Kamala Harris, Gacoan Demokrat untuk Libas Trump

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
12 August 2020 21:35
Senator dan calon presiden dari Partai Demokrat AS, Kamala Harris,

Jakarta, CNBC Indonesia - Senator "paling bengis" dan "paling buruk." Demikian Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengomentari Kamala Harris, Senator Partai Demokrat dari wilayah California. Bagaimana sepak terjang dan pandangan ekonominya?

Nama Harris muncul ke pemberitaan hari ini setelah dia resmi ditunjuk Partai Demokrat untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Joe Biden (78 tahun). Dia menjadi perempuan ketiga yang menjadi cawapres di AS, setelah Sarah Palin (2008) dan Geraldine Ferraro (1984).

Namun jika dilihat dari latar belakangnya, Harris-yang tahun ini genap berusia 55 tahun-menjadi wanita kulit hitam pertama dan warga keturunan Asia pertama yang masuk ke kursi pasangan pencapresan di Negara Adidaya tersebut.

Lahir dari pasangan non-kulit putih, Harris menjadi simbol mesin politik yang benar-benar anti-Trump. Ibunya, Shyamala Gopalan adalah ilmuwan asal India, sedangkan sang ayah yakni Donald Harris merupakan warga AS keturunan Jamaika.

Pernah menjabat sebagai wakil jaksa distrik di wilayah Alameda, California, Harris sempat terpilih menjadi Jaksa Agung California dua kali (2010 dan 2014). Karr politiknya dimulai pada 2016 ketika dia melompat ke Senat.

Para pemilih AS yang selama ini merasa disudutkan oleh kebijakan Trump, yakni warga keturunan atau pendatang terutama kaum kulit hitam akan mendapati Harris sebagai simbol perjuangan politik yang merepresentasikan mereka.

Demikian juga mereka yang benci pada sikap seksis dan misoginis (penuh ujaran kebencian terhadap kaum Hawa) Trump. Harris menjadii sosok yang mewakili aspirasi mereka, untuk membungkam Trump. Tahun lalu, Harris menyerang Trump dengan sebutan predator seks.

I prosecuted sex predators. Trump is one.
I shut down for-profit scam colleges. He ran one.
I held big banks accountable. He's owned by them.

I'm not just prepared to take on Trump, I'm prepared to beat him. pic.twitter.com/bg4xZ4uLne

— Kamala Harris (@KamalaHarris) November 20, 2019


Latar belakang Harris tersebut mengingatkan kita pada Barack Obama, Presiden AS yang digantikan Trump pada periode pemerintahan sebelum ini. Obama, yang memiliki darah Afrika dari sang ayah tercatat menjadi presiden kulit hitam pertama di sepanjang sejarah AS.

Seiring dengan meningkatnya dukungan terhadap nasib dan kesejahteraan kaum kulit hitam di AS, setelah oknum polisi Minneapolis membunuh George Floyd dengan menginjak lehernya, pemilih dari golongan tersebut pun berpeluang menjadi kuda hitam penentu kemenangan pilpres tahun ini.

Gerakan politik Black Live Matter (BLM) yang telah menjadi aksi global itu berpeluang mendukung Harris bersama Biden, untuk mengalahkan Trump. Jika ini benar terjadi, maka Harris bakal menjadi warga keturunan Afrika pertama yang menjadi wakil presiden di Negara Sam.

Plus, dia bakal menjadi perempuan pertama di AS yang naik ke jabatan politik setinggi itu.

Besar dari orang tua lintas-budaya, Harris berkembang menjadi sosok yang progresif. Pandangan ekonominya tidak berbeda dari rekan-rekannya di Partai Demokrat yang pro-pasar dan kebebasan aliran modal, dan ketat akan perlindungan konsumen.

Kebetulan, kedua orang tua Harris bertemu di University of Berkeley, kampus tertua di California. Sang ibunda adalah ahli kanker payudara yang bermigrasi ke AS pada 1960, untuk mengejar gelar doktor dalam bidang endokrinologi di Universitas Berkeley. Sang ayah hijrah dari Jamaika pada 1961 untuk studi pascasarjana ekonomi di universtas yang sama.

Di Indonesia, kampus ini menjadi sorotan karena para lulusannya dituding menyokong mazhab neoliberalisme ekonomi di era Orde Baru, terutama ketika deregulasi, privatisasi, dan austeriti (pemangkasan belanja publik) kian marak di awal reformasi.

Sebagai Jaksa Agung, Harris getol membela kepentingan konsumen dengan memenangkan sengketa antara bank dan konsumen terkait penyitaan rumah dan penjualan rumah milik pelanggan yang dituding gagal memenuhi kewajibannya.

Sikap tegasnya melawan Trump tidak pudar meskipun dia pernah mendapat sumbangan dari taipan tersebut ketika maju kampanye untuk meraih jabatan sebagai Jaksa Agung, dua kali berturut-turut pada 2011 dan 2013.

Trump pun kian jengah karena pada 2018 Harris mengorek kemungkinan kedekatan Brett Kavanaugh dengan Trump. Saat itu, Senat AS sedang menggelar dengar pendapat pencalonan Kavanaugh sebagai calon Hakim Agung, yang diajukan oleh mantan taipan properti itu.

Sikap anti-Trump itu juga terlihat terkait dengan kebijakan ekonomi luar negeri AS. Harris adalah salah satu politisi yang getol mengritik perang dagang antara AS dan China, menilai kebjiakan tersebut memperburuk keadaan ekonomi di AS.

Pada Agustus 2019, Harris mendesak perwakilan dagang AS Robert Lightizer untuk mempertimbangkan kembali pengenaan tarif terhadap produk elektronik dan komponen impor elektronik dari China.

"Tarif tersebut bakal memukul California, yang menjadi tuan rumah bagi sektor elektronik terbesar di negeri ini," tulisnya dalam pernyataan resmii. "Industri ini menyumbang US$ 438 miliar tiap tahun terhadap ekonomi California dan secara langsung mempekerjakan lebih dari 900.000 pekerja. Lebih dari 80.000 lapangan kerja itu didukung oleh ekspor."

Meski demikian, dia tetap getol meneriakkan perlunya perdagangan yang adil dan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) perusahaan AS di China.

Harris kini memilih fokus menyasar isu krisis ekonomi akibat pandemi corona dengan mendukung larangan menyita rumah konsumen yang terdampak pandemi dan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) senilai US$ 2.000 per orang tiap bulan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular