Ini Plus Minus Bila BI Awasi Lagi Bank

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 September 2020 14:20
Ilustrasi Gedung OJK
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jika berkaca pada sejarah, fungsi pengawasan perbankan diserahkan dari BI ke OJK tepat pada saat penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST), 31 Desember 2013.

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terhitung sejak 31 Desember 2013, ditandai dengan ditandatanganinya BAST antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Sejak tanggal 31 Desember 2013 tersebut, pengawasan terhadap individual bank (mikroprudensial) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pengawasan terhadap makroprudential yang sifatnya jangka panjang tetap dilakukan oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

Gubernur Bank Indonesia yang kala itu Agus D.W. Martowardojo mengatakan bahwa Bank Indonesia memindahkan fungsi pengawasan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam kondisi perbankan yang sehat dengan aturan yang tepat.

"Ke depan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan senantiasa bekerjasama dan berkoordinasi sehingga diharapkan akan diperoleh keseimbangan yang tepat terkait bauran kebijakan antara makroprudensial dan mikroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan," tambah Agus.

Dengan beralihnya fungsi pengawasan perbankan kembali ke BI, maka secara umum OJK akan seperti Bapepam-LK pada jaman dahulu. Pengalihan kembali fungsi supervisi perbankan ke BI ini tak lepas dari adanya gap antara kebijakan makroprudensial BI dan mikroprudensial OJK.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pengalihan fungsi ini dalam rangka untuk penguatan sistem keuangan dalam negeri. Apalagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang.

Lebih lanjut, Airlangga mengatakan bahwa selama ini ketika dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi dan membutuhkan peran serta koordinasi antar lembaga membutuhkan adanya nota kesepahaman (MoU). Pasalnya, masing-masing instansi pemerintah dan otoritas memiliki peraturan undang-undang yang berbeda.

Oleh karena itu, pemerintah berharap ke depan, bisa mengatur kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial di dalam satu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Pemerintah ingin, ke depan, apabila ada satu kebijakan makroprudensial yang harus dilakukan, maka kebijakan di mikroprudensialnya bisa dengan cepat mengikuti kebijakan tersebut, atau juga sebaliknya, sehingga tidak perlu ada lagi perjanjian-perjanjian nota kesepahaman.

Pengalihan fungsi mikroprudensial kembali ke BI tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan.

Berbicara dari segi kelebihannya dulu, menurut Calvo et.al (2018), ketika otoritas moneter diberikan fungsi pengawasan bank, maka bisa mewujudkan adanya pengawasan likuiditas, solvabilitas serta sistem pembayaran yang komprehensif sehingga bisa mendukung terciptanya kestabilan sistem keuangan.

Selain keuntungan di atas, pengalihan fungsi ini juga bisa menimbulkan dampak pemahaman yang lebih baik dari sisi transmisi kebijakan moneter. 

Dari segi keuangan, pengalihan fungsi supervisi perbankan ini juga berpotensi menimbulkan munculnya bias dalam pengambilan kebijakan moneter dan adanya risiko reputasi lembaga.

Selain itu ada juga potensi di mana lembaga pengawas perbankan akan mengorbankan tujuan makroprudensial yang sifatnya jangka panjang demi mencapai tujuan mikroprudensial yang jangka pendek.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular