Ini Plus Minus Bila BI Awasi Lagi Bank

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 September 2020 14:20
BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini tengah menyusun revisi UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam draf tersebut, fungsi pengawasan bank akan kembali lagi ke BI, bukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti sekarang ini.

Jika UU tersebut disahkan konsekuensinya adalah OJK akan tetap melakukan pengawasan lembaga keuangan lain non-bank. Hal ini disampaikan oleh wakil ketua Baleg DPR RI Ahmad Baidhowi. 

"Ya di antaranya mengenai OJK mengawasi sektor keuangan di luar perbankan dan ini baru draf usulan. Masih perlu diperdalam lagi," kata Baidhowi kepada CNBC Indonesia, Senin (31/8/2020).

Tim Ahli Baleg memperkirakan, pengembalian kewenangan pengawasan perbankan ke BI harus dilakukan paling lambat pada 31 Desember 2023. Merespons kabar ini, staf ahli OJK, Ryan Kiryanto pun angkat bicara.

"Terkait dengan Perppu [Peraturan Pemerintah Pengganti UU], apakah itu Perppu mengenai BI-LPS, dan lain sebagainya. Kami memandang bahwa itu adalah domain politik. Jadi kita tidak masuk ke ranah sana, kita masuk ke zona kita yaitu zona pengawasan terintegrasi," ungkap Ryan, dalam keterangan pers secara daring bertajuk Stabilitas Sistem Keuangan dan Pengawasan Terintegrasi OJK, Rabu (2/9/2020).

Ke depannya berarti BI sebagai bank sentral tidak hanya disibukkan oleh kebijakan makroprudensial saja, tetapi juga pada tataran mikroprudensial dari individual perbankan.

Perubahan atau peralihan fungsi supervisi lembaga keuangan sejatinya banyak terjadi di banyak negara. Ada pergeseran desain atau arsitektur pengawasan sistem keuangan yang terjadi dari sebelum krisis keuangan global 2008 ke kondisi pasca krisis.

Indonesia menjadi salah satu contohnya. Melalui amanat Undang Undang Nomor 21 tahun 2011, OJK dibentuk. OJK merupakan badan independen yang dibentuk dan memiliki fungsi tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan seluruh lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga keuangan lain.

Jika mengacu pada artikel yang dipublikasikan oleh Calvo dkk dari Bank for International Settlement (BIS) yang bertajuk Financial Stability Insights on Policy Implementation No 8, OJK ini merupakan pengawas lembaga keuangan yang mengikuti model terintegrasi (integrated).

Dalam publikasinya tersebut, Calvo dkk menyebut ada tiga model pengawasan lembaga keuangan yang masih di anut di dunia saat ini. Ada yang sifatnya sektoral, integrated dan partially integrated.

Untuk yang sifatnya sektoral, institusi pengawasan lembaga keuangan secara umum dibagi menjadi tiga, ada yang mengawasi perbankan, asuransi dan pasar modal. Sampai sekarang, model sektoral masih menjadi yang paling banyak dianut di dunia.

Calvo, et.al.(2018).Sumber : Calvo, et.al.(2018)."Financial supervisory architecture: what has changed after the crisis?". FSI Insights on Policy Implementation No 8, Bank for International Settlement.

Dari 82 jurisdiksi yang disurvei oleh BIS, ada 40 negara yang mengimplementasikan model ini. Beberapa di antaranya adalah Brazil, India, Hong Kong, Thailand, Filipina, Vietnam, Spanyol, Portugal dan Afrika Selatan. 

Kemudian ada juga menganut model terintegrasi. Dalam model ini pun dipecah menjadi dua, ada yang pengawasannya berada di bank sentral seperti yang dijumpai di Rusia dan Singapura. Model ini diimplementasikan di 9 dari 82 negara yang disurvei.

Namun ada juga yang pengawasannya dilakukan oleh badan pengawasan yang terpisah atau separate supervisory agency (SSA) yang banyak digunakan di negara-negara seperti Jerman, Swiss, Jepang, Korea dan Indonesia dengan OJK-nya. Model ini diimplementasikan di 9 dari 82 negara yang disurvei.

Calvo, et.al.(2018).Sumber : Calvo, et.al.(2018)."Financial supervisory architecture: what has changed after the crisis?". FSI Insights on Policy Implementation No 8, Bank for International Settlement.

Untuk model yang terakhir yakni partially integrated juga terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yakni twin peaks dan kelompok kedua mengikuti model two agency.

Pada kelompok yang pertama, ada dua lembaga yang bertugas mengawasi kehati-hatian (prudential) dari lembaga keuangan sementara lembaga lainnya mengawasi conduct dari lembaga keuangan. Model ini dianut oleh 8 dari 82 negara yang disurvei termasuk di dalamnya ada Australia, Selandia Baru, Kanada dan Inggris.

Calvo, et.al.(2018).Sumber : Calvo, et.al.(2018)."Financial supervisory architecture: what has changed after the crisis?". FSI Insights on Policy Implementation No 8, Bank for International Settlement.

Model yang terakhir yakni two agency. Model yang digunakan di 9 negara termasuk Malaysia, Arab Saudi, Italia dan Perancis ini menggunakan dua lembaga. Lembaga pertama mengawasi bank dan asuransi, sementara lembaga lainnya mengawasi pasar modal.

Calvo, et.al.(2018).Sumber : Calvo, et.al.(2018)."Financial supervisory architecture: what has changed after the crisis?". FSI Insights on Policy Implementation No 8, Bank for International Settlement.

Jika berkaca pada sejarah, fungsi pengawasan perbankan diserahkan dari BI ke OJK tepat pada saat penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST), 31 Desember 2013.

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terhitung sejak 31 Desember 2013, ditandai dengan ditandatanganinya BAST antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Sejak tanggal 31 Desember 2013 tersebut, pengawasan terhadap individual bank (mikroprudensial) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pengawasan terhadap makroprudential yang sifatnya jangka panjang tetap dilakukan oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

Gubernur Bank Indonesia yang kala itu Agus D.W. Martowardojo mengatakan bahwa Bank Indonesia memindahkan fungsi pengawasan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam kondisi perbankan yang sehat dengan aturan yang tepat.

"Ke depan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan akan senantiasa bekerjasama dan berkoordinasi sehingga diharapkan akan diperoleh keseimbangan yang tepat terkait bauran kebijakan antara makroprudensial dan mikroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan," tambah Agus.

Dengan beralihnya fungsi pengawasan perbankan kembali ke BI, maka secara umum OJK akan seperti Bapepam-LK pada jaman dahulu. Pengalihan kembali fungsi supervisi perbankan ke BI ini tak lepas dari adanya gap antara kebijakan makroprudensial BI dan mikroprudensial OJK.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pengalihan fungsi ini dalam rangka untuk penguatan sistem keuangan dalam negeri. Apalagi di tengah kondisi pandemi seperti sekarang.

Lebih lanjut, Airlangga mengatakan bahwa selama ini ketika dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi dan membutuhkan peran serta koordinasi antar lembaga membutuhkan adanya nota kesepahaman (MoU). Pasalnya, masing-masing instansi pemerintah dan otoritas memiliki peraturan undang-undang yang berbeda.

Oleh karena itu, pemerintah berharap ke depan, bisa mengatur kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial di dalam satu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Pemerintah ingin, ke depan, apabila ada satu kebijakan makroprudensial yang harus dilakukan, maka kebijakan di mikroprudensialnya bisa dengan cepat mengikuti kebijakan tersebut, atau juga sebaliknya, sehingga tidak perlu ada lagi perjanjian-perjanjian nota kesepahaman.

Pengalihan fungsi mikroprudensial kembali ke BI tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan.

Berbicara dari segi kelebihannya dulu, menurut Calvo et.al (2018), ketika otoritas moneter diberikan fungsi pengawasan bank, maka bisa mewujudkan adanya pengawasan likuiditas, solvabilitas serta sistem pembayaran yang komprehensif sehingga bisa mendukung terciptanya kestabilan sistem keuangan.

Selain keuntungan di atas, pengalihan fungsi ini juga bisa menimbulkan dampak pemahaman yang lebih baik dari sisi transmisi kebijakan moneter. 

Dari segi keuangan, pengalihan fungsi supervisi perbankan ini juga berpotensi menimbulkan munculnya bias dalam pengambilan kebijakan moneter dan adanya risiko reputasi lembaga.

Selain itu ada juga potensi di mana lembaga pengawas perbankan akan mengorbankan tujuan makroprudensial yang sifatnya jangka panjang demi mencapai tujuan mikroprudensial yang jangka pendek.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular