22 Negara Resesi, Apa Indonesia Masuk Juga Ibu Sri Mulyani?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 August 2020 12:50
Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah lebih dari seabad lamanya setelah pandemi Flu Spanyol, tahun 2020 dunia kedatangan tamu bernama pandemi Covid-19. Lockdown yang ketat dan masif di berbagai penjuru dunia membuat aktivitas ekonomi kolaps.

Konsekuensinya adalah resesi global. Duo lembaga keuangan global yang bermarkas di Washington DC yakni Bank Dunia dan IMF memproyeksikan output ekonomi global bakal terkontraksi di angka sekitar 5% tahun ini.

Krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini (unprecedented) tak pandang bulu. Mau negara maju atau berkembang sama-sama diseret ke jurang resesi. Sampai saat ini sudah ada 22 negara (maju dan berkembang) yang sah jatuh ke dalam resesi karena kontraksi outputnya terjadi dua kuartal beruntun.

Negara-negara tetangga RI yang notabene juga negara berkembang seperti Thailand dan Filipina pun tak luput dari resesi. Sementara Negeri Singa juga mengalami kontraksi output yang sangat dalam di kuartal kedua.

Lantas bagaimana dengan nasib Indonesia? 

RI memang bukan seperti Singapura yang sangat bertumpu pada perdagangan, di mana total ekspornya mencapai 160% dari total output perekonomiannya. Indonesia juga bukan seperti Thailand yang bergantung pada sektor pariwisatanya.

Tulang punggung ekonomi Indonesia adalah konsumsi domestik. Maklum sebagai bahtera besar yang berisi lebih dari 268 juta penumpang ini memang pasar yang besar. Hanya saja, saat pandemi mendera, tulang punggung ekonomi RI ini keropos.

Pada kuartal kedua tahun ini saja, konsumsi rumah tangga anjlok 5,51% (yoy). Padahal kontribusinya terhadap total output mencapai 57,85% terhadap PDB. Hal ini sudah cukup untuk membuat ekonomi RI terguncang.

Pada periode April-Juni, kita semua menyaksikan output ekonomi RI terkontraksi sangat dalam hingga  -4,19% (qoq) dan -5,32% (yoy). Ini merupakan kontraksi tahunan pertama sejak tahun 1998. Tahun ketika krisis moneter (krismon) terjadi di Tanah Air.

Jika melihat angka pertumbuhan ekonomi secara kuartalan, sebenarnya RI sudah terkontraksi dua kuartal berturut-turut. Namun jika angka yang dilihat adalah pertumbuhan tahunan, maka kontraksi yang terjadi baru satu kali. 

Jadi soal apakah RI sudah masuk resesi atau belum juga masih bisa dibilang abu-abu, mengingat tak ada definisi yang rigid juga seputar resesi. Namun jika pada kuartal ketiga ekonomi RI kembali terkontraksi maka sah Indonesia akan masuk ke dalam jurang resesi.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Kata-kata Sri Mulyani

Sekarang mari tengok prospek ekonomi di kuartal ketiga. Berbeda dengan kuartal kedua, mobilitas publik sudah terpantau mulai ramai. Sudah mulai banyak orang yang kembali bekerja ke kantor.

Namun geliat ekonominya masih belum bisa dibilang kencang. Apakah ekonomi RI bakal selamat dari zona kontraksi lagi akan sangat tergantung dari banyak faktor. Pertama tentu konsumsi domestik yang jadi penopang utama.

Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah RI telah menggelontorkan bansos dengan nilai kurang lebih Rp 270,6 triliun. Sebanyak Rp 203,9 triliun untuk PKH, kartu prakerja, subsidi listrik hingga kartu sembako.

Sementara Rp 28,8 triliun untuk gaji ke-13 ASN dan Rp 38,8 triliun untuk bansos pada pegawai swasta bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Hanya saja apakah kebijakan ini efektif atau tidak tentu sangat tergantung pada banyak hal terutama dalam hal distribusinya.

Selain itu perilaku masyarakat juga memegang peranan penting. Apabila masyarakat masih menahan belanjanya, tentu ini sangat membahayakan bagi perekonomian RI.

Selain konsumsi domestik, sebagai negara berkembang, RI juga bertumpu pada investasi. Kontribusi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap output mencapai 30%. Pos ini pun mengalami kontraksi yang lebih dalam dari pos konsumsi masyarakat.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan PMTB pada kuartal kedua tahun ini anjlok 8,61% (yoy). Kegiatan ekspor dan impor juga mengalami hal yang sama. Impor anjlok 16,96% (yoy) sementara ekspor melorot 11,66% (yoy). 

Kebanyakan ekspor Indonesia selama ini masih bertumpu pada komoditas seperti batu bara dan CPO. Pelemahan permintaan batu bara terutama dari negara-negara konsumen terbesar seperti China dan India membuat harga batu bara anjlok signifikan.

Harga batu bara acuan (HBA) memasuki kuartal kedua masih lanjut mengalami penurunan. Sepanjang tahun ini harga batu bara sudah anjlok 26% lebih. Sementara itu output CPO juga memasuki musim puncaknya. Jika output berpotensi meningkat tetapi tak dapat diimbangi dengan ekspor maka stok akan meningkat dan menekan harga.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan volume perdagangan global tahun ini bakal terkontraksi dobel digit. Jika menggunakan skenario dasar WTO volume berpotensi terkontraksi hingga 13%. Namun dengan skenario paling pesimis kontraksinya bisa mencapai 32%(yoy).

Pada akhirnya pos yang masih benar-benar bisa diharapkan adalah konsumsi pemerintah. Serapan anggaran haruslah dimaksimalkan agar dampak spill over-nya terasa. Namun pada kuartal kedua tahun ini saja konsumsi pemerintah justru turun 6,9%.

Melihat realita ini, isu Indonesia resesi bisa jadi kenyataan. Hal ini juga disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bahkan Sri Mulyani mengakui sulit untuk mengangkat ekonomi bahkan ke zona netral, apalagi positif.

"Melihat indikator Juli, downside risk tetap merupakan suatu risiko nyata. Outlook kami adalah 0% sampai -2% (untuk kuartal III-2020)."

"Kunci utama adalah konsumsi dan invetasi. Kalau tetap negatif, meski pemerintah sudah all out, maka akan sulit masuk netral . Tidak bisa mendekati 0% dan bisa negatif kalau kelas menegah dan atas belum recovery," ungkap Sri Mulyani.

Jadi, Indonesia sama sekali belum aman. Bayang-bayang resesi masih menghantui.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Covid RI Melonjak Lagi, Sri Mulyani Tambah Deg-degan!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular