Duh Sedih, Tak Ada Nama Pertamina Lagi di Daftar Fortune 500

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2020 15:31
Pengendara mengisi BBM di Salah satu SPBU, Kuningan, Jakarta, Minggu (10/2). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi SPBU Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan migas milik negara asal Indonesia, Pertamina, terdepak dari daftar 500 perusahaan berpendapatan tertinggi dunia yang dibikin oleh Fortune. Sementara dua perusahaan migas milik negara yang berasal dari Asia berhasil masuk 10 besar di daftar Fortune 500.

Berikut adalah 10 perusahaan teratas dalam hal pendapatan di daftar Fortune 500 terbaru:

Di posisi 10 besar, dua perusahaan migas milik negara di Asia ada di dalamnya yaitu China National Petroleum Corporation (CNPC) dan Saudi Arabian Oil Company (Saudi Aramco). CNPC sudah 20 kali masuk di daftar Fortune 500, sementara bagi Saudi Aramco ini baru kali kedua.

"Pada Desember 2019, Saudi Aramco akhirnya menjalani debut di pasar modal, sesuatu yang sudah lama dinantikan investor. Penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) Saudi Aramco berhasil meraup dana US$ 2 triliun, rekor tertinggi dunia. Berkat IPO, Saudi Aramco menjadi perusahaan dengan laba tertinggi di dunia tahun lalu, mencapai US$ 88 miliar," sebut keterangan Fortune.

CNPC juga sudah akrab dengan pasar modal. Namun berbeda dengan Saudi Aramco, adalah anak usaha CPNC yaitu PetroChina yang melantai di bursa saham.

Bahkan PetroChina menjadi perusahaan terbuka di dua bursa, Shanghai dan Hong Kong. IPO di Hong Kong dilakukan pada 2001, sementara di Shanghai terjadi pada 2007.

Dengan menjadi perusahaan publik, Saudi Aramco dan PetroChina bisa memperoleh pendanaan langsung dari penjualan saham. Tidak hanya itu, menjadi perusahaan terbuka juga akan memudahkan dalam mencari dana dari sumber lain misalnya penerbitan obligasi. Duit itu bisa dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, yang pada gilirannya akan meningkatkan laba.

HALAMAN SELANJUTNYA >> NEXT

Menjadi perusahaan publik tidak membuat Saudi Aramco dan PetroChina 'tergadai'. Sebab, negara masih jadi pemilik mayoritas, bahkan hampir seluruh saham masih dikuasai negara.

Saat ini, pemilikan pemerintah Arab Saudi di Saudi Aramco masih 98,18%, saham yang dilepas ke publik tidak sampai 2%. Itu pun sudah menghasilkan fulus yang begitu banyak, lebih tinggi ketimbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jadi uang hasil penjualan Aramco cukup untuk membeli seluruh Indonesia dan masih ada kembaliannya.

Sedangkan di PetroChina, CNPC menguasai 90,71% saham. CNPC adalah perpanjangan tangan negara, karena dimiliki 100% oleh pemerintah Negeri Tirai Bambu.

Agar mampu mendongrak laba dan kembali ke jajaran Fortune 500, Pertamina mungkin perlu lebih serius untuk menjajaki opsi masuk ke pasar modal. Rencana ke arah sana sudah ada, dengan IPO di level anak usaha atau sub-holding.

"IPO adalah salah satu alternatif cara mendapatkan pendanaan untuk pengembangan usaha dan tidak akan mempengaruhi kinerja penugasan pemerintah kepada Pertamina," tegas Fajriyah Usman, VP Corporate Communication Pertamina, belum lama ini.

Memang ada pandangan bahwa ketika menjadi perusahaan publik maka Pertamina bakal melupakan tugas melayani rakyat. Semata-mata hanya berorientasi kepada cuan, begitu katanya.

Namun perlu dicatat bahwa yang akan melakukan IPO adalah anak usaha, bukan Pertamina sebagai induk usaha. Pertamina juga akan tetap menjalankan tugas dari pemerintah, bahkan bisa lebih fokus karena urusan bisnis akan difokuskan kepada anak usaha.

So, bagaimana Pertamina?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular