Kok Pertamina Terdepak dari Fortune 500? Memang Kurang Apa?

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
14 August 2020 16:43
Pengendara mengisi BBM di Salah satu SPBU, Kuningan, Jakarta, Minggu (10/2). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero), Badan Usaha Milik Negara sektor minyak dan gas bumi, kali ini harus keluar dari daftar 500 perusahaan berpendapatan tertinggi dunia yang dikeluarkan Fortune atau biasa dikenal dengan Fortune 500.

Dalam keterangan resminya, VP Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, mengatakan meski tidak masuk ke  ke dalam daftar tersebut, tetapi total pendapatan Pertamina pada 2019 mencapai US$ 54,58 miliar dan laba bersih US$ 2,5 miliar. Adapun pendapatan ini menyamai perusahaan dunia yang menempati posisi ke-198 yaitu Nippon Steel Corporation yang sebesar US$ 54,45 miliar. Untuk itu, menurutnya, perseroan akan terus berupaya meningkatkan kinerja perusahaan sehingga tetap dapat disejajarkan dengan perusahaan dunia tersebut.

Untuk mengetahui kinerja keuangan Pertamina ini, mari kita lihat realisasi pendapatan dan laba bersih perseroan selama lima tahun terakhir ini, seperti dikutip dari laporan tahunan 2019:

 

Keterangan

2015

2016

2017

2018

2019

Pendapatan (US$ Miliar)

45,24

39,81

46,00

57,93

54,58

Laba Bersih (US$ Miliar)

1,42

3,14

2,54

2,53

2,53

 

Dari tabel kinerja keuangan tersebut terlihat, bahwa meski dari sisi perolehan laba bersih pada 2019 setara dengan 2018, tetapi dari sisi pendapatan mengalami penurunan sekitar US$ 3 miliar. Bila dilihat tren lima tahun terakhir, laba Pertamina malah terlihat cenderung menurun sejak 2016, padahal dari sisi pendapatan meningkat sekitar 37%.

Turunnya pendapatan perseroan pada 2019 ini terlihat dari menurunnya penjualan minyak mentah, gas bumi, panas bumi dan produk minyak sebesar US$ 1 miliar menjadi US$ 43,7 miliar dari US$ 44,7 miliar. Meski dari sisi harga minyak mentah masih cukup tinggi yakni US$ 62 per barel, namun dari sisi kurs,  rupiah mengalami penguatan pada 2019 menjadi rata-rata Rp 14.146,33 dari Rp 14.246,43 pada 2018.

Turunnya pendapatan perseroan pada 2019 ini terlihat dari adanya penurunan kinerja operasional khususnya dari sektor hulu. Berdasarkan laporan tahunan 2019 yang dipublikasikan di situs perseroan, produksi minyak dan gas bumi (migas) memang terlihat ada penurunan, terutama dari gas menjadi 2.822,46 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) pada 2019 dibandingkan produksi pada 2018 yang sebesar 3.059 MMSCFD.

Meski produksi minyak naik tipis menjadi 413,48 ribu barel per hari (bph) dari 393 ribu bph pada 2018, tetapi secara kalkulasi minyak dan gas bumi produksi migas perseroan turun menjadi 900,84 ribu barel setara minyak per hari (boepd) pada 2019 dari 921 ribu bph pada 2018.

Tak hanya itu, kinerja eksplorasi hulu migas pun terlihat melemah. Hal ini bisa terlihat dari tambahan cadangan terbukti yang turun menjadi 309,28 juta barel setara minyak (MMBOE) pada 2019, jauh dibandingkan 2018 yang mencapai 426,25 MMBOE.

Sedangkan dari sisi hilir, penjualan BBM pada 2019 naik tipis dibandingkan 2018 yakni menjadi 71 juta kilo liter (kl) dari 70 juta. Begitu pun penjualan non-BBM naik tipis menjadi 17 juta kl dari 16 juta.

Meski dari sisi kinerja operasional dan keuangan menurun, beberapa waktu lalu Direktur Utama PErtamina, Nicke Widyawati, masih membanggakan salah satu capaian Pertamina pada 2019 yaitu dengan masuk ke dalam peringkat 175 dalam Fortune 500, berdasarkan kinerja keuangan pada 2018. Bahkan, perseroan menargetkan bisa masuk ke dalam Top 100 Global Fortune pada 2024 dengan nilai valuasi pasar US$ 100 miliar.

Untuk menjadi perusahaan global dengan nilai pasar US$ 100 miliar, menurutnya perseroan harus melakukan beberapa hal antara lain memberikan keamanan energi bagi Indonesia, memimpin transisi energi Indonesia, mewujudkan satu desa, satu wilayah BBM satu harga, serta menjadi pengembangan sosial.

"Oleh karenanya restrukturisasi organisasi dilakukan sebagai vehicle sebagai fondasi utama di dalam mengelola kegiatan operasi dan menghadapi tantangan yang beragam di masa depan," tuturnya dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa akhir bulan lalu.

Seperti diketahui, perseroan baru saja merestrukturisasi organisasi dengan membentuk enam sub-holding baru, di luar sub-holding gas yang sudah dibentuk. Dengan demikian, perseroan memiliki tujuh sub-holding yakni hulu, kilang dan petrokimia, komersial dan perdagangan, kelistrikan dan energi baru terbarukan, perkapalan, serta portfolio.

Menteri BUMN, Erick Thohir, pun meminta perseroan menyiapkan dalam dua tahun ke depan 1-2 subholding tersebut bisa mencatatkan diri menjadi perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia. "Dalam dua tahun ke depan kita mau 1-2 subholding Pertamina ini go public. Ini bagian dari transparansi dan kapabilitas," ungkapnya kepada media Juni lalu.

Sebagai informasi, dua perusahaan migas milik negara asal Asia berhasil masuk 10 besar di daftar Fortune 500. Mereka adalah National Petroleum Corporation (CNPC) dan Saudi Arabian Oil Company (Saudi Aramco). CNPC sudah 20 kali masuk di daftar Fortune 500, sementara bagi Saudi Aramco ini baru kali kedua.

Sejauh mana kinerja Pertamina bila dibandingkan perusahaan migas kelas dunia tersebut? Mari kita bandingkan datanya, mengutip dari laporan keuangan 2019 masing-masing perusahaan.

Pertamina

Petronas

PTT

BP

Saudi Aramco

Pendapatan

US$ 54,58 miliar

MYR 240,3 miliar (setara US$ 57.25 miliar)*

THB 2,21 triliun (setara US$ 71,11 miliar)**

US$ 278,39 miliar

US$ 329,81 miliar

Laba Bersih

US$ 2,53 miliar

MYR 33 miliar (setara US$ 7,8 miliar)

THB 92,95 miliar (setara US$ 2,99 miliar)

US$ 4,03 miliar

US$ 88,21 miliar

Aset

US$ 67,08 miliar

MYR 622,4 miliar (setara US$ 148,3 miliar)

THB 2,48 triliun (setara US$ 79,81 miliar)

US$ 295,19 miliar

US$ 1,49 triliun

*MYR 1 setara dengan 0,23825 US$

**THB 1 setara dengan 0,00322 US$

Dari data tersebut dapat dilihat kinerja keuangan maupun aset yang dimiliki Pertamina masih jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan migas kelas dunia, termasuk di regional Asia Tenggara. Pertamina pun harus mengeluarkan upaya lebih keras lagi untuk bisa menandingi perusahaan migas kelas dunia tersebut, setidaknya di tingkat regional Asia Tenggara.

Kapan ya kira-kira Pertamina bisa menyaingi mereka? Mari kita tunggu.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular