
Pertamina Rugi Rp11,3 T dan Pemakluman Menteri ESDM

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) pada Semester 1 tahun 2020 mencatatkan kerugian sebesar US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,33 triliun (asumsi kurs Rp 14.766/ US$). Turun dibandingkan pencapaian laba bersih sebesar US$ 659,96 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Atas kerugian yang dialami Pertamina, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif justru memberikan pemakluman. Ia menuturkan kerugian ini merupakan dampak dari terjadinya pandemi Covid-19 yang dirasakan berbagai perusahaan, termasuk Pertamina.
"Secara general, kita bisa memaklumi karena semua perusahaan terdampak (Covid-19)," tutur Arifin kepada anggota Komisi VII DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rabu (26/8/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan permintaan bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, pelemahan kurs juga turut menyumbang kerugian perseroan pada paruh pertama tahun ini.
"Walaupun harga minyak tidak turun, pada batasan sekarang ini, konsumsi tidak kembali seperti semula," tuturnya.
Tanggapan ini ia sampaikan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan salah satu anggota Komisi VII DPR asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ratna Juwita. Ratna mempertanyakan mengapa Pertamina mencapai kerugian Rp 11,3 triliun pada semester I 2020 ini.
Ketika mendengar jawaban Arifin itu, Ratna pun menegaskan apa artinya Menteri ESDM memaklumi kerugian Pertamina ini.
"Dari pemaparan Bapak, secara sederhana dalam hal ini memaklumi kerugian Pertamina, begitu?" tanyanya.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyebut kerugian di Semester I ini utamanya disebabkan oleh faktor melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan hal tersebut dikarenakan harga jual eceran produk minyak dan gas perusahaan menggunakan mata uang rupiah, sedangkan pencatatan laporan keuangan menggunakan dolar AS.
Ditambah lagi, lanjutnya, pemerintah berutang kompensasi Rp 96 triliun dan subsidi Rp 13 triliun yang belum dibayar, sehingga ini berkontribusi terhadap 60% dari rugi kurs perseroan.
"(Pelemahan) kurs berdampak signifikan karena pembukuan kami fundamentalnya adalah US$. Semua pencatatan dibukukan dalam US$ dan terdampak signifikan oleh piutang kita kepada pemerintah dalam IDR (rupiah)," tuturnya saat RDP di Komisi VII.
Utang pemerintah berkontribusi besar pada rugi kurs perseroan, maka pihaknya mengharapkan pemerintah bisa segera membayar utang tersebut. Dengan demikian, ini bisa mengurangi rugi kurs perseroan.
"Jadi, dengan dukungan pemerintah yang tadi disampaikan dengan dukungan Bapak Ibu di Komisi VII akan melakukan pembayaran, ini akan sangat membantu kami menekan rugi kurs karena ini magnitude besar. Kami hedging (lindung nilai) di market (pasar) pun tidak ada flow-nya, tidak liquid. Di market untuk hedging sebagai mitigasi kurs itu untuk currency Rp 100 triliun lebih," paparnya.
Selain itu, kerugian pada semester I 2020 ini juga dikarenakan menurunnya harga minyak mentah dunia pada kuartal kedua yang menyentuh angka US$ 19-20 per barel dibandingkan Desember 2019 yang berada pada tingkat US$ 63 per barel.
"Penurunan harga minyak ini sangat berdampak pada margin di hulu. Padahal margin di hulu menyumbang EBITDA terbesar mencapai 80%," ungkapnya.
Dia pun mengatakan penurunan permintaan bahan bakar minyak (BBM) dari masyarakat juga menjadi penyebab kerugian pada paruh pertama ini. "Kondisi kali ini bahkan lebih berat daripada kondisi krisis keuangan," ujarnya.
Namun demikian menurutnya pada Juli dan Agustus terlihat ada perbaikan, sehingga diperkirakan pada akhir tahun nanti perusahaan bisa membukukan laba. "Kami melakukan prognosa, mudah-mudahan akhir Desember bisa bukukan positif meski tipis, tapi recovery mulai kelihatan," ujarnya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kilang Balongan Meledak, Menteri ESDM Instruksikan Ini