lembaga yang bermarkas di Paris itu meramal ekonomi RI bakal minus 3,3% tahun ini dan rebound dari kontraksi yang dalam tahun depan di angka 5,3%.
Jika dibandingkan dengan laporan Asian Development Bank (ADB), World Economic Outlook IMF Juni 2020 dan Global Economic Prospect Bank Dunia periode Juni, maka ramalan OECD ini yang paling dalam kontraksinya.
Akibat pandemi Covid-19, output perekonomian Indonesia akhirnya mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam 20 puluh tahun terakhir, pasca krisis moneter tahun 1998 silam.
Tanda-tanda suatu negara resesi memang banyak. Hal ini bisa dilihat menggunakan berbagai indikator atau data yang frekuensi rilisnya tinggi (high frequency data) baik dari demand side maupun supply side.
Namun yang paling kentara adalah meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Indonesia memang tidak menerapkan lockdown ketat seperti negara lain. Namun ada yang namanya PSBB. Kebijakan ini mulai marak diimplementasikan saat Covid-19 awal-awal merebak pada April lalu di berbagai tempat terutama DKI Jakarta.
Saat PSBB diterapkan banyak perkantoran dan pabrik tutup. Fenomena yang terjadi secara global juga melanda Indonesia. Banyak PHK terjadi di mana-mana. Akibat Covid-19, Bappenas memperkirakan angka pengangguran mencapai 10,7 juta - 12,7 juta orang pada 2021.
Padahal berdasarkan Sakernas bulan Februari lalu tingkat pengangguran terbuka (TPT) berada di angka 6,88 juta. Kondisi yang memprihatinkan terkait perekonomian Indonesia juga tercermin dari beberapa survei Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurut survei sosial demografi lembaga statistik Indonesia itu, 4 dari 10 orang Indonesia mengalami penurunan pendapatan saat pandemi terjadi. Sementara survei terhadap lebih dari 30 ribu pelaku usaha menunjukkan 19% dari pengusaha hanya kuat bertahan tiga bulan saja sejak survei dilakukan di bulan Juli.
Angka pengangguran yang tinggi membuat banyak masyarakat RI menjadi terancam miskin. Angka kemisikinan di Indonesia akibat Covid-19 juga disorot oleh para peneliti dari King's College London dan Universitas Nasional Australia bersama dengan negara lain seperti India, Pakistan dan Filipina.
Soal kemiskinan, institusi riset kenamaan Tanah Air, SMERU memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia akibat Covid-19 bakal bertambah sebanyak 1,3 juta orang di akhir 2020.
Hal tersebut akan menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia yang pada September tahun lalu berada di angka 9,22% menjadi 9,7%. Dalam skenario yang paling buruk jumlah penduduk miskin akan bertambah sebanyak 8,5 juta jiwa dan tingkat kemiskinan RI melonjak ke level dobel digit di 12,4% menjadi level tertinggi dalam lebih dari 10 tahun terakhir.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Covid RI Melonjak Lagi, Sri Mulyani Tambah Deg-degan!