
Kok Pertamina Terdepak dari Fortune 500? Memang Kurang Apa?

Meski dari sisi kinerja operasional dan keuangan menurun, beberapa waktu lalu Direktur Utama PErtamina, Nicke Widyawati, masih membanggakan salah satu capaian Pertamina pada 2019 yaitu dengan masuk ke dalam peringkat 175 dalam Fortune 500, berdasarkan kinerja keuangan pada 2018. Bahkan, perseroan menargetkan bisa masuk ke dalam Top 100 Global Fortune pada 2024 dengan nilai valuasi pasar US$ 100 miliar.
Untuk menjadi perusahaan global dengan nilai pasar US$ 100 miliar, menurutnya perseroan harus melakukan beberapa hal antara lain memberikan keamanan energi bagi Indonesia, memimpin transisi energi Indonesia, mewujudkan satu desa, satu wilayah BBM satu harga, serta menjadi pengembangan sosial.
"Oleh karenanya restrukturisasi organisasi dilakukan sebagai vehicle sebagai fondasi utama di dalam mengelola kegiatan operasi dan menghadapi tantangan yang beragam di masa depan," tuturnya dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa akhir bulan lalu.
Seperti diketahui, perseroan baru saja merestrukturisasi organisasi dengan membentuk enam sub-holding baru, di luar sub-holding gas yang sudah dibentuk. Dengan demikian, perseroan memiliki tujuh sub-holding yakni hulu, kilang dan petrokimia, komersial dan perdagangan, kelistrikan dan energi baru terbarukan, perkapalan, serta portfolio.
Menteri BUMN, Erick Thohir, pun meminta perseroan menyiapkan dalam dua tahun ke depan 1-2 subholding tersebut bisa mencatatkan diri menjadi perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia. "Dalam dua tahun ke depan kita mau 1-2 subholding Pertamina ini go public. Ini bagian dari transparansi dan kapabilitas," ungkapnya kepada media Juni lalu.
Sebagai informasi, dua perusahaan migas milik negara asal Asia berhasil masuk 10 besar di daftar Fortune 500. Mereka adalah National Petroleum Corporation (CNPC) dan Saudi Arabian Oil Company (Saudi Aramco). CNPC sudah 20 kali masuk di daftar Fortune 500, sementara bagi Saudi Aramco ini baru kali kedua.
Sejauh mana kinerja Pertamina bila dibandingkan perusahaan migas kelas dunia tersebut? Mari kita bandingkan datanya, mengutip dari laporan keuangan 2019 masing-masing perusahaan.
Pertamina | Petronas | PTT | BP | Saudi Aramco | |
Pendapatan | US$ 54,58 miliar | MYR 240,3 miliar (setara US$ 57.25 miliar)* | THB 2,21 triliun (setara US$ 71,11 miliar)** | US$ 278,39 miliar | US$ 329,81 miliar |
Laba Bersih | US$ 2,53 miliar | MYR 33 miliar (setara US$ 7,8 miliar) | THB 92,95 miliar (setara US$ 2,99 miliar) | US$ 4,03 miliar | US$ 88,21 miliar |
Aset | US$ 67,08 miliar | MYR 622,4 miliar (setara US$ 148,3 miliar) | THB 2,48 triliun (setara US$ 79,81 miliar) | US$ 295,19 miliar | US$ 1,49 triliun |
*MYR 1 setara dengan 0,23825 US$
**THB 1 setara dengan 0,00322 US$
Dari data tersebut dapat dilihat kinerja keuangan maupun aset yang dimiliki Pertamina masih jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan migas kelas dunia, termasuk di regional Asia Tenggara. Pertamina pun harus mengeluarkan upaya lebih keras lagi untuk bisa menandingi perusahaan migas kelas dunia tersebut, setidaknya di tingkat regional Asia Tenggara.
Kapan ya kira-kira Pertamina bisa menyaingi mereka? Mari kita tunggu.
[Gambas:Video CNBC]