
Utang Membengkak, PLN Dinilai Perlu Kaji Ulang Program 35 GW

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) telah mengungkapkan perseroan berutang sekitar Rp 100 triliun per tahun selama lima tahun terakhir ini. Dengan besarnya utang perseroan tersebut, PLN dinilai perlu mengkaji ulang program 35.000 mega watt (MW) dan juga mengubah cara bisnis perseroan.
Hal ini disampaikan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dalam keterangan resmi yang diterima CNBC Indonesia, Jumat (04/09/2020).
Laporan terbaru IEEFA mengungkapkan bahwa PLN sejauh ini cenderung terpaku pada menu opsi-opsi pembangkitan ketimbang membuat perencanaan sistem kelistrikan secara holistik yang dapat memberikan solusi sistem yang komprehensif. Hal ini membuat PLN terjerembab pada siklus utang yang tak kunjung berakhir.
Padahal secara global, berbagai perusahaan pembangkit dan penyalur listrik telah lama mengubah cara mereka berbisnis, namun hal tersebut dianggap belum dilakukan PLN.
Peneliti IEEFA Elrika Hamdi mengatakan sebagaimana perusahaan listrik dunia lainnya, PLN mengalami penurunan pendapatan yang tajam karena konsumsi listrik masyarakat turun hingga 20% di saat-saat tertentu akibat pandemi Covid-19.
"Namun akar masalah PLN lebih dalam dari sekadar pandemi. Krisis senyap PLN mencerminkan disfungsi perencanaan dan tata kelola yang membuat perusahaan mengalami kelumpuhan strategis, tidak dapat mengubah arah atau beradaptasi dengan realitas pasar baru," kata Elrika dalam keterangan resminya.
Dia menuturkan, walau sudah terlihat berbagai tanda peringatan, para manajer senior perseroan masih menjalankan bisnis listrik dengan pola pikir yang kuno. Sayangnya, model bisnis pada 2010 tersebut sudah tidak dapat menyelamatkan PLN dari jebakan utang yang kian dalam.
"Begitu pula dengan pola pemikiran ekonomi ekstraktif yang hanya memperdalam ketergantungan pada bahan bakar fosil, hanya karena sumber dayanya," ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya harus ada kemauan untuk mengajukan pertanyaan sulit ketika angka-angka pada laporan keuangan PLN sudah menunjukkan tanda bahaya.
"Ini merupakan tanda bahwa rencana pembangunan sistem kelistrikan berbasis sumber daya fosil ini sudah ketinggalan zaman di era kemajuan teknologi saat ini," ungkapnya.
Laporan IEEFA juga menyebutkan, sebagian besar masalah PLN saat ini bermula dari rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 35.000 MW ke pasokan listrik Indonesia yang dirancang dan dilaksanakan dengan buruk.
"Program 35 GW adalah janji politik sebagai wujud ambisi Presiden Joko Widodo untuk melistriki Indonesia sepenuhnya. Tidak ada yang salah dengan ambisinya, tapi proses perencanaan dan pelaksanaannya kurang akuntabel," kata Elrika.
Menurutnya, menambah kapasitas pembangkit seakan menjadi tujuan akhir tanpa memperhatikan dampak keuangan jangka panjang pada PLN dan tidak mempertimbangkan adanya opsi sistem desain yang baru. Dengan hampir tidak adanya sistem checks and balances yang kuat, maka menurutnya PLN telah terdorong ke tepi jurang dan para pembayar pajak yang akan menanggung akibatnya.
"Kemampuan PLN untuk mempertahankan jumlah utang di tingkat ini sebenarnya sangat bergantung pada peringkat utang negara Indonesia sendiri dan kesiapan pemerintah untuk mendukung para debitur PLN jika terjadi financial distress," kata Elrika.
Dia pun menggarisbawahi bahwa obligasi PLN masih terlihat relatif menarik bagi investor karena status monopoli perusahaan dan keterikatan kuat PLN dengan pemerintah.
Elrika juga mempertanyakan akuntabilitas dukungan pemerintah selama ini terhadap PLN. Dengan mencatat adanya dukungan langsung maupun tidak langsung termasuk subsidi, kompensasi, suntikan modal, perlakuan akuntansi khusus, dan jaminan pemerintah, Elrika mengungkapkan bahwa tampaknya hanya ada sedikit pengawasan yang konsisten atas bagaimana dukungan pemerintah digunakan untuk mendandani pembukuan PLN.
"Kementerian Keuangan, mengingat posisi strategis PLN, menjadikan PLN sebagai prioritas utama. Namun ini bukan berarti masalah keuangan PLN dapat diatasi secara efektif melalui akses utang murah tanpa henti yang pada akhirnya dapat mengancam kredibilitas keuangan Indonesia," tuturnya.
Strategi terbaik PLN saat ini menurutnya yaitu mengkaji kembali kerangka perencanaan kelistrikan ini agar fokus pada investasi sistem jaringan yang lebih kuat dan hemat biaya, dalam rangka meningkatkan efisiensi jangka panjang untuk seluruh sistem.
Pemain swasta tidak dapat berinvestasi di sisi jaringan listrik, sehingga mereka berkumpul di sisi pembangkitan. Hal ini mempersempit fokus PLN pada pembangkit-pembangkit base load yang selama ini justru mengakibatkan kelebihan kapasitas dan sistem rapuh yang tidak fleksibel.
Menurutnya, yang dibutuhkan sekarang adalah strategi grid-centric yang memungkinkan investasi PLN fokus untuk membuat sistem jaringan yang lebih efisien.
"Penting bagi PLN untuk memastikan bahwa reformasi sektor kelistrikan yang digadang selama ini bukan hanya kosmetik belaka," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan PLN masih akan menjaga keuangan PLN dengan baik meski perseroan memiliki utang sebesar itu.
"Mengenai utang kami, utang jangka panjang Rp 530 triliun, utang jangka pendek Rp 150 triliun lebih, kami sangat paham dengan itu dan memang situasi seperti ini, komitmen kami adalah menjaga sustainability (keberlanjutan) keuangan PLN terjaga dengan baik," kata Zulkifli.
Merujuk laporan keuangan PLN pada kuartal I 2020, PLN memiliki utang jangka panjang sebesar Rp 537 triliun, serta utang jangka pendek sebesar Rp 157,79 triliun, sehingga totalnya mencapai Rp 694,79 triliun.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Intip Potret Ruko Kota Bekasi Saat 'Diserang' Mati Lampu