Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Dari ruang sidang parlemen hingga obrolan warung kopi, resesi ekonomi adalah topik yang menarik untuk dibicarakan.
Penyebabnya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini ditangani dengan pembatasan sosial (social distacing). Warga sebisa mungkin diminta (atau bahkan diperintahkan) untuk #dirumahaja.
Minimnya aktivitas masyarakat membuat roda ekonomi macet, tidak bergerak. Bagaimana mau bergerak kalau sekolah libur, kantor libur, restoran tutup, lokasi wisata tutup, pusat perbelanjaan tutup, dan sebagainya?
Hasilnya adalah ekonomi mengkerut. Output perekonomian yang dicerminkan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami kontraksi yang di banyak negara puncaknya ada pada kuartal II-2020.
Indonesia tidak imun dengan serangan kontraksi ekonomi. Pada kuartal II-2020, PDB Indonesia menyusut -5,32% dibandingkan periode yang sama pada 2019 (year-on-year/YoY, catatan terburuk sejak 1999.
Definisi resesi bermacam, tetapi pada dasarnya diartikan sebagai kontraksi PDB secara YoY selama dua kuartal beruntun. Merujuk ke definisi ini, Indonesia belum resesi karena pada kuartal sebelumnya ekonomi masih tumbuh 2,97% YoY.
Namun ada konsep lain yaitu resesi teknikal yaitu kontraksi PDB secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) dua kali beruntun. Nah, Indonesia sudah tiga kuartal berturut-turut membukukan penyusutan PDB secara kuartalan. Dalam hal ini, Indonesia tidak hanya mengalami resesi teknikal, tetapi semakin dalam terseret ke dalamnya.
Kembali ke resesi yang hakiki, Indonesia memang belum merasakannya. Penentuan apakah Indonesia resesi atau tidak akan ada pada kuartal III-2020. Kalau negatif lagi, maka Indonesia resmi masuk jurang resesi.
Bagaimana prospek pada kuartal III-2020? Apakah risiko kontraksi cukup besar?
Kabar baiknya, ekonomi Tanah Air semakin membaik selepas pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Memang masih jauh dari level sebelum pagebluk, tetapi tanda-tanda kebangkitan semakin ke sini semakin terasa.
Contoh, pekan lalu Bank Indonesia merilis survei konsumen yang hasilnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2020 berada di 86,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 83,8 tetapi masih di bawah 100.
Walau konsumen belum pede mengarungi bahtera ekonomi, tetapi pesimisme itu semakin menipis. Sejak menyentuh titik nadir pada Mei, IKK terpantau naik dua bulan beruntun meski belum bisa menyentuh angka 100.
"Survei Konsumen Bank Indonesia pada Juli 2020 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi membaik, meskipun masih berada pada zona pesimis (<100)," sebut laporan BI.
IKK terbagi menjadi dua sub-indeks yaitu Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK). Pada Juli, skor IKE adalah 50,7, naik dibandingkan bulan sebelumnya yakni 45,8. IKE memang belum di atas 100, tetapi semakin membaik.
IKE dibagi lagi menjadi tiga sub-indeks yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama. Ketiganya mencatatkan perbaikan pada Juli.
"Menguatnya keyakinan konsumen pada Juli 2020 didorong oleh membaiknya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, yang terefleksi pada perbaikan seluruh komponen pembentuknya yaitu keyakinan terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama. Hal tersebut seiring dengan kegiatan ekonomi yang kembali meningkat pasca pelonggaran PSBB di berbagai kota di Indonesia," sebut laporan BI.
Konsumen, lanjut laporan BI, lebih yakin melihat penghasilan saat ini ketimbang enam bulan sebelumnya. Pelonggaran PSBB berdampak kepada perbaikan penghasilan rutin (gaji/honor) maupun omzet usaha. Sejalan dengan meningkatnya keyakinan terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, konsumen lebih bersedia untuk membeli barang-barang tahan lama.BI memantau terjadi kenaikan pembelian barang elektronik, furnitur, dan perabot rumah tangga.
Nah, yang menarik adalah IEK. Pada Juli, IEK tercatat 121,7. Sudah di atas 100, berarti konsumen sudah pede menatap masa depan.
Data ini menggambarkan bahwa rasanya masa-masa paling prihatin akibat pandemi virus corona sudah berlalu. Kuartal II-2020 menjadi titik nadir, selepas itu ekonomi mulai pulih seiring dengan pelonggaran PSBB.
Tidak hanya konsumen, dunia usaha juga sedikit demi sedikit mulai pede. Aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) pada Juli tercatat 46,9. Naik ketimbang sebulan sebelumnya yaitu 39,1.
PMI manufaktur Indonesia boleh membaik. Namun tentu harus melihat kinerja negara-negara tetangga. Apakah pemulihan Indonesia berada di jalur yang sama atau masih tertinggal?
Ternyata performa Indonesia sangat impresif. Kalau melihat angka PMI Juli, Indonesia memang berada di peringkat enam dari 10 negara. Ibarat klasemen liga sepakbola, Indonesia masuk bottom-half, paruh bawah.
Namun dari sisi perubahan, Indonesia menjadi yang terbaik. Dibandingkan Juni, PMI Indonesia melesat nyaris delapan poin. Ini membawa Indonesia menempati puncak klasemen.
Besok, BI akan mengumumkan hasil survei penjualan eceran. Pada Mei, penjualan eceran yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) turun -20,6% YoY. Konsensus yang dihimpun Trading Economics memperkirakan IPR masih terkontraksi tetapi membaik di -14% YoY.
Kemudian penjualan kendaraan bermotor. Sejak awal tahun hingga Mei, penjualan mobil terus mengalami kontraksi dengan kadar yang semakin parah. Pada Mei, penjualan mobil ambles hingga -95,78% YoY, terparah sepanjang sejarah.
Namun pada Juni mulai ada sinyal pemulihan. Penjualan mobil memang masih turun -78,82% YoY, tetapi sudah membaik.
Demikian pula penjualan sepeda motor. Pada Juni, penjualan si kuda besi masih turun -56,38% YoY, tetapi membaik ketimbang bulan sebelumnya yang rontok -96,11% YoY.
Empat data tersebut bisa menjadi gambaran bahwa Indonesia punya bekal yang cukup untuk menghindari resesi. Namun ada syaratnya. Jangan sampai PSBB ketat lagi gara-gara lonjakan kasus corona.
Ini yang perlu diwaspadai karena memang ada tren ke arah sana. Per 9 Agustus, jumlah pasien positif corona adalah 125.396 orang. Bertambah 1.893 orang (1,53%) dibandingkan sehari sebelumnnya.
Dalam 14 hari terakhir (27 Juli-9 Agustus), rata-rata pasien baru bertambah 1.901,29 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 1.648,5 orang per hari.
Jangan lupa, krisis kali ini muaranya adalah aspek kesehatan. Kalau sisi kesehatan bermasalah, maka yang lain harus mengalah. Menyelamatkan nyawa meski hanya satu orang tidak bisa dihargai dengan angka-angka ekonomi.
Oleh karena itu, masih ada kemungkinan pemerintah bakal kembali mengetatkan PSBB untuk meredam lonjakan kasus corona. Andai ini terjadi, maka hampir pasti Indonesia mengalami resesi karena PDB akan mengkerut lagi.
"Skenario di mana Indonesia mengalami resesi bisa terwujud jika terjadi lonjakan jumlah kasus yang menyebabkan pemerintah kembali menerapkan PSBB yang lebih ketat pada kuartal III dan IV. Ekonomi sulit untuk pulih ke level pra-pandemi sebelum 2021," tulis laporan Bank Dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA