
Thailand Membara 'Dibakar' Demo, Masihkah Primadona Investor?

Jakarta, CNBC Indonesia - Negeri Gajah Putih Thailand saat ini menghadapi situasi yang rumit. Selain pandemi Covid-19 yang membuat Negeri Seribu Pagoda itu jatuh ke jurang resesi, aksi gelombang demonstrasi para pelajar juga mengepung pemerintah negara tersebut.
Sejarah mencatat kondisi perpolitikan Thailand memang penuh intrik dan gejolak. Kali ini unjuk rasa para mahasiswa dan pelajar sekolah menengah itu dipicu oleh putusan pengadilan untuk membubarkan partai pro-demokrasi Februari lalu.
Melansir BBC, Future Forward Party (FFP) terbukti sangat populer di kalangan pemilih muda yang baru pertama kali dan memperoleh bagian kursi parlemen terbesar ketiga dalam pemilu Maret tahun lalu yang dimenangkan oleh kepemimpinan militer sebagai petahana.
Aksi protes kembali terjadi pada bulan Juni ketika aktivis pro-demokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia berada dalam pengasingan sejak kudeta militer 2014.
Gelombang demonstrasi terus terjadi. Hingga minggu lalu lebih dari 30.000 peserta demo turun ke jalan raya mendesak Perdana Menteri Jenderal Prayut Chan-o-cha mundur dan menerapkan konstitusi baru.
Demo juga kembali menuntut pembatasan pada kekuasaan Raja Thailand Maha Vajiralongkorn. Sang Raja, tulis AFP, dianggap tak hadir di negeri itu saat ekonomi anjlok karena pandemi. Raja yang banyak menghabiskan waktu lama di Eropa menimbulkan kemarahan warga di media sosial dalam beberapa bulan terakhir.
Protes yang sudah terjadi dalam dua bulan terakhir ini merupakan yang terbesar sejak 2014 ketika Thailand mengalami resesi yang sangat parah. Ekonomi Negeri Lumbung Padi ASEAN itu terkontraksi dua kuartal berturut-turut.
Pada triwulan kedua, output perekonomian menyusut 12,2% dan jadi penurunan paling tajam dalam 22 tahun terakhir. Maklum, di kala pandemi Covid-19 seperti ini permintaan global yang anjlok serta penurunan aktivitas pariwisata membuat ekonomi Thailand yang dua pertiganya ditopang ekspor itu porak-poranda.
Padahal pandemi Covid-19 di satu sisi juga memberikan peluang untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara terutama dalam hal menggaet investor asing untuk mau menanamkan modalnya ke wilayah yang terkenal jadi primadona pemilik modal global.
Rantai pasok global yang terlalu China sentris membuktikan bahwa ketika terjadi guncangan (shock) seperti pandemi membuat risiko yang ditanggung oleh investor sangatlah besar, sehingga perlu melakukan diversifikasi portofolio investasinya secara geografis.
Asia Tenggara pun digadang-gadang sebagai salah satu kawasan di mana para investor akan merelokasi pabriknya dari China. Thailand awalnya termasuk negara yang bisa dibilang paling dilirik.
Namun instabilitas politik yang tengah terjadi tentu menjadi faktor penghambat mimpi mendatangkan modal dari luar itu terwujud. Pasalnya kondisi internal seperti stabilitas politik merupakan pertimbangan para pemilik modal untuk menanamkan uangnya ke suatu negara.
Jika melihat lima tahun ke belakang sebenarnya Thailand bisa dibilang memiliki performa yang baik dalam mendatangkan investor asing ke negaranya. Hal ini dapat terlihat dari total penanaman modal asing (FDI) Thailand yang tumbuh 14% per tahunnya (CAGR), lebih tinggi dibandingkan beberapa negara ASEAN-6 lain.
Thailand terkenal sebagai manufacturing hub-nya Asia Tenggara. Beberapa produk ekspor unggulannya adalah produk sektor industri pengolahan seperti perangkat keras komputer, kendaraan bermotor dan suku cadang mobil, perhiasan hingga sirkuit elektronik.
Salah satu faktor yang menjadi data tarik Thailand adalah basis industri yang terdiversifikasi dan dikenal untuk manufaktur elektronik, baja dan otomotif di seluruh dunia. Beberapa perusahaan manufaktur dengan merek yang terkenal di dunia juga memiliki fasilitas perakitan di Thailand.
Dalam laporan World Economic Forum Global Competitiveness 2019, Thailand berada di peringkat 40 global. Sementara untuk regional Asia Tenggara, Thailand hanya berada di bawah Singapura dan Malaysia.
Daya saing Thailand jika dibandingkan negara-negara tetangganya terletak pada stabilitas makroekonomi, sektor kesehatannya, sistem keuangan, size pasar hingga dinamika bisnisnya.
Thailand bahkan mendapat peringkat ketiga regional dalam laporan kemudahan berbisnis versi Bank Dunia tahun lalu. Secara global Thailand berada di posisi 21. Lagi-lagi masih kalah dengan Singapura di peringkat 2 dan Malaysia yang bertengger di ranking 12.
Wajar saja jika Thailand juga diminati oleh para investor, terutama dari negara-negara yang juga maju sektor industri manufakturnya seperti Jepang. Pada 2018-2019 saja perusahaan manufaktur kendaraan asal Jepang sampai mendirikan pabrik di Thailand.
Mengacu pada laporan ASEAN Investment Report 2019, Mazda membuka pabrik mesin di pabrik powertrainnya di Chonburi dengan menginvestasikan US$ 200 juta untuk meningkatkan kapasitas produksi. Selain Mazda, ada juga Mitsubishi Fuso Truck & Bus Corp yang memulai pembangunan pabrik perakitan knock-down lengkap di Thailand.
Belakangan Thailand memang terus berbenah diri untuk mendatangkan investasi asing guna mendorong perekonomiannya.
Melansir ASEAN Briefing langkah yang dilakukan Thailand untuk menarik investor adalah dengan melakukan amandemen Undang-Undang Promosi Investasi (Investment Promotion Act B.E.2520 1997) menjadi Investment Promotion Act B.E 2560 (2017).
Undang-undang baru memperluas cakupan insentif - baik pajak maupun non-pajak, yang ditawarkan kepada investor asing. Misalnya, pembebasan bea masuk yang sebelumnya hanya sebatas bahan yang digunakan untuk manufaktur untuk re-ekspor kini telah direvisi dengan memasukkan bahan yang diimpor untuk digunakan di dalam negeri dalam kegiatan penelitian dan pengembangan.
Pemerintah juga mengumumkan Undang-Undang Peningkatan Daya Saing Nasional yang baru untuk Industri Target, B.E. 2560 - sebagai bagian dari strategi promosi investasi jangka panjang Thailand, Thailand 4.0 dan agenda nasional negara tersebut.
Undang-undang baru tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri sesuai dengan kemampuan Thailand. Investasi asing akan didorong di industri tertentu yang baru, menggunakan teknologi baru atau produksi lanjutan yang akan membawa perkembangan dan mendorong inovasi.
Sebagian besar insentif sama dengan insentif BOI yang ada, kecuali bahwa Undang-Undang yang baru juga menawarkan pembebasan pajak penghasilan badan hingga 15 tahun dan subsidi untuk proyek yang dipromosikan.
Seperti negara-negara ASEAN lain, Thailand juga ikut menawarkan berbagai insentif fiskal yang modelnya seperti tax holiday, hingga tax allowance. Menurut OECD, besaran pajak yang dikenakan oleh pemerintah berbanding terbalik dengan intensitas investasi.
Dari segi pajak, Thailand termasuk negara kawasan Asia Tenggara yang menerapkan pajak korporasi yang terbilang rendah. Bahkan lebih rendah dibandingkan Malaysia, Indonesia dan Filipina.
Selain itu, pemerintah mengumumkan investasi dalam beberapa mega proyek infrastruktur termasuk peningkatan jalur kereta api dan bandara, kereta api berkecepatan tinggi, jalan raya dan Koridor Ekonomi Timur (EEC) sebagai bagian dari upayanya untuk menjadikan Thailand sebagai salah satu destinasi investasi yang paling disukai di Asia.
Proyek senilai US$ 45 miliar EEC mengacu pada zona ekonomi khusus yang mencakup lebih dari 48 juta meter persegi di tiga provinsi timur Chonburi, Rayong dan Chachoengsao.
Lebih lanjut, pemerintah telah menekankan untuk menarik investasi di enam sektor yang telah ditetapkan sebagai kunci tujuan pembangunan negara. Enam industri sasaran tersebut meliputi pertanian dan agroindustri, energi alternatif, otomotif, elektronik, dan teknologi komunikasi informasi (TIK), fashion, dan layanan bernilai tambah termasuk hiburan, perawatan kesehatan, dan pariwisata.
Faktor lain yang juga menjadi daya tarik Thailand adalah biaya atau gaji pekerja di sektor manufaktur yang relatif rendah dan kompeten serta produktivitas tinggi. ASEAN Briefing melaporkan total factor productivity (TPF) Thailand tumbuh di angka 0,6% tahun lalu.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding pertumbuhan rata-rata negara ASEAN yang hanya berada di angka nol persen, alias tidak tumbuh. Mayoritas pertumbuhan ekonomi Thailand dilaporkan berasal dari peningkatan produktivitas tenaga kerjanya.
Itulah beberapa hal yang membuat Thailand menjadi menarik di mata investor. Namun dengan gejolak politik yang tengah terjadi, ada kemungkinan investor terutama asing cenderung wait & see atau bahkan yang terburuk malah melirik tempat yang lain.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Demo Goyang Takhta Raja Thailand, Teriak Negara Milik Rakyat