
Di Era Presiden Jokowi, Resesi Teknikal Terjadi Berulang Kali

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu janji Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) yang paling diingat oleh masyarakat adalah janji bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meroket sebesar 7%.
Pada Juni 2014 silam, Jokowi yang kala itu masih jadi calon presiden optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh meroket 7% asal pembangunan ekonomi bisa memperhatikan tiga hal, yakni iklim investasi, regulasi, dan peningkatan ekspor berbasis industri.
"Ke depan, saya meyakini bahwa ekonomi kita bisa tumbuh di atas 7 persen, dengan catatan iklim investasi beserta regulasinya itu betul-betul terbuka dan memberikan kesempatan untuk investor lokal bergerak menciptakan pertumbuhan ekonomi," ucap Jokowi saat itu.
Selang 6 tahun berkuasa ternyata terbukti janji Jokowi kala itu hanyalah pepesan kosong, perekonomian Indonesia bukanya meroket malah pertumbuhannya melambat. Jangan berharap tumbuh 7%, bahkan tumbuh di atas 5,5% saja masih tidak mampu.
Memang banyak yang berpendapat bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diakibatkan oleh perlambatan ekonomi global, tapi toh ketika ekonomi global berhasil meroket dari 2,59% pada tahun 2016 ke 3,26% pada tahun 2017, pertumbuhan Indonesia gagal meng-capture momen tersebut. Pada periode ini perekonomian Indonesia hanya berhasil tumbuh dari 5,03% menjadi 5,07%.
Pada tahun 2020 sendiri sudah dipastikan bahwa mimpi ekonomi meroket 7% tidak akan tercapai, seperti diketahui pada tahun ini perekonomian global diserang oleh pandemi virus corona yang menyebabkan banyak negara-negara jatuh ke jurang resesi.
Definisi resesi ekonomi sendiri memang tidak pernah bulat. Belum pernah ada kesepakatan tunggal mengenai cara mendeskripsikan sebuah kontraksi ekonomi-kondisi di mana Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat minus-bisa serta-merta disebut sebagai 'resesi'.
Sampai saat ini definisi resesi yang umum dipakai, adalah kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Definisi demikian dinisbatkan kepada Komisioner Biro Statistik Tenaga Kerja AS Julius Shiskin, yang menjabat dari 1973-1978, meski tak sepenuhnya akurat.
Sedangkan definisi populer resesi teknikal yang dipegang oleh berbagai media global seperti misalnya CNBC International dan BBC adalah ketika terjadi kontraksi PDB secara kuartalan (QoQ) selama dua periode berturut-turut. Keduanya menilai Korea Selatan mengalami resesi teknikal pada kuartal kedua, berbasis perhitungan kontraksi kuartalan.
Usut punya usut jika mengacu pada definisi tersebut,ternyata rapor merah Jokowi soal pertumbuhan ekonomi bukan hanya gagalnya pria kelahiran Solo ini dalam meroketkan perekonomian Indonesia ke angka 7%, akan tetapi ternyata selama Jokowi memimpin, Indonesia sangat seringkali terkena resesi teknikal, bahkan jauh melebihi presiden-presiden lain.
Tercatat pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo terjadi resesi teknikal sebanyak 6 kali. Untuk era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Abdurrahman Wahid tidak pernah terjadi resesi teknikal sama sekali. Sedangkan untuk era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie hanya terjadi sekali resesi teknikal.
Nihilnya resesi teknikal pada periode kepemimpinan ketiga presiden sejak 2000 sampai 2014 ini sangat menarik sebab di era kepemimpinan masing-masing presiden punya masalah tersendiri. Contohnya di era kepemimpinan Presiden SBY pada tahun 2008 sedang terjadi krisis ekonomi global (GFC 2008) akibat pecahnya bubble subprime mortgage.
Kala itu Indonesia berhasil lolos dari jurang resesi, baik resesi sesungguhnya maupun resesi teknikal. Pada periode tersebut perekonomian Indonesia secara QoQ hanya terkontraksi pada Q4 2008 saja sebesar 3,57%
Resesi teknikal yang pertama sejak satu setengah dekade muncul pada penghujung tahun 2014 hanya selang beberapa saat setelah Jokowi menjadi presiden. Selanjutnya kontraksi dua kuartal berturut-turut di era Jokowi tersebut selalu terjadi pada pergantian tahun selama masa kepemimpinan beliau, yakni pada kuartal IV di tahun pertama dan di kuartal I tahun selanjutnya. Belum ada penjelasan resmi mengenai fenomena ini.
Memang banyak yang menganggap resesi teknikal tidaklah parah. Bahkan negara-negara maju sering sekali terkena resesi teknikal. Akan tetapi ini dikarenakan oleh pertumbuhan negara maju yang kecil, sehingga apabila terjadi sedikit saja goncangan ekonomi, maka negara tersebut akan langsung terkena resesi teknikal, lain halnya dengan pertumbuhan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia yang tergolong lebih besar.
Selain itu resesi teknikal juga menandakan bahwa dalam jangka pendek ekonomi Indonesia terjadi perlambatan, sehingga tentunya janji Jokowi untuk menerbangkan ekonomi Indonesia sebesar 7% akan semakin sulit tercapai.
Maka dari itu tidak heran apabila banyak yang menganggap rapor Presiden Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi hasilnya 'merah', apalagi jika nanti pada kuartal ketiga tahun ini kembali terjadi kontraksi secara YoY dan Indonesia secara resmi jatuh ke jurang resesi. Wah! Bisa-bisa dicap tidak naik kelas.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RCI/RCI)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Seramnya Tsunami PHK, Kemiskinan Ekstrem, & Ancaman Resesi RI
